Showing posts with label Wayang. Show all posts
Showing posts with label Wayang. Show all posts

Friday 12 November 2010

Gatotkaca

Gatotkaca



Gatotkaca (bahasa Sanskerta: घटोत्कच; Ghattotkacha) adalah seorang tokoh dalam wiracarita Mahabharata yang dikenal sebagai putra Bimasena atau Wrekodara dari keluarga Pandawa. Ibunya yang bernama Hidimbi (Harimbi) berasal dari bangsa rakshasa, sehingga ia pun dikisahkan memiliki kekuatan luar biasa. Dalam perang besar di Kurukshetra ia banyak menewaskan sekutu Korawa sebelum akhirnya gugur di tangan Karna.

Di Indonesia, Gatotkaca menjadi tokoh pewayangan yang sangat populer. Misalnya dalam pewayangan Jawa ia dikenal dengan ejaan Gatutkaca (bahasa Jawa: Gathutkaca). Kesaktiannya dikisahkan luar biasa, antara lain mampu terbang di angkasa tanpa menggunakan sayap, serta terkenal dengan julukan "otot kawat tulang besi".

Menurut versi Mahabharata, Gatotkaca adalah putra Bimasena dari keluaga Pandawa yang lahir dari seorang rakshasa perempuan bernama Hidimbi. Hidimbi sendiri merupakan raksasi penguasa sebuah hutan bersama kakaknya yang bernama Hidimba.

Dalam pewayangan Jawa, ibu Gatotkaca lebih terkenal dengan sebutan Arimbi. Menurut versi ini, Arimbi bukan sekadar penghuni hutan biasa, melainkan putri dari Kerajaan Pringgadani, negeri bangsa rakshasa.

Dalam bahasa Sanskerta, nama Ghatotkacha secara harfiah bermakna "memiliki kepala seperti kendi". Nama ini terdiri dari dua kata, yaitu ghaṭ(tt)am yang berarti "buli-buli" atau "kendi", dan utkacha yang berarti "kepala". Nama ini diberikan kepadanya karena sewaktu lahir kepalanya konon mirip dengan buli-buli atau kendi.

Kisah kelahiran Gatotkca dikisahkan secara tersendiri dalam pewayangan Jawa. Namanya sewaktu masih bayi adalah Jabang Tetuka. Sampai usia satu tahun tali pusarnya belum bisa dipotong walau menggunakan senjata apa pun. Arjuna (adik Bimasena) pergi bertapa untuk mendapatkan petunjuk dewa demi menolong nasib keponakannya itu. Namun pada saat yang sama Karna, panglima Kerajaan Hastina juga sedang bertapa mencari senjata pusaka.

Karena wajah keduanya mirip, Batara Narada selaku utusan kahyangan memberikan senjata Kontawijaya kepada Karna, bukan kepada Arjuna. Setelah menyadari kesalahannya, Narada pun menemui Arjuna yang sebenarnya. Arjuna lalu mengejar Karna untuk merebut senjata Konta.
Pertarungan pun terjadi. Karna berhasil meloloskan diri membawa senjata Konta, sedangkan Arjuna hanya berhasil merebut sarung pembungkus pusaka tersebut. Namun sarung pusaka Konta terbuat dari Kayu Mastaba yang ternyata bisa digunakan untuk memotong tali pusar Tetuka.

Akan tetapi keajaiban terjadi. Kayu Mastaba musnah dan bersatu dalam perut Tetuka. Kresna yang ikut serta menyaksikannya berpendapat bahwa pengaruh kayu Mastaba akan menambah kekuatan bayi Tetuka. Namun ia juga meramalkan bahwa kelak Tetuka akan tewas di tangan pemilik senjata Konta.
Versi pewayangan Jawa melanjutkan, Tetuka kemudian dipinjam Narada untuk dibawa ke kahyangan yang saat itu sedang diserang musuh bernama Patih Sekipu dari Kerajaan Trabelasuket. Ia diutus rajanya yang bernama Kalapracona untuk melamar bidadari bernama Batari Supraba. Bayi Tetuka dihadapkan sebagai lawan Sekipu. Anehnya, semakin dihajar bukannya mati, Tetuka justru semakin kuat.
Karena malu, Sekipu mengembalikan Tetuka kepada Narada untuk dibesarkan saat itu juga. Narada kemudian menceburkan tubuh Tetuka ke dalam kawah Candradimuka, di Gunung Jamurdipa. Para dewa kemudian melemparkan berbagai jenis senjata pusaka ke dalam kawah. Beberapa saat kemudian, Tetuka muncul ke permukaan sebagai seorang laki-laki dewasa. Segala jenis pusaka para dewa telah melebur dan bersatu ke dalam dirinya.

Tetuka kemudian bertarung melawan Sekipu dan berhasil membunuhnya menggunakan gigitan taringnya. Kresna dan para Pandawa saat itu datang menyusul ke kahyangan. Kresna kemudian memotong taring Tetuka dan menyuruhnya berhenti menggunakan sifat-sifat kaum raksasa.

Batara Guru raja kahyangan menghadiahkan seperangkat pakaian pusaka, yaitu Caping Basunanda, Kotang Antrakusuma, dan Terompah Padakacarma untuk dipakai Tetuka, yang sejak saat itu diganti namanya menjadi Gatotkaca. Dengan mengenakan pakaian pusaka tersebut, Gatotkaca mampu terbang secepat kilat menuju Kerajaan Trabelasuket dan membunuh Kalapracona.

Dalam versi Mahabharata, Gatotkaca menikah dengan seorang wanita bernama Ahilawati. Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernmama Barbarika. Baik Gatotkaca ataupun Barbarika sama-sama gugur dalam perang besar di Kurukshetra, namun di pihak yang berbeda.

Dalam versi pewayangan Jawa, Gatotkaca menikah dengan sepupunya, yaitu Pregiwa putri Arjuna. Ia berhasil menikahi Pregiwa setelah melalui perjuangan berat, yaitu menyingkirkan saingannya, bernama Laksmana Mandrakumara putra Duryudana dari keluarga Korawa.

Dari perkawinan Gatotkaca dengan Pregiwa lahir seorang putra bernama Sasikirana. Ia menjadi panglima perang Kerajaan Hastina pada masa pemerintahan Parikesit, putra Abimanyu atau cucu Arjuna.
Versi lain mengisahkan, Gatotkaca memiliki dua orang istri lagi selain Pregiwa, yaitu Suryawati dan Sumpaniwati. Dari keduanya masing-masing lahir Suryakaca dan Jayasumpena.

Gatotkaca versi Jawa adalah manusia setengah raksasa, namun bukan raksasa hutan. Ibunya adalah Arimbi putri Prabu Tremboko dari Kerajaan Pringgadani. Tremboko tewas di tangan Pandu ayah para Pandawa akibat adu domba yang dilancarkan Sangkuni. Ia kemudian digantikan oleh anak sulungnya yang bernama Arimba.

Arimba sendiri akhirnya tewas di tangan Bimasena pada saat para Pandawa membangun Kerajaan Amarta. Takhta Pringgadani kemudian dipegang oleh Arimbi yang telah diperistri Bima. Rencananya takhta kelak akan diserahkan kepada putra mereka setelah dewasa.

Arimbi memiliki lima orang adik bernama Brajadenta, Brajamusti, Brajalamadan, Brajawikalpa, dan Kalabendana. Brajadenta diangkat sebagai patih dan diberi tempat tinggal di Kasatrian Glagahtinunu. Sangkuni dari Kerajaan Hastina datang menghasut Brajadenta bahwa takhta Pringgadani seharusnya menjadi miliknya bukan milik Gatotkaca.

Akibat hasutan tersebut, Brajadenta pun memberontak hendak merebut takhta dari tangan Gatotkaca yang baru saja dilantik sebagai raja. Brajamusti yang memihak Gatotkaca bertarung menghadapi kakaknya itu. Kedua raksasa kembar tersebut pun tewas bersama. Roh keduanya kemudian menyusup masing-masing ke dalam telapak tangan Gatotkaca kiri dan kanan, sehingga manambah kesaktian keponakan mereka tersebut. Setelah peristiwa itu Gatotkaca mengangkat Brajalamadan sebagai patih baru, bergelar Patih Prabakiswa.

Kematian Gatotkaca terdapat dalam buku ketujuh Mahabharata yang berjudul Dronaparwa, pada bagian Ghattotkacabadhaparwa. Ia dikisahkan gugur dalam perang di Kurukshetra atau Baratayuda pada malam hari ke-14. Perang besar tersebut adalah perang saudara antara keluarga Pandawa melawan Korawa, di mana Gatotkaca tentu saja berada di pihak Pandawa.

Versi Mahabharata mengisahkan, Gatotkaca sebagai seorang raksasa memiliki kekuatan luar biasa terutama pada malam hari. Setelah kematian Jayadrata di tangan Arjuna, pertempuran seharusnya dihentikan untuk sementara karena senja telah tiba. Namun Gatotkaca menghadang pasukan Korawa kembali ke perkemahan mereka.

Pertempuran pun berlanjut. Semakin malam kesaktian Gatotkaca semakin meningkat. Prajurit Korawa semakin berkurang jumlahnya karena banyak yang mati di tangannya. Seorang sekutu Korawa dari bangsa rakshasa bernama Alambusa maju menghadapinya. Gatotkaca menghajarnya dengan kejam karena Alambusa telah membunuh sepupunya, yaitu Irawan putra Arjuna pada pertempuran hari kedelapan. Tubuh Alambusa ditangkap dan dibawa terbang tinggi, kemudian dibanting ke tanah sampai hancur berantakan.

Duryodana pemimpin Korawa merasa ngeri melihat keganasan Gatotkaca. Ia memaksa Karna menggunakan senjata pusaka pemberian Dewa Indra yang bernama Shakti untuk membunuh rakshasa itu. Semula Karna menolak karena pusaka tersebut hanya bisa digunakan sekali saja dan akan dipergunakannya untuk membunuh Arjuna. Namun karena terus didesak, Karna terpaksa melemparkan pusakanya menembus dada Gatotkaca.

Menyadari ajalnya sudah dekat, Gatotkaca masih sempat berpikir bagaimana caranya untuk membunuh prajurit Kurawa dalam jumlah besar. Maka Gatotkaca pun memperbesar ukuran tubuhnya sampai ukuran maksimal dan kemudian roboh menimpa ribuan prajurit Korawa. Pandawa sangat terpukul dengan gugurnya Gatotkaca.

Dalam barisan Pandawa hanya Kresna yang tersenyum melihat kematian Gatotkaca. Ia gembira karena Karna telah kehilangan pusaka andalannya sehingga nyawa Arjuna dapat dikatakan relatif aman.
Perang di Kurukshetra dalam pewayangan Jawa biasa disebut dengan nama Baratayuda. Kisahnya diadaptasi dan dikembangkan dari naskah Kakawin Bharatayuddha yang ditulis tahun 1157 pada zaman Kerajaan Kadiri.

Versi pewayangan mengisahkan, Gatotkaca sangat akrab dengan sepupunya yang bernama Abimanyu putra Arjuna. Suatu hari Abimanyu menikah dengan Utari putri Kerajaan Wirata, di mana ia mengaku masih perjaka. Padahal saat itu Abimanyu telah menikah dengan Sitisundari putri Kresna.

Sitisundari yang dititipkan di istana Gatotkaca mendengar suaminya telah menikah lagi. Paman Gatotkaca yang bernama Kalabendana datang menemui Abimanyu untuk mengajaknya pulang. Kalabendana adalah adik bungsu Arimbi yang berwujud raksasa bulat kerdil tapi berhati polos dan mulia. Hal itu membuat Utari merasa cemburu. Abimanyu terpaksa bersumpah jika benar dirinya telah beristri selain Utari, maka kelak ia akan mati dikeroyok musuh.

Kalabendana kemudian menemui Gatotkaca untuk melaporkan sikap Abimanyu. Namun Gatotkaca justru memarahi Kalabendana yang dianggapnya lancang mencampuri urusan rumah tangga sepupunya itu. Karena terlalu emosi, Gatotkaca sampai memukul kepala Kalabendana. Mekipun perbuatan tersebut dilakukan tanpa sengaja, namun pamannya itu tewas seketika.

Ketika perang Baratayuda meletus, Abimanyu benar-benar tewas dikeroyok para Korawa pada hari ke-13. Esoknya pada hari ke-14 Arjuna berhasil membalas kematian putranya itu dengan cara memenggal kepala Jayadrata.

Duryudana sangat sedih atas kematian Jayadrata, adik iparnya tersebut. Ia memaksa Karna menyerang perkemahan Pandawa malam itu juga. Karna pun terpaksa berangkat meskipun hal itu melanggar peraturan perang.

Mendengar para Korawa melancarkan serangan malam, pihak Pandawa pun mengirim Gatotkaca untuk menghadang. Gatotkaca sengaja dipilih kaarena Kotang Antrakusuma yang ia pakai mampu memancarkan cahaya terang benderang.

Pertempuran malam itu berlangsung mengerikan. Gatotkaca berhasil menewaskan sekutu Korawa yang bernama Lembusa. Namun ia sendiri kehilangan kedua pamannya, yaitu Brajalamadan dan Brajawikalpa yang tewas bersama musuh-musuh mereka, bernama Lembusura dan Lembusana.

Gatotkaca akhirnya berhadapan dengan Karna, pemilik senjata Kontawijaya. Ia pun menciptakan kembaran dirinya sebanyak seribu orang sehingga membuat Karna merasa kebingungan. Atas petunjuk ayahnya, yaitu Batara Surya, Karna berhasil menemukan Gatotkaca yang asli. Ia pun melepaskan senjata Konta ke arah Gatotkaca.

Gatotkaca mencoba menghindar dengan cara terbang setinggi-tingginya. Namun arwah Kalabendana tiba-tiba muncul menangkap Kontawijaya sambil menyampaikan berita dari kahyangan bahwa ajal Gatotkaca telah ditetapkan malam itu.

Gatotkaca pasrah terhadap keputusan dewata. Namun ia berpesan supaya mayatnya masih bisa digunakan untuk membunuh musuh. Kalabendana setuju. Ia kemudian menusuk pusar Gatotkaca menggunakan senjata Konta. Pusaka itu pun musnah bersatu dengan sarungnya, yaitu kayu Mastaba yang masih tersimpan di dalam perut Gatotkaca.

Gatotkaca telah tewas seketika. Arwah Kalabendana kemudian melemparkan mayatnya ke arah Karna. Karna berhasil melompat sehingga lolos dari maut. Namun keretanya hancur berkeping-keping tertimpa tubuh Gatotkaca yang meluncur kencang dari angkasa. Akibatnya, pecahan kereta tersebut melesat ke segala arah dan menewaskan para prajurit Korawa yang berada di sekitarnya. Tidak terhitung banyaknya berapa jumlah mereka yang mati.


Ghatotkacha (Sanskrit घटोत्कच), is a character in the Mahābhārata epic and the son of Bhima and the giantess Hidimbi (Hidimbaa, classically). His maternal parentage made him half-Rakshasa (giant), and gave him many magical powers that made him an important fighter in the Kurukshetra war, the climax of the epic. He got his name from his head, which was hairless and shaped like a pot (in Sanskrit, Ghatam means pot and "Utkach" means hairless ".

Ghatotkacha, when he was young, lived with his mother Hidimbaa, when one day he had a fight with Abhimanyu, his cousin, without knowing that Abhimanyu was Arjuna's son.

Ghatotkacha is considered to be a loyal and humble figure. He made himself and his followers available to his father Bhima at any time; all Bhima had to do was to think of him and he would appear. Like his father, Ghatotkacha primarily fought with the mace.

In the Mahābhārata, Ghatotkacha was summoned by Bhima to fight on the Pandava side in the Kurukshetra battle. Invoking his magical powers, he wrought great havoc in the Kaurava army. In particular after the death of Jayadratha, when the battle continued on past sunset, his powers were at their most effective (at night).

At this point in the battle, the Kaurava leader Duryodhana appealed to his best fighter, Karna, to kill Ghatotkacha as the whole Kaurava army was coming close to annihilation due to his ceaseless strikes from the air. Karna possessed a divine weapon, or shakti, granted by the god Indra. It could be used only once, and Karna had been saving it to use on his arch-enemy, the best Pandava fighter, Arjuna.
Unable to refuse Duryodhana, Karna used the Shakti against Ghatotkacha, killing him. This is considered to be the turning point of the war. After his death, the Pandava counselor Krishna smiled, as he considered the war to have been won for the Pandavas now that Karna no longer had a divine weapon to use in fighting Arjuna.
There is a temple built in Manali, Himachal Pradesh for Ghatotkacha near Hidimba Devi Temple.


Source:
http://en.wikipedia.org/wiki/Ghatotkacha




Hatiku selembar daun...

Srikandi

Srikandi



Srikandi (Sanskerta: शिकण्ढी; Śikhaṇḍī) atau Sikandin adalah salah satu putera Raja Drupada dengan Dewi Gandawati dari Kerajaan Panchala yang muncul dalam kisah wiracarita dari India, yaitu Mahabharata. Ia merupakan penitisan Dewi Amba yang tewas karena panah Bisma. Dalam kitab Mahabharata ia diceritakan lahir sebagai seorang wanita, namun karena sabda dewata, ia diasuh sebagai seorang pria, atau kadangkala berjenis kelamin netral (waria). Dalam versi pewayangan Jawa terjadi hal yang hampir sama, namun dalam pewayangan jawa ia dikisahkan menikahi Arjuna dan ini merupakan perbedaan yang sangat jauh jika dibandingkan dengan kisah Mahabharata versi India.

Dalam bahasa Sanskerta, Srikandi dieja Śikhaṇḍin, bentuk feminimnya adalah Śikhaṇḍinī. Secara harfiah, kata Śikhandin atau Śikhandini berarti "memiliki rumbai-rumbai" atau "yang memiliki jambul".

Di kehidupan sebelumnya, Srikandi terlahir sebagai wanita bernama Amba, yang ditolak oleh Bisma untuk menikah. Karena merasa terhina dan ingin membalas dendam, Amba berdoa dengan keinginan untuk menjadi penyebab kematian Bisma. Keinginannya terpenuhi sehingga akhirnya Amba bereinkarnasi menjadi Srikandi.
Pada saat lahir, suara dewata menyuruh ayahnya agar mengasuh Srikandi sebagai putera. Maka Srikandi hidup seperti pria, belajar ilmu perang dan kemudian menikah. Pada malam perkawinan, istrinya sendiri menghina dirinya setelah mengetahui hal yang sebenarnya. Setelah memikirkan usaha bunuh diri, ia kabur dari Panchala, namun diselamatkan oleh seorang Yaksa yang kemudian menukar jenis kelaminnya kepada Srikandi. Srikandi pulang sebagai pria dan hidup bahagia bersama istrinya dan memiliki anak pula. Setelah kematiannya, kejantanannya dikembalikan kembali kepada Yaksa.
Saat perang di Kurukshetra, Bisma sadar bahwa Srikandi adalah reinkarnasi Amba, dan karena ia tidak ingin menyerang "seorang wanita", ia menjatuhkan senjatanya. Tahu bahwa Bisma akan bersikap demikian terhadap Srikandi, Arjuna bersembunyi di belakang Srikandi dan menyerang Bisma dengan tembakan panah penghancur. Maka dari itu, hanya dengan bantuan Srikandi, Arjuna dapat memberikan pukulan mematikan kepada Bisma, yang sebenarnya tak terkalahkan sampai akhir. Akhirnya Srikandi dibunuh oleh Aswatama pada hari ke-18 Bharatayuddha.

Srikandi dikisahkan lahir karena keinginan kedua orangtuanya, yaitu Prabu Drupada dan Dewi Gandawati, menginginkan kelahiran seorang anak dengan normal. Kedua kakaknya, Dewi Dropadi dan Drestadyumna, dilahirkan melalui puja semadi. Dropadi dilahirkan dari bara api pemujaan, sementara asap api itu menjelma menjadi Drestadyumna.
Dewi Srikandi sangat gemar dalam olah keprajuritan dan mahir dalam mempergunakan senjata panah. Kepandaiannya tersebut didapatnya ketika ia berguru pada Arjuna, yang kemudian menjadi suaminya. Dalam perkawinan tersebut ia tidak memperoleh seorang putera.
Dewi Srikandi menjadi suri tauladan prajurit wanita. Ia bertindak sebagai penanggung jawab keselamatan dan keamanan kesatrian Madukara dengan segala isinya. Dalam perang Bharatayuddha, Dewi Srikandi tampil sebagai senapati perang Pandawa menggantikan Resi Seta, kesatria Wirata yang telah gugur untuk menghadapi Bisma, senapati agung balatentara Korawa. Dengan panah Hrusangkali, Dewi Srikandi dapat menewaskan Bisma, sesuai kutukan Dewi Amba, puteri Prabu Darmahambara, raja negara Giyantipura, yang dendam kepada Bisma.
Dalam akhir riwayat Dewi Srikandi diceriterakan bahwa ia tewas dibunuh Aswatama yang menyelundup masuk ke keraton Hastinapura setelah berakhirnya perang Bharatayuddha.

Shikhandi (Sanskrit: शिखंडी, Śikhaṇḍī, also written 'Srikandi') is a character in the Hindu epic, the Mahābhārata. He was originally born as a girl child named 'Shikhandini' to Drupada, the king of Panchala. Shikhandi fought in the Kurukshetra war on the side of the Pandavas, along with his father Drupada and brother Dhristadyumna.
He had been born in an earlier lifetime as a woman named Amba, who was rejected by Bhishma for marriage due to his oath of lifelong celibacy. Feeling deeply humiliated and wanting revenge, Amba carried out great prayers and penance with the desire to be the cause of Bhishma's death. Amba was then reborn as Shikhandini.
From her birth, a Divine voice told her father to raise her as a son. So Shikhandini was raised like a man, trained in warfare and eventually married. On her wedding night, her wife insulted her on finding out the truth. Contemplating suicide, she fled Panchala, but was saved by a Yaksha who exchanged his sex with her. Shikhandini went back to Panchala a man with the name 'Shikhandi' and led a happy married life with his wife and children. After his death, his masculinity was transferred back to the Yaksha.
In the battle of Kurukshetra, Bhishma recognised him as Amba reborn, and not wanting to fight 'a woman', lowered his weapons. Knowing that Bhishma would react thus to Shikhandi, Arjuna hid behind Shikhandi and attacked Bhishma with a devastating volley of arrows. Thus, only with Shikhandi's help could Arjuna deal a death blow to Bhishma, who had been virtually invincible until then.
Shikhandi was finally killed by Ashwatthama on the 18th day of battle.
In the Javanese telling, 'Srikandi' (as she is known) never becomes a man, but is a woman equal to men.


Source:
http://en.wikipedia.org/wiki/Srikandi



Hatiku selembar daun...

Abimanyu

Abimanyu



Abimanyu (Sanskerta: अभिमन्यु, abhiman'yu) adalah seorang tokoh dalam wiracarita Mahabharata. Ia adalah putera Arjuna dari salah satu istrinya yang bernama Subadra. Ditetapkan bahwa Abimanyu-lah yang akan meneruskan Yudistira. Dalam wiracarita Mahabharata, ia dianggap seorang pahlawan yang tragis. Ia gugur dalam pertempuran besar di Kurukshetra sebagai kesatria termuda dari pihak Pandawa, karena baru berusia enam belas tahun. Abimanyu menikah dengan Utara, puteri Raja Wirata dan memiliki seorang putera bernama Parikesit, yang lahir setelah ia gugur.

Abimanyu terdiri dari dua kata Sanskerta, yaitu abhi (berani) dan man'yu (tabiat). Dalam bahasa Sansekerta, kata Abhiman'yu secara harfiah berarti "ia yang memiliki sifat tak kenal takut" atau "yang bersifat kepahlawanan".

Saat belum lahir karena berada dalam rahim ibunya, Abimanyu mempelajari pengetahuan tentang memasuki formasi mematikan yang sulit ditembus bernama Chakrawyuha dari Arjuna. Mahabharata menjelaskan bahwa dari dalam rahim, ia menguping pembicaraan Kresna yang sedang membahas hal tersebut dengan ibunya, Subadra. Kresna berbicara mengenai cara memasuki Chakrawyuha dan kemudian Subadra (ibu Abimanyu) tertidur maka sang bayi tidak memiliki kesempatan untuk tahu bagaimana cara meloloskan diri dari formasi itu.

Abimanyu menghabiskan masa kecilnya di Dwaraka, kota tempat tinggal ibunya. Ia dilatih oleh ayahnya yang bernama Arjuna yang merupakan seorang ksatria besar dan diasuh di bawah bimbingan Kresna. Ayahnya menikahkan Abimanyu dengan Uttara, puteri Raja Wirata, untuk mempererat hubungan antara Pandawa dengan keluarga Raja Wirata, saat pertempuran Bharatayuddha yang akan datang. Pandawa menyamar untuk menuntaskan masa pembuangannnya tanpa diketahui di kerajaan Raja Wirata, yaitu Matsya.

Sebagai cucu Dewa Indra, Dewa senjata ajaib sekaligus Dewa peperangan, Abimanyu merupakan ksatria yang gagah berani dan ganas. Karena dianggap setara dengan kemampuan ayahnya, Abimanyu mampu melawan ksatria-ksatria besar seperti Drona, Karna, Duryodana dan Dursasana. Ia dipuji karena keberaniannya dan memiliki rasa setia yang tinggi terhadap ayahnya, pamannya, dan segala keinginan mereka.

Pada hari ketiga belas Bharatayuddha, pihak Korawa menantang Pandawa untuk mematahkan formasi perang melingkar yang dikenal sebagai Chakrawyuha. Para Pandawa menerima tantangan tersebut karena Kresna dan Arjuna tahu bagaimana cara mematahkan berbagai formasi.

Namun, pada hari itu, Kresna dan Arjuna sibuk bertarung dengan laskar Samsaptaka. Oleh karena Pandawa sudah menerima tantangan tersebut, mereka tidak memiliki pilihan namun mencoba untuk menggunakan Abimanyu yang masih muda, yang memiliki pengetahuan tentang bagaimana cara mematahkan formasi Chakrawyuha namun tidak tahu bagaimana cara keluar dari dalamnya. Untuk meyakinkan bahwa Abimanyu tidak akan terperangkap dalam formasi tersebut, Pandawa bersaudara memutuskan bahwa mereka dan sekutu mereka akan mematahkan formasi itu bersama Abimanyu dan membantu sang pemuda keluar dari formasi tersebut.

Pada hari penting itu, Abimanyu menggunakan kecerdikannya untuk menembus formasi tersebut. pandawa bersaudara dan sekutunya mencoba untuk mengikutinya di dalam formasi, namun mereka dihadang oleh Jayadrata, Raja Sindhu, yang memakai anugerah Siwa agar mampu menahan para Pandawa kecuali Arjuna, hanya untuk satu hari. Abimanyu ditinggal sendirian untuk menangkis serangan pasukan Korawa.

Abimanyu membunuh dengan bengis beberapa ksatria yang mendekatinya, termasuk putera Duryodana, yaitu Laksmana. Setelah menyaksikan putera kesayangannya terbunuh, Duryodana marah besar dan menyuruh segenap pasukan Korawa untuk menyerang Abimanyu. Karena gagal menghancurkan baju zirah Abimanyu, atas nasihat Drona, Karna menghancurkan busur Abimanyu dari belakang. Kemudian keretanya dihancurkan, kusir dan kudanya dibunuh, dan seluruh senjatanya terbuang. Putera Dursasana mencoba untuk bertarung dengan tangan kosong dengan Abimanyu. Namun tanpa menghiraukan aturan perang, pihak Korawa menyerang Abimanyu secara serentak. Abimanyu mampu bertahan sampai pedangnya patah dan roda kereta yang ia pakai sebagai perisai hancur berkeping-keping. Tak berapa lama kemudian, Abimanyu dibunuh oleh putera Dursasana dengan cara menghancurkan kepalanya dengan gada.

Berita kematian Abimanyu membuat Arjuna sangat sedih dan sakit hati. Ia sadar, bahwa seandainya Jayadrata tidak menghalangai para Pandawa memasuki formasi Chakrawyuha, Abimanyu pasti mendapat bantuan. Ia kemudian bersumpah akan membunuh Jayadrata pada hari berikutnya sebelum matahari tenggelam. Menanggapi hal itu, pihak Korawa menempatkan Jayadrata sangat jauh dari Arjuna. Ribuan prajurit dan ksatria mengelilingi dan melindungi Jayadrata. Arjuna berusaha menjangkau Jayadrata, namun ribuan pasukan Korawa mengahalanginya. Hingga matahari hampir terbenam, Jayadrata masih jauh dari jangkauan Arjuna. Melihat hal ini, Kresna menggunakan kecerdikannya. Ia membuat gerhana matahari, sehingga suasana menjadi gelap seolah-olah matahari sudah tenggelam. Pihak Korawa maupun Pandawa mengira hari sudah malam, dan sesuai aturan, mereka menghentikan peperangan dan kembali ke kubu masing-masing. Dengan demikian, pihak Korawa tidak melanjutkan pertarungan dan Jayadrata tidak dalam perlindungan mereka lagi. Saat kereta Arjuna dekat dengan kereta Jayadrata, matahari muncul lagi dan Kresna menyuruh Arjuna agar menggunakan kesempatan tersebut untuk membunuh Jayadrata. Arjuna mengangkat busurnya dan meluncurkan panah, memutus leher Jayadrata. Tepat pada saat tersebut, hari sudah sore, matahari sudah tenggelam dan Arjuna berhasil menuntaskan sumpahnya untuk membunuh Jayadrata.

Abimanyu adalah inkarnasi dari putera Dewa bulan. Ketika Sang Dewa bulan ditanya oleh Dewa yang lain mengenai kepergian puteranya ke bumi, ia membuat perjanjian bahwa puteranya tinggal di bumi hanya selama 16 tahun sebagaimana ia tak dapat menahan perpisahan dengan puteranya. Abimanyu berusia 16 tahun saat ia terbunuh dalam pertempuran.

Putera Abimanyu, yaitu Parikesit, lahir setelah kematiannya, dan menjadi satu-satunya kesatria Keluarga Kuru yang selamat setelah Bharatayuddha, dan melanjutkan garis keturunan Pandawa. Abimanyu seringkali dianggap sebagai kesatria yang terberani dari pihak Pandawa, yang sudi melepaskan hidupanya saat peperangan dalam usia yang masih sangat muda.

Dalam khazanah pewayangan Jawa, Abimanyu, sebagai putra Arjuna, merupakan tokoh penting. Di bawah ini dipaparkan ciri khas tokoh ini dalam budaya Jawa yang sudah berkembang lain daripada tokoh yang sama di India.

Dikisahkan Abimanyu karena kuat tapanya mendapatkan Wahyu Makutha Raja, wahyu yang menyatakan bahwa keturunannyalah yang akan menjadi penerus tahta Para Raja Hastina. Abimanyu dikenal pula dengan nama Angkawijaya, Jaya Murcita, Jaka Pangalasan, Partasuta, Kirityatmaja, Sumbadraatmaja, Wanudara dan Wirabatana. Ia merupakan putra Arjuna, salah satu dari lima ksatria Pandawa dengan Dewi Subadra, putri Prabu Basudewa, Raja Mandura dengan Dewi Dewaki. Ia mempunyai 13 orang saudara lain ibu, yaitu: Sumitra, Bratalaras, Bambang Irawan, Kumaladewa, Kumalasakti, Wisanggeni, Wilungangga, Endang Pregiwa, Endang Pregiwati, Prabakusuma, Wijanarka, Anantadewa dan Bambang Sumbada. Abimanyu merupakan makhluk kekasih Dewata. Sejak dalam kandungan ia telah mendapat "Wahyu Hidayat", yang mamp membuatnya mengerti dalam segala hal. Setelah dewasa ia mendapat "Wahyu Cakraningrat", suatu wahyu yang dapat menurunkan raja-raja besar.

Abimanyu mempunyai sifat dan watak yang halus, baik tingkah lakunya, ucapannya terang, hatinya keras, besar tanggung jawabnya dan pemberani. Dalam olah keprajuritan ia mendapat ajaran dari ayahnya, Arjuna. Sedang dalam olah ilmu kebathinan mendapat ajaran dari kakeknya, Bagawan Abiyasa. Abimanyu tinggal di kesatrian Palangkawati, setelah dapat mengalahkan Prabu Jayamurcita. Ia mempunyai dua orang istri, yaitu:
Dewi Siti Sundari, puteri Prabu Kresna, Raja Negara Dwarawati dengan Dewi Pratiwi;
Dewi Utari, puteri Prabu Matsyapati dengan Dewi Ni Yutisnawati, dari negara Wirata, dan berputera Parikesit.

Abimanyu gugur dalam perang Bharatayuddha setelah sebelumnya seluruh saudaranya mendahului gugur, pada saat itu kesatria dari Pihak Pandawa yang berada dimedan laga dan menguasai strategi perang hanya tiga orang yakni Bima, Arjuna dan Abimanyu. Gatotkaca menyingkir karena Karna merentangkan senjata Kuntawijayandanu. Bima dan Arjuna dipancing oleh kesatria dari pihak Korawa untuk keluar dari medan pertempuran, maka tinggalah Abimanyu.

Ketika tahu semua saudaranya gugur Abimanyu menjadi lupa untuk mengatur formasi perang, dia maju sendiri ketengah barisan Korawa dan terperangkap dalam formasi mematikan yang disiapkan pasukan Korawa. Tak menyiakan kesempatan untuk bersiap-siap, Korawa menghujani senjata ke tubuh Abimanyu sampai Abimanyu terjerembab dan jatuh dari kudanya (dalam pewayangan digambarkan lukanya arang kranjang = banyak sekali). Abimanyu terlihat seperti landak karena berbagai senjata di tubuhnya. Konon tragedi itu merupakan risiko pengucapan sumpah ketika melamar Dewi Utari, bahwa dia masih belum punya istri dan apabila telah beristri maka dia siap mati tertusuk berbagai senjata ketika perang Bharatayuddha. Abimanyu berbohong karena ketika itu sudah beristrikan Dewi Siti Sundari.

Dengan senjata yang menancap diseluruh tubuhnya sehingga dia tidak bisa jalan lagi tidak membuat Abimanyu menyerah dia bahkan berhasil membunuh putera mahkota Hastinapura (Laksmanakumara putera Duryodana) dengan melemparkan keris Pulanggeni setelah menembus tubuh empat prajurit lainnya. Pada saat itu pihak Korawa tahu bahwa untuk membunuh Abimanyu, mereka harus memutus langsang yang ada didadanya, kemudian Abimanyu pun gugur oleh gada Kyai Glinggang atau Galih Asem milik Jayadrata, ksatria Banakeling.

Pada saat itu Yudistira tercengang melihat formasi perang Raja Korawa, sebab Bima dan Arjuna tak ada padahal merekalah yang dapat menghancurkannya. Hanya Putera Arjuna, yaitu Abimanyu yang bersedia merusak formasi yang disusun pendeta Drona itu. Ia berkata bahwa ia yakin dapat menggempur dan memasuki formasi tersebut, hanya saja ia belum tahu bagaimana cara keluar dari formasi tersebut.

Setelah demikian, mereka segera membelah dan menyerang formasi pendeta Drona tersebut dengan dahsyat. Sang Abimanyu merupakan kekuatan yang membinasakan formasi tersebut dengan tembakan panah. Sebagai akibat serangan Abimanyu, formasi tersebut hancur sampai ke pertahanan Duryodana. Dengan ini Dona dan Krepa mengadakan serangan balasan, sehingga Duryodana dapat melarikan diri dan tidak dikejar lagi.

Dengan ini tak dapat dipungkiri lagi musuh yang sakti mulai berkurang seperti Kretasuta dan keluarga Wrehadbala. Juga Satyaswara yang berani dan gila bertarung tertembak sebelum dapat menimbulkan kerusakan sedikit pun karena dihujani panah. Putera Raja Korawa yang berani juga gugur setelah ia tertusuk panah. Putera tersebut sangat terkenal di antara keluarga Korawa, yaitu Laksmanakumara, yang disayangi Suyodhana.

Pada waktu itu seluruh keluarga Korawa menjadi marah, dan dengan tiada hentinya mereka memanahkan senjatanya. Baik kuda maupun kusirnya, badan, tangan, kaki, punggung, dada, dan muka Abimanyu terkena ratusan panah. Dengan ini Abimanyu makin semangat. Ia memegang cakramnya dan dengan panah yang patah ia mengadakan serangan. Dengan ketetapan hati ia mengamuk untuk mencari keharuman nama. Dengan hati yang penuh dendam, ia gugur di tangan Suyodhana.

Ketika Abimanyu terbunuh dalam pertempuran, badannya hancur. Indah untuk dilihat bagaikan lumut dalam periuk emas. Mayatnya terlihat dalam sinar bulan dan telah tercabik-cabik, sehingga menjadi halus seperti mentimun.


Abhimanyu (Sanskrit: अभिमन्यु, abhimanyu) (lit." Excessive Anger")is a tragic hero in the Hindu epic, the Mahābhārata. He is the son of Arjuna and Subhadra, the half-sister of Lord Krishna. He is an unparalleled archer and is considered to be greater than his father in prowess with the bow and arrow. He was a partial incarnation of Chandra.

As an unborn child in his mother's womb, Abhimanyu learned the knowledge of entering the deadly and virtually impenetrable Chakravyuha (see Wars of Hindu Mythology) from Arjun. The epic explains that he overheard Arjun talking about this with his mother Subhadra from the womb. Arjun explains to Subhadra in detail, the technique of attacking and escaping from various vyoohs (an array of army formation) such as Makaravyoha, Kurmavyooha, Sarpavyuha etc. After explaining all the vyoohs, he explains about the technique of cracking Chakravyuha. Arjun tells how to enter the Chakryavyuha. When he was about to explain how to exit from the Chakravyuha, he realises that Subadra is asleep and stops explaining about the Chakravyuha further. In return, the baby Abhimanyu in the womb did not get a chance to learn how to come out of it.

Abhimanyu spent his childhood in Dwaraka, his mother's city. He was trained by Pradyumna, the son of Sri Krishna and his great warrior father Arjuna and brought up under the guidance of Lord Krishna. His father arranged his marriage to Uttara, daughter of king Virata to seal an alliance between the Pandavas and the royal family of Virata, in light of the forthcoming Kurukshetra War. The Pandavas had been hiding in cognito to live through the final year of their exile without being discovered, in Virata's kingdom of Matsya.

Being the grandson of Lord Indra, god of mystical weapons and wars, Abhimanyu was a courageous and dashing warrior. Considered an equal to his father owing his prodigious feats, Abhimanyu was able to hold at bay great heroes like Drona, Karna, Duryodhana and Dushasana. He was praised for his audacious bravery and absolute loyalty to his father, his uncles and to their cause. Abhimanyu took part in the war of Mahabharat and killed important personalities such as Lakshman, the son of Duryodhana and Brihadbala, the king of Kosala of the Ikshwaku dynasty.

On the 13th day of battle, the Kauravas challenged the Pandavas to break a circular battle formation known as the Chakravyuha (see Wars of Hindu Mythology). The Pandavas accepted the challenge since the knowledge of how to defeat such a formation was known to Krishna and Arjuna.

However, on that day, Krishna and Arjuna were dragged into fighting a war on another front with the Samsaptakas. Since the Pandavas had already accepted the challenge, they had no choice but to attempt to use the young brave warrior Abhimanyu, who had knowledge on how to break into the formation but none whatsoever regarding how to break out of it. To make sure that Abhimanyu did not get trapped in this endeavour, the remaining Pandava brothers decided that they and their allies would also break into the formation along with Abhimanyu and assist the boy in breaking out of it. It is important to note that the plan was hatched well after Arjuna and Krishna had been distracted away by the Samsaptaka army led by Susarma.

Using his knowledge of the Chakravyuvha Abhimanyu successfully broke into the formation. The Pandava brothers and allies attempted to follow him inside the formation, but they were effectively cut off by Jayadratha, the Sindhu king, who made use of a boon from Shiva to that enabled him to hold off all Pandavas except Arjuna for a day. Abhimanyu was left to fend for himself against the entire Kaurava army.

Abhimanyu commanded his charioteer to lead his chariot towards Drona. The charioteer, thinking it was not wise to do so, raised objections and requested the sixteen-year-old to take time to think about it before he began the battle. He pointed out that Abhimanyu had grown up amidst great love and comforts and he was not a master of the battle arts as Drona was. Laughing aloud, Abhimanyu said to his charioteer: “What is this Drona or even the entire world of kshatriyas to me? I can fight Indra himself, mounted on his Airavata, along with all the gods! Why, I can fight in a battle even Lord Rudra himself, to whom the entire world of beings pays homage! This battle that I am going wage today does not bewilder me in the least. This entire army of enemies is not equal to one sixteenth of my power.

With no great joy in his mind, the charioteer took his master forward and Abhimanyu broke into the Chakravyuvha. In a mighty battle that followed, he slaughtered ordinary enemy warriors and mighty heroes alike. Abhimanyu fought valiantly single-handedly slaying several warriors who came in his way including Duryodhana's son Laxman.Among the others who were killed were Ashmaka’s son, Shalya younger brother, Shalya’s son Rukmaratha, Drighalochana, Kundavedhi, Sushena, Vasatiya, Kratha and numerous other great warriors. He wounded Karna and made him flee, making Dushshasana faint in the battlefield such that he had to be carried off by others. Upon witnessing the death of his beloved son, Duryodhana was incensed and ordered the entire Kaurava force to attack Abhimanyu. Continually frustrated in attempts to pierce Abhimanyu's armor, Karna on Dronacharya's advice shattered Abhimanyu's bow by firing arrows from behind him. His chariot broke shortly after, the charioteer and horses were killed, and all his weapons were laid to waste. He attempted then to fight off the bow wielding warriors sitting on horses and elephants with a sword and using a chariot wheel as a shield.

Dushasana's son engaged in fierce hand to hand combat with Abhimanyu. Ignoring all rules of war, the Kauravas all fought simultaneously with him. He held his own until his sword broke and the remaining chariot wheel shattered into pieces. Abhimanyu was killed shortly thereafter when Dushasana's son crushed his skull with a mace. However, Abhimanyu killed him with his own mace before dying.

It is said that it is Abhimanyu's death that marks the end of the adherence to the rules of war. Krishna cited the despicable manner in which Abhimanyu was killed to incite Arjuna to kill Karna. This said Krishna was a reason to kill Duryodhana.

News of the despicable acts committed on Abhimanyu reached his father Arjuna at the end of the day, who vows to kill Jayadratha the very next day by sunset, and failing to do so, commit suicide by self-immolation immediately.

The Kaurava army the next day places Jayadratha furthest away from Arjuna, and every warrior including the Samshaptakas (mercenaries to vow only to return from battle fields only upon victory else death) attempts to prevent Arjuna from reaching anywhere close to Jayadratha. Arjuna literally hacks through the Kaurava army and kills more than a hundred thousand soldiers and warriors in a single day. However, almost by sundown, Arjuna's chariot is still nowhere near Jayadratha's. Arjuna becomes despondent because he realizes that failure is imminent, and starts getting mentally prepared to self-immolate. Krishna being the almighty god uses his powers to temporarily to create an eclipse. The Kauravas and Pandavas alike believe that indeed the sun has set and the war stops according to the rules. Both sides come to watch Arjuna self-immolate. In his haste to see Arjuna's death, Jayadratha also comes to the front. Krishna sees the opportunity that he has effectively created, and the sun comes out again. Before the Kauravas can take corrective action, Krishna points out to Arjuna and asks him to pick up his Gandiva and behead Jayadratha. Arjuna's unerring arrows decapitate Jayadratha, and his vow to kill Jayadratha by sunset that day and avenge Abhimanyu's death is fulfilled. The reason for creating eclipse is also suggested at many places as a plot to save Arjuna from death, because Jayadratha had got a boon from his father that whoever would cause Jayadratha's head to fall onto earth would also die immediately. So Lord Krishna wanted everything to happen in this way so that Jayadratha would be on an easy aim. When Arjuna beheads Jayadratha, he does it so skillfully that the head falls straight into the lap of his father who was sitting under a tree. His father is shocked and stands up, causing Jayadratha's head to fall to earth. Thus his father is killed immediately.

Abhimanyu is the reincarnation of Varchas, the son of the moon god. When the moon god was asked to let his son incarnate himself on earth by the other devas, he made a pact that his son will only remain on earth for 16 years as he could not bear to be separated from him. Abhimanyu was 16 years old when he died in the war.

His son, Parikshita, born after his death, remains the sole survivor of the Kuru clan at the conclusion of the Mahābhārata war, and carries on the Pandava lineage. Abhimanyu is often thought of as a very brave warrior on the Pandava side, willingly giving up his life in war at a very young age.

The demonic element in Abhimanyu is understood and highlighted in the Draupadi cult popular in northern Tamil Nadu and its neighboring areas in Andhra Pradesh and Karnataka. Speaking of this, Alf Hiltebeitel in The Cult of Draupadi speaks of how in South Indian folklore Abhimanyu is an incarnate demon and Krishna, who knows this, schemes the death of his own sister’s son by seeing that he is left alone to protect Yudhishthira while Drona attacks him with the chakravyuha. According to one South Indian folk tradition, it is a curse from Durvasa that makes Abhimanyu a Rakshasa in his current birth. In a former life he was a gatekeeper at Rama’s palace and Durvasa curses him to be born as a Rakshasa in his future life because he refused entry to the sage into Rama’s court. The reason for Krishna desiring Abhimanyu’s death is not exactly because he is a Rakshasa though, but because Abhimanyu is capable of killing the entire Kauravas all alone(except Bhishma & Drona because Drona was scheduled to be killed by Drishtadumya). and that would make it impossible for the Pandava brothers who have taken vows of killing individual Kauravas. According to yet another tale mentioned in the Glossary to Michael Madhusudan Dutt’s Meghanadavadha Kavya, Abhimanyu’s birth again is a result of a curse, though a different curse. According to this tale, the moon failed to pay due deference to the sage Garga, and sage cursed him to be born as a human being on the earth and Abhimanyu is this accursed moon god. He dies at the young age of sixteen because the sage, moved by the moon’s begging for forgiveness, reduced the severity of the curse by saying that he would be killed in battle at the age of sixteen and could then go back to heaven. However, one must not dismiss the compassionate qualities of Abhimanyu. A romantic at an early age, he questioned everything. Something often mistaken as being arrogant. He was know to have a certain inborn quality of trusting people, a kind of trust that came from deep within. As few as there would have been to gain his trust, he remained forever faithful to them as they did to him, with humility.

Abhimanyu is often quoted as an example for his partial knowledge about Chakravyooh. Since, he knew how to penetrate the Chakravyooh, but did not know how to exit from it during the time of danger contributed to his death. Similarly, Ashwatthama too had a partial knowledge in the context of Brahmastra. He only knew how to invoke it. But did not know how to withdraw it. This contributes for him to get cursed by Krishna during the end of Mahabharatha war. It was only Arjuna who had complete knowledge of both Chakravyooh (to break and exit from it) and Brahmastra (to invoke and withdraw it).
Abhimanyu was believed to be an incarnation of Kalayavan . The thing was, he has now taken birth in a very good family. Hence, Krishna who was aware of this and being the guru of Abhimanyu (via Pradyumna) in Dwaraka, sees to it that Abhimanyu is ignorant about "how to exit from Chakravyooh". Hence, even though Abhimanyu was curious to know the way to exit from a Chakravyooh, Krishna does not tell this secret, but instead insists him to seek that knowledge from Arjuna. It so happens that Abhimanyu never gets a chance from his father as he was in exile. Further, Abhimanyu is such a hero that none from the Kaurava side (except Bhisma) can kill him in a one on one combat (dwandva yudha). Hence, on the 13th day of the battle field, when the Chakravyooha is launched by Dronacharya, he defeats all the Maharatis on a one on one battle. And Abhimanyu really proves very expensive for the entire Kaurva forces on that particular day. Hence, sensing the danger by his presence, the Kaurava Maharatis merge together to kill him after making him weaponless. This was the only way by which Abhimanyu can attain Moksha. Hence, he plays a very great role on the 13th day of Mahabharata war.
In case of Ashwatama, Dronacharya does not trust Ashwatama the manner in which he trusts Arjuna. Hence, he teaches Ashwatama only to invoke Brahmastra, but does not teach him how to withdraw it. If an archer is aware of both the invocation and withdrawal of Brahmastra, then he can invoke it as many times as he wants. Hence, to avoid Ashwatama from invoking Brahmastra multiple times, Dronacharya only gives a partial knowledge about it.

Shashirekha was a daughter of Balarama. Balarama has soft corner towards Duryodana. Before the birth of Abhimanyu, he wants his sister Subhadra to marry Duryodana instead of Arjuna. Hence, Krishna who is aware of this sees to it that Arjuna abducts Subhadra and they get married. The same scenario repeats one generation below.

Lakshmana is the son of Duryodana. Now, Balarama wants his daughter Shashirekha to marry Lakshmana instead of Abhimanyu. Hence, Krishna advises Subhadra and Abhimanyu to seek help from Ghatothkacha to solve this problem. Ghatothkacha abducts Shashirekha and sees to it that Abhimanyu weds Shashirekha. The moral of this story is "history repeats itself".

Factors that contributes for Abhimanyu's death
1) Abhimanyu's partial knowledge of Chakravyooh
2) Krishna who does not teach Abhimanyu as 'how to exit from Chakravyooh'
3) Absence of Krishna and Arjuna when Dronacharya launches the Chakravyooh
4) The boon granted to Jayadrath by Lord Shiva to hold all the Pandavas except Arjuna for one day
5) The Kaurava maharathis violation of the war rules
6) The ignorance of the remaining Pandavas to enter Chakravyooh
7) Abhimanyu's soul belonged to rakhshas
8) Abhimanyu kills dhuryodhana's son Lakshmana

Source:
http://en.wikipedia.org/wiki/Abhimanyu




Hatiku selembar daun...

Parikesit

Parikesit



Parikesit (Sansekerta: परीक्षित; parikṣita, parikṣit) atau Pariksita adalah seorang tokoh dari wiracarita Mahabharata. Ia adalah raja Hastina dan cucu Arjuna. Ayahnya adalah Abimanyu sedangkan putranya adalah Janamejaya.

Dalam kitab Adiparwa, akhir riwayatnya diceritakan bahwa Prabu Parikesit meninggal karena digigit Naga Taksaka yang bersembunyi di dalam buah jambu, sesuai dengan kutukan Brahmana Granggi yang merasa sakit hati karena Prabu Parikesit telah mengkalungkan bangkai ular hitam di leher ayahnya, Bagawan Sarmiti.

Parikesit tewas digigit oleh Naga Taksaka, setelah beliau diramalkan akan dibunuh oleh seekor ular. Maka beliaupun menyuruh untuk mengadakan upacara sarpayajna untuk mengusir semua ular. Tetapi karena sudah takdirnya, beliau pun digigit sampai wafat.

Saat Maharaja Parikesit masih berada dalam kandungan, ayahnya yang bernama Abimanyu, turut serta bersama Arjuna dalam sebuah pertempuran besar di daratan Kurukshetra. Dalam pertempuran tersebut, Abimanyu gugur dalam serangan musuh yang dilakukan secara curang. Abimanyu meninggalkan ibu Parikesit yang bernama Utara karena gugur dalam perang.

Pada pertempuran di akhir hari kedelapan belas, Aswatama bertarung dengan Arjuna. Aswatama dan Arjuna sama-sama sakti dan sama-sama mengeluarkan senjata Brahmāstra. Karena dicegah oleh Resi Byasa, Aswatama dianjurkan untuk mengarahkan senjata tersebut kepada objek lain. Maka Aswatama memilih agar senjata tersebut diarahkan ke kandungan Utara. Senjata tersebut pun membunuh Parikesit yang maish berada dalam kandungan. Atas pertolongan dari Kresna, Parikesit dihidupkan kembali. Aswatama kemudian dikutuk agar mengembara di dunia selamanya.

Resi Dhomya memprediksikan kepada Yudistira setelah Parikesit lahir bahwa ia akan menjadi pemuja setia Dewa Wisnu, dan semenjak ia diselamatkan oleh Bhatara Kresna, ia akan dikenal sebagai Vishnurata (Orang yang selalu dilindungi oleh Sang Dewa).

Resi Dhomya memprediksikan bahwa Parikesit akan selamanya mencurahkan kebajikan, ajaran agama dan kebenaran, dan akan menjadi pemimpin yang bijaksana, tepatnya seperti Ikswaku dan Rama dari Ayodhya. Ia akan menjadi ksatria panutan seperti Arjuna, yaitu kakeknya sendiri, dan akan membawa kemahsyuran bagi keluarganya.

Saat dimulainya zaman Kali Yuga, yaitu zaman kegelapan, dan mangkatnya Kresna Awatara dari dunia fana, lima Pandawa bersaudara pensiun dari pemerintahan. Parikesit sudah layak diangkat menjadi raja, dengan Krepa sebagai penasihatnya. Ia menyelenggarakan Aswameddha Yajña tiga kali di bawah bimibingan Krepa.

Pada suatu hari, Raja Parikesit pergi berburu ke tengah hutan. Ia kepayahan menangkap seekor buruan, lalu berhenti untuk beristirahat. Akhirnya ia sampai di sebuah tempat pertapaan. Di pertapaan tersebut, tinggalah Bagawan Samiti. Ia sedang duduk bertapa dan membisu. Ketika Sang Raja bertanya kemana buruannya pergi, Bagawan Samiti hanya diam membisu karena pantang berkata-kata saat sedang bertapa. Karena pertanyaannya tidak dijawab, Raja Parikesit marah dan mengambil bangkai ular dengan anak panahnya, lalu mengalungkannya ke leher Bagawan Samiti. Kemudian Sang Kresa menceritakan kejadian tersebut kepada putera Bagawan Samiti yang bernama Sang Srenggi yang bersifat mudah marah.

Saat Sang Srenggi pulang, ia melihat bangkai ular melilit leher ayahnya. Kemudian Sang Srenggi mengucapkan kutukan bahwa Raja Parikesit akan mati digigit ular setelah tujuh hari sejak kutukan tersebut diucapkan. Bagawan Samiti kecewa terhadap perbuatan puteranya tersebut, yang mengutuk raja yang telah memberikan mereka tempat berlindung. Akhirnya Bagawan Samiti berjanji akan mengakhiri kutukan tersebut. ia mengutus muridnya untuk memberitahu Sang Raja, namun Sang Raja merasa malu untuk mengakhiri kutukan tersebut dan memilih untuk berlindung.

Kemudian Naga Taksaka pergi ke Hastinapura untuk melaksanakan perintah Sang Srenggi untuk menggigit Sang Raja. Penjagaan di Hastinapura sangat ketat. Sang Raja berada dalam menara tinggi dan dikelilingi oleh prajurit, brahmana, dan ahli bisa. Untuk dapat membunuh Sang Raja, Naga Taksaka menyamar menjadi ulat dalam buah jambu. Kemudian jambu tersebut diduguhkan kepada Sang Raja. Kutukan tersebut menjadi kenyataan. Raja Parikesit wafat setelah digigit Naga Taksaka yang menyamar menjadi ulat dalam buah jambu.

Parikesit menikahi Madrawati, dan memiliki seorang putera bernama Janamejaya. Janamejaya diangkat menjadi raja pada usia yang masih muda. Janamejaya menikahi Wapushtama, dan memiliki dua putera bernama Satanika dan Sankukarna. Satanika diangkat sebagai raja menggantikan ayahnya dan menikahi puteri dari Kerajaan Wideha, kemudian memiliki seorang putra bernama Aswamedhadatta.
Para keturunan Raja Parikesit tersebut merupakan raja legendaris yang memimpin Kerajaan Kuru, namun riwayatnya tidak muncul dalam Mahabharata.

Parikesit adalah putera Abimanyu alias Angkawijaya, kesatria Plangkawati dengan permaisuri Dewi Utari, puteri Prabu Matsyapati dengan Dewi Ni Yustinawati dari Kerajaan Wirata. Ia seorang anak yatim, karena ketika ayahnya gugur di medan perang Bharatayuddha, ia masih dalam kandungan ibunya. Parikesit lahir di istana Hastinapura setelah keluarga Pandawa boyong dari Amarta ke Hastinapura.
Parikesit naik tahta negara Hastinapura menggantikan kakeknya Prabu Karimataya, nama gelar Prabu Yudistira setelah menjadi raja negara Hastinapura. Ia berwatak bijaksana, jujur dan adil.
Prabu Parikesit mempunyai 5 (lima) orang permasuri dan 8 (delapan) orang putera, yaitu:
1. Dewi Puyangan, berputera Ramayana dan Pramasata
2. Dewi Gentang, berputera Dewi Tamioyi
3. Dewi Satapi alias Dewi Tapen, berputera Yudayana dan Dewi Pramasti
4. Dewi Impun, berputera Dewi Niyedi
5. Dewi Dangan, berputera Ramaprawa dan Basanta.

Parikshit (Sanskrit: परिक्षित्, IAST: Parikṣit, with the alternative form: परीक्षित्, IAST: Parīkṣit) is in the Mahābhārata epic the successor of Yudhisthira to the throne of Hastinapura. His name came from the Sanskrit verb root परि-क्षि pari-kṣi = "around-possess" (or, less likely here, "around-destroy").
Alternate modern, not all of them correct as regards the original Sanskrit, spellings of his name are Pariksita, Pariksit, Parikshat and Parikshita. His name is a common Hindu name across India today.
He was also referred to as the "King of the Kurus".

Parikshit is the son of Uttara, the Matsya princess and Abhimanyu, the Vrishni son of Arjuna. He is born only after the end of the war.

Uttara is carrying their son in her womb when Abhimanyu is mercilessly and unfairly slain by the Kauravas. Later, Ashwathama attempts to kill the unborn child and his mother by directing the brahmastra towards her tent off the battlefields. She is saved by Lord Krishna, who was also the maternal uncle of Abhimanyu (Arjuna's wife Subhadra was the sister of Lord Krishna and mother of Abhimanyu.)

The chief priest Dhaumya predicts to king Yudhisthira after Parikshit's birth that he will be a great devotee of the Supreme Lord Vishnu, and since he was saved by the Lord Krishna, he will be known as Vishnurata (One who is always protected by the Lord).

Dhaumya Rishi predicts that Parikshit would be ever-devoted to virtue, religious principles and the truth and would be a wise monarch, exactly as Ikshvaku and Rama of Ayodhya. He would be as exemplary a warrior as Arjuna, his own grandfather, and would expand the fame of his family.

He is given the name Parikshit as he would search and test for the Supreme Lord, whom he had witnessed as an unborn child, across the world and within every human being.

Upon the commencement of the Kali yuga, the dark age of sin, and the departure of Krishna Avatara from the world, the five Pandava brothers retire. Young Parikshit is duly invested as king, with Kripa as his counselor. He performed three aswamedha yajnas under the guidance of Kripa.

Once Parikshit went hunting in the forest, the demon Kali (not the goddess Kālī), the embodiment of Kali Yuga, appeared before him and asked permission to enter his kingdom, which the king denied. Upon insisting, Parikshit allowed him four places to reside: where there is gambling, alcohol consumption, prostitution, and gold. Kali smartly entered into Parikshit's golden crown and spoiled his thoughts.
Parikshit entered the hut of a sage named Samika as he was thirsty. He found the sage in deep meditation. He bowed to him several times but as there was no response he took a dead snake and threw it around the sage's neck. Later when the sage's son, Sringin, heard of this incident he cursed the king to die of snake bite on the 7th day.

On hearing this, the king forswore the throne for his son Janamejaya and spent his last 7 days listening to the discourses of Sage Sukadeva on Bhagavata. As prophesied, the snake king Takshaka bit Parikshit, who left his mortal remains behind and attained salvation.

Other thesis say that Kali had entered the gold and thus creating man's desire for gold. Parikshit had gone hunting into the forest. He stops at one point and gets into the lake for a bath. He removes his crown and keeps it on the bank of river. Takshaka, a naga king sees the golden crown and desires to get it. He steals the crown, but he was got by Parikshit guards. Parikshit jails him. On his release Takshaka avenges Parikshit and kills him mercilessly.

On hearing this, Parikshit's son Janamejaya vows to kill all the naga in a week. Janamejaya starts his killing spree of naga. He brutally murders Takshaka. Asthika, a close friend of Janamejaya, minister and a philosopher comes to know of Janamajaya's act and stops him.

Source:
http://en.wikipedia.org/wiki/Parikshit



Hatiku selembar daun...

Semar

Semar


Semar adalah putra Sanghyang Tunggal dan dewi Wiranti. Ia mempunyai dua saudara yaitu Sanghyang Antaga (Togog) dan Sanghyang Manikmaya (Batara Guru). 3 bersaudara itu berasal dari telur yang bercahaya. Ketika dipuja oleh Sanghyang Tunggal telur itu pecah kulitnya menjadi Togog, putihnya menjadi Semar dan kuningnya menjadi Batara Guru. Pada waktu di kahyangan Semar bernama Sanghyang Ismaya dan mempunyai istri Kanastri. Berputra sepuluh orang.

Sebutan lain Semar : Saronsari, Ki lurah Badranaya, Nayantaka, Puntaprasanta, Bojagati, Wong Boga Sampir, Ismaya.

Semar berwatak : sabar, jujur, ramah, suka humor. Setelah turun dari kahyangan ia menjadi abdi (panakawan) yang selalu memberi bimbingan bagi para kesatria. Pada waktu di kahyangan ia seorang yang tampan tapi setelah menjadi semar, dan turun ke arcapada (dunia) badannya menjadi gendut, pendek, dan berwajah lucu karena matanya selalu berair.

Diceritakan pada waktu Antaga, Ismaya, dan Manikmaya mengikuti sayembara menelan gunung."Barang siapa yang mampu menelan gunung kemudian mengeluarkan lewat duburnya maka akan mampu menjadi raja di tiga dunia (jagad luhur, madya, andhap). Antaga mencoba, tetapi tidak bisa malah mulutnya sobek dan matanya melotot. Sedangkan Ismaya dapat menelan gunung tapi tidak bisa mengeluarkannya sehingga perutnya buncit, menjadi besar dan matanya berair ( karena menahan sakit ). Sanghyang Manikmaya berhasil menelan gunung, ia diangkat menjadi raja di Kaendran atau Suralaya, juga menguasai jagad madya dan jagad andhap. Kemudian Ismaya ditugaskan oleh Sanghyan Wenang untuk turun ke bumi menjadi abdi para kestaria keturunan Witaradya termasuk leluhur pandawa.

Semar bertempat tinggal di Karang Kedempel, dengan nama semar Badranaya, dan mengangkat anak tiga orang yaitu : Gareng, Petruk dan Bagong. Semar, Gareng, Petruk dan Bagong disebut Punakawan, yang mempunyai arti teman yang setia. Punakawan selalu ikut kesatria yang membela kebenaran, dan selalu menjadi penghibur apabila junjungannya sedang sedih. Semar juga dapat menjadi sarana ketentraman dan kemuliaan bagi negara yang ditempatinya. Pandawa telah menganggap Semar seperti penasihatnya. Pandawa tahu bahwa Semar adalah dewa yang turun ke bumi untuk keselamatan dan keadilan. Selain itu punya watak arif bijaksana, tidak suka marah, suka bercanda.

Panakawan,pana artinya tahu, kawan artinya teman. Panakawan artinya : tahu apa yang harus dilakukan ketika mendampingi tuannya (majikannya) dalam keadaan suka dan duka, penuh cobaan dan godaan untuk menuju arah kemuliaan.

Kyai Lurah Semar Badranaya adalah nama tokoh panakawan paling utama dalam pewayangan Jawa dan Sunda. Tokoh ini dikisahkan sebagai pengasuh sekaligus penasihat para kesatria dalam pementasan kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana. Tentu saja nama Semar tidak ditemukan dalam naskah asli kedua wiracarita tersebut yang berbahasa Sansekerta, karena tokoh ini merupakan asli ciptaan pujangga Jawa.

Menurut sejarawan Prof. Dr. Slamet Muljana, tokoh Semar pertama kali ditemukan dalam karya sastra zaman Kerajaan Majapahit berjudul Sudamala. Selain dalam bentuk kakawin, kisah Sudamala juga dipahat sebagai relief dalam Candi Sukuh yang berangka tahun 1439.

Semar dikisahkan sebagai abdi atau hamba tokoh utama cerita tersebut, yaitu Sahadewa dari keluarga Pandawa. Tentu saja peran Semar tidak hanya sebagai pengikut saja, melainkan juga sebagai pelontar humor untuk mencairkan suasana yang tegang.

Pada zaman berikutnya, ketika kerajaan-kerajaan Islam berkembang di Pulau Jawa, pewayangan pun dipergunakan sebagai salah satu media dakwah. Kisah-kisah yang dipentaskan masih seputar Mahabharata yang saat itu sudah melekat kuat dalam memori masyarakat Jawa. Salah satu ulama yang terkenal sebagai ahli budaya, misalnya Sunan Kalijaga. Dalam pementasan wayang, tokoh Semar masih tetap dipertahankan keberadaannya, bahkan peran aktifnya lebih banyak daripada dalam kisah Sudamala.
Dalam perkembangan selanjutnya, derajat Semar semakin meningkat lagi. Para pujangga Jawa dalam karya-karya sastra mereka mengisahkan Semar bukan sekadar rakyat jelata biasa, melaikan penjelmaan Batara Ismaya, kakak dari Batara Guru, raja para dewa.

Terdapat beberapa versi tentang kelahiran atau asal-usul Semar. Namun semuanya menyebut tokoh ini sebagai penjelmaan dewa.

Dalam naskah Serat Kanda dikisahkan, penguasa kahyangan bernama Sanghyang Nurrasa memiliki dua orang putra bernama Sanghyang Tunggal dan Sanghyang Wenang. Karena Sanghyang Tunggal berwajah jelek, maka takhta kahyangan pun diwariskan kepada Sanghyang Wenang. Dari Sanghyang Wenang kemudian diwariskan kepada putranya yeng bernama Batara Guru. Sanghyang Tunggal kemudian menjadi pengasuh para kesatria keturunan Batara Guru, dengan nama Semar.

Dalam naskah Paramayoga dikisahkan, Sanghyang Tunggal adalah anak dari Sanghyang Wenang. Sanghyang Tunggal kemudian menikah dengan Dewi Rakti, seorang putri raja jin kepiting bernama Sanghyang Yuyut. Dari perkawinan itu lahir sebutir mustika berwujud telur yang kemudian berubah menjadi dua orang pria. Keduanya masing-masing diberi nama Ismaya untuk yang berkulit hitam, dan Manikmaya untuk yang berkulit putih. Ismaya merasa rendah diri sehingga membuat Sanghyang Tunggal kurang berkenan. Takhta kahyangan pun diwariskan kepada Manikmaya, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Ismaya hanya diberi kedudukan sebagai penguasa alam Sunyaruri, atau tempat tinggal golongan makhluk halus. Putra sulung Ismaya yang bernama Batara Wungkuham memiliki anak berbadan bulat bernama Janggan Smarasanta, atau disingkat Semar. Ia menjadi pengasuh keturunan Batara Guru yang bernama Resi Manumanasa dan berlanjut sampai ke anak-cucunya. Dalam keadaan istimewa, Ismaya dapat merasuki Semar sehingga Semar pun menjadi sosok yang sangat ditakuti, bahkan oleh para dewa sekalipun. Jadi menurut versi ini, Semar adalah cucu dari Ismaya.

Dalam naskah Purwakanda dikisahkan, Sanghyang Tunggal memiliki empat orang putra bernama Batara Puguh, Batara Punggung, Batara Manan, dan Batara Samba. Suatu hari terdengar kabar bahwa takhta kahyangan akan diwariskan kepada Samba. Hal ini membuat ketiga kakaknya merasa iri. Samba pun diculik dan disiksa hendak dibunuh. Namun perbuatan tersebut diketahui oleh ayah mereka. Sanghyang Tunggal pun mengutuk ketiga putranya tersebut menjadi buruk rupa. Puguh berganti nama menjadi Togog sedangkan Punggung menjadi Semar. Keduanya diturunkan ke dunia sebagai pengasuh keturunan Samba, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Manan mendapat pengampunan karena dirinya hanya ikut-ikutan saja. Manan kemudian bergelar Batara Narada dan diangkat sebagai penasihat Batara Guru.

Dalam naskah Purwacarita dikisahkan, Sanghyang Tunggal menikah dengan Dewi Rekatawati putra Sanghyang Rekatatama. Dari perkawinan itu lahir sebutir telur yang bercahaya. Sanghyang Tunggal dengan perasaan kesal membanting telur itu sehingga pecah menjadi tiga bagian, yaitu cangkang, putih, dan kuning telur. Ketiganya masing-masing menjelma menjadi laki-laki. Yang berasal dari cangkang diberi nama Antaga, yang berasal dari putih telur diberi nama Ismaya, sedangkan yang berasal dari kuningnya diberi nama Manikmaya. Pada suatu hari Antaga dan Ismaya berselisih karena masing-masing ingin menjadi pewaris takhta kahyangan. Keduanya pun mengadakan perlombaan menelan gunung. Antaga berusaha melahap gunung tersebut dengan sekali telan namun justru mengalami kecelakaan. Mulutnya robek dan matanya melebar. Ismaya menggunakan cara lain, yaitu dengan memakan gunung tersebut sedikit demi sedikit. Setelah melewati bebarpa hari seluruh bagian gunung pun berpindah ke dalam tubuh Ismaya, namun tidak berhasil ia keluarkan. Akibatnya sejak saat itu Ismaya pun bertubuh bulat.

Sanghyang Tunggal murka mengetahui ambisi dan keserakahan kedua putranya itu. Mereka pun dihukum menjadi pengasuh keturunan Manikmaya, yang kemudian diangkat sebagai raja kahyangan, bergelar Batara Guru. Antaga dan Ismaya pun turun ke dunia. Masing-masing memakai nama Togog dan Semar.

Dalam pewayangan dikisahkan, Batara Ismaya sewaktu masih di kahyangan sempat dijodohkan dengan sepupunya yang bernama Dewi Senggani. Dari perkawinan itu lahir sepuluh orang anak, yaitu:
Batara Wungkuham
Batara Surya
Batara Candra
Batara Tamburu
Batara Siwah
Batara Kuwera
Batara Yamadipati
Batara Kamajaya
Batara Mahyanti
Batari Darmanastiti

Semar sebagai penjelmaan Ismaya mengabdi untuk pertama kali kepada Resi Manumanasa, leluhur para Pandawa. Pada suatu hari Semar diserang dua ekor harimau berwarna merah dan putih. Manumanasa memanah keduanya sehingga berubah ke wujud asli, yaitu sepasang bidadari bernama Kanistri dan Kaniraras. Berkat pertolongan Manumanasa, kedua bidadari tersebut telah terbebas dari kutukan yang mereka jalani. Kanistri kemudian menjadi istri Semar, dan biasa dipanggil dengan sebutan Kanastren. Sementara itu, Kaniraras menjadi istri Manumanasa, dan namanya diganti menjadi Retnawati, karena kakak perempuan Manumanasa juga bernama Kaniraras.

Dalam pewayangan Jawa Tengah, Semar selalu disertai oleh anak-anaknya, yaitu Gareng, Petruk, dan Bagong. Namun sesungguhnya ketiganya bukan anak kandung Semar. Gareng adalah putra seorang pendeta yang mengalami kutukan dan terbebas oleh Semar. Petruk adalah putra seorang raja bangsa Gandharwa. Sementara Bagong tercipta dari bayangan Semar berkat sabda sakti Resi Manumanasa.
Dalam pewayangan Sunda, urutan anak-anak Semar adalah Cepot, Dawala, dan Gareng. Sementara itu, dalam pewayangan Jawa Timuran, Semar hanya didampingi satu orang anak saja, bernama Bagong, yang juga memiliki seorang anak bernama Besut.

Semar memiliki bentuk fisik yang sangat unik, seolah-olah ia merupakan simbol penggambaran jagad raya. Tubuhnya yang bulat merupakan simbol dari bumi, tempat tinggal umat manusia dan makhluk lainnya.

Semar selalu tersenyum, tapi bermata sembab. Penggambaran ini sebagai simbol suka dan duka. Wajahnya tua tapi potongan rambutnya bergaya kuncung seperti anak kecil, sebagai simbol tua dan muda. Ia berkelamin laki-laki, tapi memiliki payudara seperti perempuan, sebagai simbol pria dan wanita. Ia penjelmaan dewa tetapi hidup sebagai rakyat jelata, sebagai simbol atasan dan bawahan.

Semar merupakan tokoh pewayangan ciptaan pujangga lokal. Meskipun statusnya hanya sebagai abdi, namun keluhurannya sejajar dengan Prabu Kresna dalam kisah Mahabharata. Jika dalam perang Baratayuda menurut versi aslinya, penasihat pihak Pandawa hanya Kresna seorang, maka dalam pewayangan, jumlahnya ditambah menjadi dua, dan yang satunya adalah Semar.

Semar dalam karya sastra hanya ditampilkan sebagai pengasuh keturunan Resi Manumanasa, terutama para Pandawa yang merupakan tokoh utama kisah Mahabharata. Namun dalam pementasan wayang yang bertemakan Ramayana, para dalang juga biasa menampilkan Semar sebagai pengasuh keluarga Sri Rama ataupun Sugriwa. Seolah-olah Semar selalu muncul dalam setiap pementasan wayang, tidak peduli apapun judul yang sedang dikisahkan.

Dalam pewayangan, Semar bertindak sebagai pengasuh golongan kesatria, sedangkan Togog sebagai pengasuh kaum raksasa. Dapat dipastikan anak asuh Semar selalu dapat mengalahkan anak asuh Togog. Hal ini sesungguhnya merupakan simbol belaka. Semar merupakan gambaran perpaduan rakyat kecil sekaligus dewa kahyangan. Jadi, apabila para pemerintah - yang disimbolkan sebagai kaum kesatria asuhan Semar - mendengarkan suara rakyat kecil yang bagaikan suara Tuhan, maka negara yang dipimpinnya pasti menjadi nagara yang unggul dan sentosa.



Semar is a character in Javanese mythology who frequently appears in wayang shadow plays. He is one of the punokawan (clowns), but is in fact divine and very wise. He is the dhanyang (guardian spirit) of Java, and is regarded by some as the most sacred figure of the kotak (wayang set). He is said to be the god Sang Hyang Ismaya in human form.

The name Semar is said to derive from the Javanese word samar ("dim, obscure, mysterious"). He is often referred to with the honorific, "Kyai Lurah Semar" ("the venerable chief").

In depictions, Semar appears with a flat nose, a protruding lower jaw, a tired eye, and bulging rear, belly, and chest. He wears a checkered hipcloth, symbolizing sacredness. Like the other panakawan, the wayang kulit puppet does not have the elaborate openwork and ornamentation characteristic of the heroes. In wayang wong, Semar always leans forward, one hand palm up on his back and the other extended partly forward, moving up and down, with an extended forefinger.

By tradition Semar has three sons, the other punakawans in the wayang: Gareng, Petruk, and Bagong (Bagong does not appear in Surakarta-style wayang). In some wayangs, he has a brother Sarahita (or Sarawita), who is the servant-clown of a demonic hero.

As Semar is one of the few characters in wayang stories not from Indian mythology, his origin is obscure. One hypothesis is that he and his sons are old indigenous deities who became cursed and demoted to servants with the importation of the kshatriya heroes of the Indian epics. Semar also resembles the vidusaka clown figure of Indian Sanskrit drama.

In one version of the Babad Tanah Jawi (the Javanese creation myth), Semar cultivated a small rice field near Mount Merbabu for ten thousand years before there were any men. His descendents, the spirits of the island, came into conflict with people as they cleared fields and populated the island. A powerful Hindu-Moslem priest, unable to deviate from his king's orders to continue cultivating the island, provided Semar with a role that will allow his children and grandchildren to stay. Semar's role was to be a spiritual advisor and magical supporter of the royalty, and those of his descendents who also protect the humans of Java can remain there.

One genealogy of Semar is that he is the eldest descendent of God, and elder brother to Bathara Guru, king of the other gods; however, Semar became a man. Another genealogy says that he is the son of Adam and Eve. His brother Nabi ("prophet") Sis gave birth to various prophets, such as Jesus and Muhammad, from whom the various Western peoples are descended, while Semar ("Sayang Sis") gave birth to the Hindus and the Javanese. In either case Semar, in his awkward, ugly human form, represents at the same time god and clown, the most spiritually refined and outwardly rough
Semar and his sons first appear in the second part of the plays (pathet sanga), as the servants and counselors of whoever the hero of the wayang play is. In wayang plots Semar is never mistaken, and is deceptively powerful. He is the only character who dares to protest to the gods, including Batharu Guru (Shiva) and Batari Durga, and even compel them to act or desist.

He often represents the realistic view of the world in contrast to the idealistic. His role as servant is to cheer up those in despair and blunt the pride of the triumphant. Clifford Geertz compared his role vis-à-vis Arjuna to that of Prince Hal with his father in Shakespeare's Henry IV, and his role as critic of the play's worldview and antidote to pride as similar to Falstaff. It has also been suggested that Semar is a symbol of the peasantry, not otherwise incorporated in the palace hierarchies; that in some more popular forms of the drama, he and the other clowns dominate the royal heroes supports this idea.
Semar also appears on some ceremonial weapons, the pusaka of some important families. In this role he represents an ancestral figure.

There is a low rectangular candi on the Dieng Plateau known as Candi Semar, perhaps originally a treasury, but it is generally assumed by scholars that its name was given to the temple centuries after its erection. In Bali, the counterpart of Semar is Twalen.

Source:
http://en.wikipedia.org/wiki/Semar




Hatiku selembar daun...

Gareng

Gareng


GARENG anak Gandarwa (sebangsa jin) yang diambil anak angkat pertama oleh Semar. Nama lain gareng adalah : Pancalpamor ( artinya menolak godaan duniawi ) Pegatwaja ( artinya gigi sebagai perlambang bahwa Gareng tidak suka makan makanan yang enak-enak yang memboroskan dan mengundang penyakit. Nala Gareng (artinya hati yang kering, kering dari kemakmuran, sehingga ia senantiasa berbuat baik).

Gareng adalah punakawan kedua setelah Semar. ciri fisik Gareng :
1.Mata juling, artinya tidak mau melihat hal-hal yang mengundang kejahatan/ tidak baik.
2.Tangan ceko (melengkung), artinya tidak mau mengambil/ merampas hak orang lain.
3.Sikil gejik (seperti pincang), artinya selalu penuh kewaspadaan dalam segala perilaku.

Gareng senang bercanda, setia kepada tuannya, dan gemar menolong. Dalam pengembaraannya pernah menjadi raja bernama Prabu Pandu Bergola di kerajaan Parang Gumiwang. Ia sakti mandraguna, semua raja ditaklukkannya. Tetapi ia ingin mencoba kerajaan Amarta ( tempat ia mengabdi ketika menjadi punakawan).Semua satria pandawapun dikalahkannya. Sementara itu Semar, Petruk dan Bagong sangat kebingungan karena kepergian Gareng.

Untunglah Pandawa mempunyai penasehat yang ulung, yaitu Prabu Kresna. Ia menyarankan kepada Semar, jika ia ingin bertemu dengan Gareng relakanlah Petruk untuk untuk menghadapi Pandu Bergola. Semar tanggap dengan ucapan Krena, sedangkan hati Petruk menjadi ciut nyalinya. Petruk berfikir Semua raja juga termasuk Pandawa saja dikalahkan Pandu Bergola, apa jadinya kalau dia yang menghadapinya. Melihat kegamangan Petruk, Semar mendekat dan membisikkan sesuatu kepadanya. Setelah itu petruk menjadi semangat dan girang, kemudian ia berangkat menghadapi Pandu Bergola.

Saat Pandu Bergola sudah berhadapan dengan Petruk, ia selalu membelakangi ( tidak mau bertatap muka), jika terpaksa bertatap muka ia selalu menunduk. Tetapi Petruk senantiasa mendesak untuk bertanding. Akhirnya terjadilah perang tanding yang sangat ramai, penuh kelucuan dan juga kesaktian. Saat pergumulan terjadi Pandu Bergola berubah wujud menjadi Gareng. Tetapi Petruk belum menyadarinya. Pergumulan terus berlanjut sampai pada akhirnya Semar memisahkan keduanya. Begitu tahu wujud asli Pandu Bergola, Petruk memeluk erat-erat kakaknya (Gareng) dengan penuh girang. semua keluarga Pandawa ikut bersuka cita karena abdinya telah kembali.

Gareng ditanya oleh Kresna, mengapa melakukan seperti itu. ia menjawab bahwa dia ingin mengingatkan tuan-tuannya (Pandawa), jangan lupa karena sudah makmur sehingga kurang/ hilang kehati-hatian serta kewaspadaannya. Bagaimana jadinya kalau negara diserang musuh dengan tiba-tiba? negara akan hancur dan rakyat menderita. Maka sebelum semua itu terjadi Gareng mengingatkan pada rajanya. Pandawa merasa gembira dan beruntung punya abdi seperti Gareng.

Makna yang terkandung dalam kisah Gareng adalah :
1.Jangan menilai seseorang dari wujud fisiknya. Budi itu terletak di hati, watak tidak tampak pada wujud fisik tetapi pada tingkah dan perilaku. Belum tentu fisiknya cacat hatinya jahat.
2.Manusia wajib saling mengingatkan.
3.Jangan suka merampas hak orang lain.
4.Cintailah saudaramu dengan setulus hati.
5.Kalau bertindah harus dengan penuh perhitungan dan hati-hati.

Nama lengkap dari Gareng sebenarnya adalah Nala Gareng, hanya saja masyrakat sekarang lebih akrab dengan sebutan “Gareng”. Gareng adalah purnakawan yang berkaki pincang. Hal ini merupakan sebuah sanepa dari sifat Gareng sebagai kawula yang selalu hati-hati dalam melangkahkan kaki. Selain itu, cacat fisik Gareng yang lain adalah tangan yang ciker atau patah. Ini adalah sanepa bahwa Gareng memiliki sifat tidak suka mengambil hak milik orang lain. Diceritakan bahwa tumit kanannya terkena semacam penyakit bubul.

Dalam suatu carangan Gareng pernah menjadi raja di Paranggumiwayang dengan gelar Pandu Pragola. Saat itu dia berhasil mengalahkan prabu Welgeduwelbeh raja dari Borneo yang tidak lain adalah penjelmaan dari saudaranya sendiri yaitu Petruk.

Dulunya, Gareng berujud ksatria tampan bernama Bambang Sukodadi dari pedepokan Bluktiba. Gareng sangat sakti namun sombong, sehingga selalu menantang duel setiap ksatria yang ditemuinya. Suatu hari, saat baru saja menyelesaikan tapanya, ia berjumpa dengan ksatria lain bernama Bambang panyukilan. Karena suatu kesalah pahaman, mereka malah berkelahi. Dari hasil perkelahian itu, tidak ada yang menang dan kalah, bahkan wajah mereka berdua rusak. Kemudian datanglah Batara Ismaya (Semar) yang kemudian melerai mereka. Karena Batara Ismaya ini adalah pamong para ksatria Pandawa yang berjalan di atas kebenaran, maka dalam bentuk Jangganan Samara Anta, dia (Ismaya) memberi nasihat kepada kedua ksatria yang baru saja berkelahi itu.

Karena kagum oleh nasihat Batara Ismaya, kedua ksatria itu minta mengabdi dan minta diaku anak oleh Lurah Karang Dempel, titisan dewa (Batara Ismaya) itu. Akhirnya Jangganan Samara Anta bersedia menerima mereka, asal kedua kesatria itu mau menemani dia menjadi pamong para kesatria berbudi luhur (Pandawa), dan akhirnya mereka berdua setuju. Gareng kemudian diangkat menjadi anak tertuang (sulung) dari Semar.



Source:
http://id.wikipedia.org/wiki/Gareng




Hatiku selembar daun...

Petruk

Petruk



Petruk adalah punakawan yang tinggi dan berhidung panjang. Dalam suatu kisah berjudul Petruk Menjadi Raja, dia memakai nama Prabu Kantong Bolong Bleh Geduweh.

Petruk adalah anak Gandarwa (sebangsa jin), menjadi anak angkat kedua Semar setelah Gareng.Nama lain Petruk adalah Kanthong Bolong, artinya suka berdema. Doblajaya, artinya pintar. Diantara saudaranya (Gareng dan Bagong) Petruklah yang paling pandai dan pintar bicara.

Petruk tinggal di Pecuk Pecukilan. Ia mempunyai satu anak yaitu Bambang Lengkung Kusuma (seorang yang tampan) istrinya bernama Dewi Undanawati. Sebagai punakawan Petruk selalu menghibur tuannya ketika dalam kesusahaan menerima cobaan, mengingatkan ketika lupa, membela ketika teraniaya. Intinya bisa momong, momot, momor,mursid dan murakabi.
1. Momong, artinya bisa mengasuh.
2. Momot, artinya dapat memuat segala keluhan tuannya, dapat merahasiakan masalah.
3. Momor, artinya tidak sakit hati ketika dikritik dan tidak mudah bangga kalau disanjung.
4. Mursid, artinya pintar sebagai abdi, mengetahui kehendak tuannya.
5. Murakabi, artinya bermanfaat bagi sesama.

Pada suatu waktu Pandawa kehilangan jimat Kalimasada. kehilangan jimat ini artinya Pandawa lumpuh karena hilang kebijaksanaan dan kemakmuran, keangkaramurkaan timbul dimana-mana. Jimat ini dicuri oleh Mustakaweni. Mengetahui hal itu Bambang Irawan dan Bambang Priyambodo (anak Arjuna) dengan disertai Petruk berusaha merebut jimat tersebut dari tangan Mustakaweni. Akhirnya jimat tersebut berhasil direbut dan dititipkan kepada Petruk.

Sementara itu ternyata Adipati Karna juga berhasrat memiliki jimat tersebut. petruk ditusuk dengan keris pusaka yang ampuh yaitu Kyai Jalak, Petrukpun mati seketika. Atas kesaktian ayahnya (Gandarwa) Petruk dihidupkan lagi. Kemudian ayahnya tersebut ingin menolong Petruk dengan berubah wujud menjadi Duryudana. ketika Karna bertemu Duryudana jimat kalimasada diserahkan kepadanya. Betapa terkejutnya Karna mengetahui telah diperdaya oleh Gandarwa. Akhirnya jimat tersebut oleh Gandarwa diserahkan kembali kepada Petruk, dan dia menasehati kalau menghadapi musuh Petruk harus hati-hati dan jimat tersebut diminta untuk diletakkan di atas kepalanya. Ternyata setelah jimat tersebut diterapkan sesuai anjuran ayahnya Petruk menjadi sangat sakti, tidak mempan senjata apapun. Karna-pun dapat dikalahkannya.Tak terasa akhirnya Petruk terpisah dengan tuannya Bambang Irawan. Petrukpun mengembara, semua negara ditakhlukkannya termasuk negara Ngrancang Kencana. Petruk menjadi raja disana dan bergelar Prabu Wel Keduwelbeh. Sedangkan raja yang asli menjadi bawahannya. Begitulah ketika Punakawan kalau sudah mengeluarkan kesaktiannya tidak ada manusiapun yang dapat menandinginya.

Ketika akan mewisuda dirinya, semua raja negara bawahan yang ditaklukkannya hadir termasuk Astina. Yang belum hanya Pandawa, Dwarawati, dan Mandura. Semula ketiga raja negar tersebut tidak mau hadir, tetapi setelah Pandawa dan Mandura dikalahkan akhirnya Raja Dwarawati (Prabu Kresna) menyerahkan hal ini kepada Semar. Oleh Semar Gareng dan Bagong diajukan sebagai wakil dari Dwarawati. Terjadilah peperangan yang sangat ramai antara Prabu Wel Keduwelbeh dengan Gareng dan Bagong, peperangan tidak segera berakhir karena belum ada yang menang dan belum ada yang kalah, sampai ketiganya berkeringat. Gareng dan Bagong akhirnya bisa mengenali bau keringat saudaranya Petruk dan yakin bahwa orang yang mengajak bertarung itu sesungguhnya adalah Petruk, maka mereka tidak lagi bertarung kesaktian tetapi malah diajak bercanda, berjoged bersama, dengan berbagai lagu dan tari. Wel Geduwelbeh merasa dirinya kembali ke habitatnya, lupa bahwa dia memakai pakaian kerajaan. Setelah ingat, ia segera lari meninggalkan Gareng dan Petruk. Wel Geduwlbeh dikejar oleh Gareng dan Bagong setelah tertangkap, sang prabu dipeluk dan digelitik oleh Bagong sampai Petruk kembali ke wujud aslinya.

Setelah terbuka semua Petruk ditanya oleh Kresna mengapa ia bertindak seperti itu. ia beralasan bahwa tindakan itu untuk mengingatkan tuannya bahwa segala perilaku harus diperhitungkan terlebih dahulu. Contohnya saat membangun candi Sapta Arga, kerajaan ditinggal kosong sehingga kehilangan jimat Kalimasada. Bambang Irawan jangan mudah percaya kepada siapa saja. Kalau diberi tugas sampai tuntas jangan dititipkan kepada siapapun. Setelah menjadi raja jangan sombong dan meremehkan rakyat kecil, karena rakyat kecil kalau sudah marah/ memberontak pimpinan bisa berantakan. Dengan cara inilah Petruk ingin menyadarkan tuannya, karena kalau secara terang-terangan pasti tidak dipercaya bahkan mungkin dimarahi.

Bagaimanapun Petruk merasa bersalah, kemudian ia minta maaf. Pandawapun akhirnya memaafkan Petruk dan dengan senang hati menerima nasihat Petruk.

Inti pendidikan budi pekerti yang bisa diambil dari cerita diatas :
1. Budi dan watak tidak dapat diukur dari penampilan/ fisik, tetapi dengan perilaku nyata.
2. Bawahan harus setia pada atasan
3. Mengerjakan tugas hingga tuntas dan diusahakan berhasil dengan baik
4. Jangan merebut hak dan milik orang lain
5. Semua tindakan harus dengan penuh perhitungan, jangan ceroboh dan tergesa-gesa mengambil keputusan.
6. Milikilah watak momong, momot, momor,mursid, dan murakabi
7. Kalau sudah mulia jangan terlena
8. Kalau salah harus berani mengakui dan meminta maaf.


Source:
http://id.wikipedia.org/wiki/Petruk



Hatiku selembar daun...

Bagong

Bagong



Bagong adalah anak angkat ketiga Semar. Dia adik Gareng dan Petruk. Diceritakan ketika itu Gareng dan Petruk minta dicarikan teman, sanghyang Tunggal bersabda :"Ketahuilah bahwa temanmu adalah bayanganmu sendiri." Seketika itu bayangan berubah menjadi manusia dan selanjutnya diberi nama Bagong.

Bagong berbadan pendek, gemuk seperti semar tetapi mata dan mulut lebar. Ia memiliki watak banyak bercanda, pintar membuat lelucon, bahkan terkadang saking lucunya menjadi menjengkelkan. Beradat lancang, tetapi jujur, dan juga sakti. Kalau menjalankan tugas terkadang tergesa-gesa kurang perhitungan. Bagong bersuara besar dan kedengaran agak kendor di leher.

Ada yang mengatakan kalau Bagong berasal dari kata Baghoo (bahasa Arab) yang artinya senang membangkang/ menentang, tidak mudah menurut atau percaya pada nasihat orang lain. Ini juga menjadi nasihat pada tuannya bahwa manusia didunia ini mempunyai watak yang bermacam-macam dan perlu diperhatikan dan diwaspadai dari watak dan karakter masing - masing watak tersebut.

Inti pendidikan dan budi pekerti :
1. Hidup ini perlu hiburan
2. Setiap tindakan jangan tergesa-gesa dalam pelaksanaannya, harus diperhitungkan terlebih dahulu, minimal dampak negatif dan positif yang akan timbul akibat dari perbuatan kita tersebut.
3. Pelajari berbagai macam watak/ karakter manusia agar kita bisa hidup bermasyarakat dengan baik.
4. Kejujuran modal utama dalam bermasyarakat, tanpa itu kita akan dijauhi oleh orang lain.

Ki Lurah Bagong adalah nama salah satu tokoh punakawan dalam kisah pewayangan yang berkembang di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tokoh ini dikisahkan sebagai anak bungsu Semar. Dalam pewayangan Sunda juga terdapat tokoh panakawan yang identik dengan Bagong, yaitu Cepot atau Astrajingga. Namun bedanya, menurut versi ini, Cepot adalah anak tertua Semar.

Sebagai seorang panakawan yang sifatnya menghibur penonton wayang, tokoh Bagong pun dilukiskan dengan ciri-ciri fisik yang mengundang kelucuan. Tubuhnya bulat, matanya lebar, bibirnya tebal dan terkesan memble.

Gaya bicara Bagong terkesan semaunya sendiri. Dibandingkan dengan ketiga panakawan lainnya, yaitu Semar, Gareng, dan Petruk, maka Bagong adalah sosok yang paling lugu dan kurang mengerti tata krama. Meskipun demikian majikannya tetap bisa memaklumi.

Beberapa versi menyebutkan bahwa, sesungguhnya Bagong bukan anak kandung Semar. Dikisahkan Semar merupakan penjelmaan seorang dewa bernama Batara Ismaya yang diturunkan ke dunia bersama kakaknya, yaitu Togog atau Batara Antaga untuk mengasuh keturunan adik mereka, yaitu Batara Guru.
Togog dan Semar sama-sama mengajukan permohonan kepada ayah mereka, yaitu Sanghyang Tunggal, supaya masing-masing diberi teman. Sanghyang Tunggal ganti mengajukan pertanyaan berbunyi, siapa kawan sejati manusia. Togog menjawab "hasrat", sedangkan Semar menjawab "bayangan". Dari jawaban tersebut, Sanghyang Tunggal pun mencipta hasrat Togog menjadi manusia kerdil bernama Bilung, sedangkan bayangan Semar dicipta menjadi manusia bertubuh bulat, bernama Bagong.

Versi lain menyebutkan, Semar adalah cucu Batara Ismaya. Semar mengabdi kepada seorang pertapa bernama Resi Manumanasa yang kelak menjadi leluhur para Pandawa. Ketika Manumanasa hendak mencapai moksha, Semar merasa kesepian dan meminta diberi teman. Manumanasa menjawab bahwa temannya yang paling setia adalah bayangannya sendiri. Seketika itu pula, bayangan Semar pun berubah menjadi manusia, dan diberi nama Bagong.

Gaya bicara Bagong yang seenaknya sendiri sempat dipergunakan para dalang untuk mengritik penjajahan kolonial Hindia Belanda. Ketika Sultan Agung meninggal tahun 1645, putranya yang bergelar Amangkurat I menggantikannya sebagai pemimpin Kesultanan Mataram. Raja baru ini sangat berbeda dengan ayahnya. Ia memerintah dengan sewenang-wenang serta menjalin kerja sama dengan pihak VOC-Belanda.

Keluarga besar Kesultanan Mataram saat itu pun terpecah belah. Ada yang mendukung pemerintahan Amangkurat I yang pro-Belanda, ada pula yang menentangnya. Dalam hal kesenian pun terjadi perpecahan. Seni wayang kulit terbagi menjadi dua golongan, yaitu golongan Nyai Anjang Mas yang anti-Amangkurat I, dan golongan Kyai Panjang Mas yang sebaliknya.

Rupanya pihak Belanda tidak menyukai tokoh Bagong yang sering dipergunakan para dalang untuk mengritik penjajahan VOC. Atas dasar ini, golongan Kyai Panjang Mas pun menghilangkan tokoh Bagong, sedangkan Nyai Panjang Mas tetap mempertahankannya.

Pada zaman selanjutnya, Kesultanan Mataram mengalami keruntuhan dan berganti nama menjadi Kasunanan Kartasura. Sejak tahun 1745 Kartasura kemudian dipindahkan ke Surakarta. Selanjutnya terjadi perpecahan yang berakhir dengan diakuinya Sultan Hamengkubuwana I yang bertakhta di Yogyakarta.

Dalam hal pewayangan, pihak Surakarta mempertahankan aliran Kyai Panjang Mas yang hanya memiliki tiga orang panakawan (Semar, Gareng, dan Petruk), sedangkan pihak Yogyakarta menggunakan aliran Nyai Panjang Mas yang tetap mengakui keberadaan Bagong.

Akhirnya, pada zaman kemerdekaan Bagong bukan lagi milik Yogyakarta saja. Para dalang aliran Surakarta pun kembali menampilkan empat orang panakawan dalam setiap pementasan mereka. Bahkan, peran Bagong cenderung lebih banyak daripada Gareng yang biasanya hanya muncul dalam gara-gara saja.

Dalam pewayangan gaya Jawa Timuran, yang berkembang di daerah Surabaya, Gresik, Mojokerto, Jombang, Malang dan sekitarnya, tokoh Semar hanya memiliki satu orang anak saja, yaitu Bagong seorang. Bagong sendiri memiliki anak bernama Besut.

Tentu saja Bagong gaya Jawa Timuran memiliki peran yang sangat penting sebagai panakawan utama dalam setiap pementasan wayang. Ucapannya yang penuh humor khas timur membuatnya sebagai tokoh wayang yang paling ditunggu kemunculannya. Dalam versi ini, Bagong memiliki nama sebutan lain, yaitu Jamblahita.



Source:
http://id.wikipedia.org/wiki/Bagong
Bagong/Jamblahita.




Hatiku selembar daun....

Bambang Ekalaya

Bambang Ekalaya


Akisah seorang ksatria bernama Bambang Ekalaya mencari ilmu memanah yang bernama Danuweda. Hanya satu orang yang memiliki ajian ini yaitu Resi Dorna dari Hastinapura. Tetapi Resi Dorna telah berjanji bahwa dia tidak akan mengajar kepada orang lain kecuali putra2 Hastina. Ketika Bambang Ekalaya datang memohon berguru kepada Resi Dorna, diapun ditolak. Kecewa karena ditolak, Bambang Ekalaya tidak menyerah dan membuat patung Resi Dorna dan berguru panah kepada patung itu. Dengan tekunnya Bambang Ekalaya berguru sehingga akhirnya diapun menguasai aji Danuweda.

Suatu ketika, Para Kurawa dan Pandawa sedang berburu dan mereka melihat sebuah celeng yang mati dengan mulut penuh panah. Tapi panah2 itu tidak dilepaskan satu per satu melainkan sekaligus, yang merupakan ciri khas dari aji Danuweda. Pandawa dan Kurawa menjadi bingung dan mencari ksatria yang memanah celeng tersebut. Setelah dicari mereka bertemu dengan Bambang Ekalaya dan oleh Arjuna ditanyakan kepada siapa berguru di memanah, Bambang Ekalaya menjawab Resi Dorna. Terkejut oleh jawaban Bambang Ekalaya, Arjuna membawa celeng itu kehadapan gurunya resi Dorna untuk meminta penjelasan mengapa sang resi telah mengajarkan ilmu itu kepada orang lain yang bukan putra Hastina (kalau tidak salah hanya 2 orang di Hastinapura yang mampu menguasai ajian ini, Arjuna dan Karna). Resi Dornapun terkejut hatinya ketika melihat bahwa ada orang lain yang memilik aji Danuweda tanpa sepengetahuannya, sang resi meminta Pandawa dan Kurawa untuk menunjukkan tempat ksatria tersebut.

Bambang Ekalaya sangat gembira ketika melihat gurunya datang. Resi Dornapun terkejut dan bertanya mengapa Bambang Ekalaya bisa menguasai aji Danuweda tanpa diajari apapun olehnya. Bambang Ekalaya pun menunjukkan patung Resi Dorna yang dibuatnya dan menjelaskan bahwa dia berlatih memanah setiap saat dibawah pengawasan patung tersebut. Resi Dorna menjadi marah ketika mengetahui hal tersebut dan tetap tidak mau mengakui Bambang Ekalaya sebagai muridnya. Bambang Ekalaya menjawab bahwa dia tidak pantas berguru langsung dari Resi Dorna dan patungnya saja sudah lebih dari cukup untuk berguru. Karena kesal, terbesit sebuah rencana di hati Resi Dorna untuk mencegah Bambang Ekalaya. Resi Dorna akan mengakui Bambang Ekalaya sebagai muridnya jika dia mempersembahkan kedua jempolnya.

Bambang Ekalaya sangat gembira mendegar hal ini dan memotong kedua jempolnya tanpa pikir2. Setelah dipotong kedua jempolnya dipersembahkan kepada Resi Dorna. Resi Dorna berkata bahwa Bambang Ekalaya tidak akan bisa lagi memegang panah karena kedua jempolnya telah tidak ada. Bambang Ekalaya menjawab bahwa dia rela demi menjadi murid Resi Dorna. Resi Dorna pun menyuruh Bambang Ekalaya pulang karena dia tidak akan mengajarkan apapun kepadanya. Mematuhi perintah gurunya, Bambang Ekalaya pun kembali ke tempat asalnya.

Ketika para pendawa telah menetap di Indrapasta, Bambang Ekalaya ingin memberi persembahan kepada gurunya Resi Dorna di Hastinapura untuk memberitahukan bahwa Bambang Ekalaya kini telah menikah dan menjadi seorang raja. Bambang Ekalaya kemudian mengirim istrinya dikawal beberapa ponggawa untuk membawa persembahan ini. Dalam perjalanan mereka diserang oleh sekelompok raksasa yang membunuh seluruh ponggawa. Istri Bambang Ekalaya berhasil melarikan diri tapi para raksasa terus mengejar. Ketika melarikan diri, terlihat seorang ksatria sedang bertapa di gua yaitu Arjuna. Istri Bambang Ekalaya lupa tata krama dan segera masuk kedalam gua tempat Arjuna bertapa. Tapa Arjuna jadi terganggu dan terbangun dari tapanya. Ketika melihat sang putri cantik yang dikejar2 oleh raksasa, Arjuna segera mengambil busur dan panahnya dan dalam sekejap menumpas gerombolan raksasa. Setelah selesai menumpas raksasa2, Arjuna menjadi tertarik oleh istri Bambang Ekalaya yang cantik.

Arjunapun lupa tata krama karena birahinya telah memuncak walaupun telah dijelaskan siapa sang putri itu sebenarnya. Arjuna mengejar sang putri ke pinggir tebing dimana sang putri memilih melompat, Arjuna menjadi terkejut melihat hal ini dan menyesali tindakannya. Untungnya, ibu sang putri yang merupakan seorang dewi turun dari kahyangan untuk menolong putrinya. Istri Bambang Ekalayapun dibawa kembali ke hadapan Bambang Ekalaya oleh sang ibu, ketika ditanya apa yang terjadi dijelaskan bahwa Arjuna telah lupa tata krama dan berusaha mendekati istrinya. Bambang Ekalaya menjadi marah dan bertekad untuk membunuh Arjuna.

Ketika sampai di Indrapasta, Bambang Ekalaya segera menantang Arjuna untuk bertarung. Saat itu, Sri Kresna sedang bertamu di Indrapasta dan mendegar tantangan tersebut dirinya segera sadar bahwa Arjuna akan perlaya jika bertarung melawan Bambang Ekalaya. Sebagai raja yang adil dan bijaksana, Yudistira menolak untuk melibatkan kerajaan Indrapasta kedalam masalah ini sehingga dia menyuruh Arjuna untuk mengatasi masalah ini sendiri dan tidak menyeret2 nama Indrapasta dan juga para Pendawa.

Arjuna juga sadar atas kesalahannya dan menerima tantangan Bambang Ekalaya. Ketika bitotama, ternyata Bambang Ekalaya masih cekatan walaupun dia tidak memiliki kedua jempolnya. Berkali2 Bambang Ekalaya terjatuh mati terkena serangan Arjuna tapi dia tidak bisa mati karena Bambang Ekalaya memilik cincin pusaka Ampal di jarinya yang melindungi dari segala marabahaya dan memberi kesaktian ajian Ampal yang akan membunuh musuhnya jika ditamparkan ke arah musuhnya dari jauh. Ketika Bambang Ekalaya menggunakan ajian Ampal, Arjuna pun segera terjatuh dari kudanya tak bernyawa. Sri Kresna segera memunculkan diri untuk mengambil jenasah Arjuna dan membawanya kembali. Setelah dibawa kembali, Sri Kresna mengeluarkan Aji Wijayakusumah untuk menghidupkan Arjuna kembali. Arjuna yang dihidupkan kembali menyesal karena dia telah rela mati daripada mencoreng nama Pendawa dari sikap ksatria. Tetapi oleh Sri Kresna dijelaskan bahwa tenaga Arjuna masih diperlukan oleh Pendawa di masa depan ketika terjadi perang besar antara kebaikan melawan kejatahan. Arjuna kemudian kembali berkata bahwa dia tidak rela hidup selama Bambang Ekalaya masih hidup. Oleh Sri Kresna kemudian dijelaskan cerita tentang kesaktian cincin Ampal yang dimiliki Bambang Ekalaya.

Kemudian oleh Sri Kresna dijelaskan rencana untuk mengalahkan Bambang Ekalaya kepada Arjuna. Di malam hari, Sri Kresna dan Arjuna menggunakan aji Halimunan untuk menyelinap ke perkemahan Bambang Ekalaya, para ponggawa tertidur nyenyak terkena Aji Sirep Sri Kresna.

Bambang Ekalaya masih belum tidur karena sedang bersemedi di hadapan patung Dorna yang selalu dibawanya kemana saja. Sri Kresna kemudian menyamar menjadi Dorna melalui patung tersebut dan berkata bahwa Bambang Ekalaya telah bersalah karena telah membunuh murid kesayangannya Arjuna. Sri Kresna patung Dorna kemudian meminta cincin wasiat yang telah membunuh Arjuna untuk diletakkan di pangkuannya. Bambang Ekalaya yang gembira karena mendegar suara gurunya segera mematuhi perintah Dorna dan meletakkan cincin pusaka itu dipangkuannya. Setelah dilepas, Arjuna mengambil keris Bambang Ekalaya yang kemudian ditusukkan kepada empunya sendiri sehingga terlihat bahwa Bambang Ekalaya telah bunuh diri. Sri Kresna dan Arjuna pun meninggalkan perkemahan Bambang Ekalaya.Dari situ arwah Bambang Ekalaya menuntut balas kepada Resi Dorna yang dikira telah membunuhnya. Arwahnya kemudian menitis kepada Drestajumena yang di Bharatayuda memenggal Resi Dorna.



Hatiku selembar daun...

Gatotkaca Lena

Gatotkaca Lena



Panglima panglima sepuh Hastina telah menjadi korban ganasnya Bharatayuda. Resi Bhisma tergolek lemah setelah ribuan panah Srikandi menghujam raganya. Meski sukma dan raga Resi Bhisma masih bersatu, namun cukuplah ribuan panah itu menyingkirkan sang resi dari gelanggang pertempuran. Pandita Dorna tewas dengan mengenaskan di tangan Drestajumna. Kepala dan badannya terpisah setelah menduga anaknya tewas.

Mendung menggelayut di kedua belah kubu.

Pihak Pandawa masih berduka mengenang eyang dan guru mereka yang telah menjadi korban ganasnya Bharatayuda. Korban atas perang yang terjadi diantara cucu cucu Bhisma. Korban atas perang diantara anak-anak didik Pandita Dorna. Kegamangan perang kembali meyeruak.

Sementara pihak Kurawa resah mencari pengganti panglima perang mereka. Hanya yang memiliki kehebatan setara Resi Bisma dan Pandita Durna yang pantas menggantikan mereka.



Malam semakin gelap. Pandawa dan Kurawa masih menyiapkan strategi untuk Bharatayuda esok pagi. Pandawa masih mencoba menerka siapa yang akan mereka hadapi di Kurusetra. Setelah tumbangnya Resi Bisma dan Pandita Dorna, tinggal Prabu Salya yang pantas dan sanggup menjadi panglima sepuh pihak Kurawa. Apakah setelah menghadapi Eyang kemudian Guru, apakah sekarang saatnya menghadapi Paman mereka? Atau ada panglima muda yang akan mereka hadapi esok pagi?



Prabu Kresna tiba-tiba resah luar biasa ketika tersiar berita Adipati Karna yang maju menjadi panglima, dan didampingi Prabu Salya sebagai saisnya. Keresahan itu menyeruak demikian hebat. Keeresahan akan keselamatan Arjuna. Keresahan akan akhir perang ini. Dia tahu, Bharatayuda tidak mungkin dimenangkan oleh Pandawa tanpa penengahnya, tanpa Arjuna. Dan dia tahu hanya Arjunalah yang akan dicari dan diajak bertarung oleh Karna. Yah, itulah pemenuhan ikrar Karna kepada Kunti ibunya.

”Dalam perang Bharatayuda nanti, saya hanya akan bertarung dengan Arjuna, agar putera Ibu ”tetap” lima”

Dan Kresna juga tahu, Adipati Karna, putra tertua Dewi Kunti, tidak mungkin dikalahkan oleh Arjuna selama Karna masih memengang senjata sakti para dewa. Senjata Konta. Konta Wijayadanu.



Dalam keresahannya, Prabu Kresna melesat ke angkasa.



Sementara itu, jauh diatas mega Gatotkaca terbang dengan eloknya. Sesekali melakukan manuver-manuver di udara. Melesat cepat, menukik, langsung melesat ke atas setelah berjumpalitan diudara tiga kali. Dikejarnya angin dan ditangkapnya sang angin. Namun kadang pula angin yang menggulung gulung Gatotkaca. Mereka tertawa lepas, seolah tanpa beban. Namun terkadang pula Gatotkaca melayang, mengambang saja. Membiarkan dirinya dihanyutkan oleh angin. Dibelai oleh angin, dimanjakan oleh angin. Asyik sekali Gatotkaca bermain dengan angin, bagai anak kecil bermain dengan kakeknya. Yach.. benar!! Gatotkaca sedang bermain main!! Bermain dengan kakeknya, Bathara Bayu.



Dalam tegap tubuhnya, dan dalam garang kumis yang melintang tersembunyi jiwa kekanakan Gatotkaca. Suara berat raganya, menindas celoteh riang batinnya. Raga dan suara itu menjebak Gatotkaca yang sebenarnya masih sangat muda. Masih remaja. Gatotkaca yang malang. Gatotkaca yang instant. Gatotkaca yang dipaksa berperang ketika bayi, demi ketentraman kahyangan. Jabang Tetuko, bayi Gatotkaca, dipaksa berperang melawan raja Raksasa. Kawah Candradimuka memaksa tubuhnya menjadi perkasa. Jabang bayi yang baru lahir dipaksa menjadi satria.



Namun seperti sarung Senjata Konta yang bersemayam dalam pusarnya, ada kekosongan di dalamnya. Jiwa kanak-kanak itu tetap ada. Yah.. sarung Senjata Konta, keras diluar namun tetap saja kosong di dalamnya. Sarung Senjata Konta, itulah Gatotkaca. Jiwanya masih kanak, berbeda dengan Bima ayahnya. Keteguhan jiwa Bima, pencerahan budi Bima, hanya untuk Bima. Hanya untuk dia yang mengarungi samudra, menapaki dasarnya, bergelut dengan naga, dan berguru pada Dewaruci. Kemuliaan budi dan jiwa Bima tidak bisa diwariskan ke siapa pun. Tidak juga kepada Gatotkaca, anaknya. Perjalanan pencarian keteguhan jiwa itu yang tidak dialami Gatotkaca. Dia dipaksa dewasa oleh para dewa.



”Selamat Malam, Kangmas Batara Bayu. Maaf mengganggu, mohon ijin ketemu Gatotkaca,” sapa Prabu Kresna mengusik keasyikan Gatotkaca yang sedang ditimang oleh angin semilir.

Suasana tiba-tiba hening. Angin mati.

”Ada apa uwa Prabu. Kok malam-malam menyusul kemari” tanya Gatotkaca keheranan.

”Gatotkaca, uwa minta kamu besok maju ke medan perang. Hadapi Adipati Karna!”

Gatotkaca diam saja.

”Bagaimana Gatotkaca, kamu besok tanding dengan Karna”

Gatotkaca menggeleng pelan

”Tidak uwa! Aku tetap pada tugasku saja. Menghadapi ribuan pasukan dan raksasa raksasa yang lain. Biarlah panglima Kurawa dihadapi oleh satria-satria Pandawa yang lain”

Memang selama ini Gatotkaca bertugas untuk menghancurkan pasukan yang lain, sementara senapati-senapati dihadapi oleh satria-satria Pandawa yang lain. Ada Seta, Uttara, Setyaki, Drestajumna, Srikandi, Abimanyu atau oleh Pandawa sendiri. Kalau pun ada tugas lain, adalah menjadi ”satelit” ketika Arjuna mencari Jayadrata untuk membalas kematian Abimanyu.

”Asyik, bertempur dengan pasukan rendahan dan para raksasa. Bisa bertarung seperti halnya bermain-main saja”

Memang bertempur dengan ribuan pasukan bagi Gatotkaca seperti mainan saja. Melesat ke sana, tendang sini, pukul situ, terjang kanan, sambar kiri.

”Masa kamu hanya berhadapan dengan kroco-kroco saja. Kini saatnya menunjukkan kesaktianmu yang sesungguhnya” bujuk Kresna

Gatotkaca tetap menggelengkan kepalanya.

“Tidak uwa. Selama ini saya selalu menuruti permintaan uwa. Permintaan para dewa. Sekarang saya mau bertempur sesuai kesenangan saya sendiri. Saya menikmati perang ini. Menyenangkan sekali bisa menghajar ratusan prajurit itu.”

Kresna terkejut mendengar jawaban Gatotkaca. Tidak pernah dia seperti ini. Akalnya perputar keras. Gatotkaca harus maju perang, atau rancangan para dewa berantakan.

”Apa kamu tidak mau membalas kematian saudaramu Abimanyu. Kamu tahu, Abimanyu gugur dikeroyok para satria Kurawa. Memang serangan terakhir oleh Jayadrata, tapi Karna juga ikut mengeroyok waktu itu. Bahkan dialah yang menghancurkan busur Abimanyu dari belakang. Jika Abimanyu tidak kehilangan busurnya, tentu dia akan selamat. Karnalah yang membuka jalan kematian Abimanyu. Jayadrata telah dibunuh pamanmu Arjuna. Sekaranglah saatnya bagi kamu untuk bertarung dengan Karna sebagai pembalasan atas kematian Abimanyu”.

Kenangan akan Abimanyu selalu menggugah emosi Gatotkaca. Abimanyu dan Gatotkaca, generasi kedua penerus Pandawa ini, memang sering berpetualang bersama. Mencari tantangan bersama, melatih diri bersama. Kenangan akan Abimanyu sempat menguak juga luka lama Gatotkaca. Kenangan kelam akan tewasnya Kalabendo. Kenangan akan kecerobohan yang mengakibatkan kematian paman dan pengasuh yang sangat disayanginya itu.



Dalam emosi yang terguncang, dan provokasi Kresna, melesatlah Gatotkaca menuju medan perang. Gatotkaca mengamuk luar biasa. Korban berjatuhan. Berpuluh pasukan menghadang, berpuluh pula terlentang. Beratus pasukan menangkal, beratus pula terjungkal. Dicarinya Karna yang telah membuka jalan kematian Abimanyu.



Di lain pihak, Adipati Karna terus merangsek mencari Arjuna. Kehabatan memanahnya luar biasa. Banyak korban tumbang hanya dalam sekali tarikan busur. Dari kejauhan Gatotkaca melihat sepak terjang Karna. Melesatlah dia kesana! Menerjang secepat kilat. Dari sudut mata, Karna melihat datangnya bahaya. Segera dia mengarahkan busur dan melontarkan panah-panahnya.

”Dhuuarrr…!!!”

Ledakan dahsyat terjadi ketika panah panah sakti Karna dihantam dengan pukulan Gatotkaca. Sejenak serangan Gatotkaca berhenti. Namun kemudian dia menyerang lagi. Di balas dengan panah lagi oleh Karna. Gatotkaca menghindar dan menyerang dari segala penjuru. Demikian juga Karna, menahan gempuran Gatotkaca dengan panah-panahnya.

Pertempuran berlangsung sengit. Debu beterbangan dihempas angin yang tercipta oleh lesatan Gatotkaca maupun desingan panah Karna. Sama-sama tangguh. Para prajurit sejenak menghentikan pertempuran mereka, menyempatkan diri untuk menyaksikan pertarungan seru ini.

Gatotkaca dan Karna saling serang dan saling ejek untuk memancing emosi lawannya.

”Ayo raksasa kunthing tunjukkan pukulan saktimu!!” teriak Karna

”Buktikan kamu pantas bertarung di Bharatayuda!! Anak kusir tak pantas melawan Pandawa, cukup aku lawanmu!!” balas Gatotkaca.



Pecahnya konsentrasi Karna sebagai panglima membuat gerak pasukan Kurawa tidak terarah. Tanpa komado yang jelas mereka dilibas oleh pasukan Pandawa dibawah komando Arjuna. Hal ini menyebabkan Duryudana resah, dan mendesak Karna utuk segera mengakhiri pertarungannya.

”Karna, segera habisi Gatotkaca!! Bukan cecunguk itu lawanmu! Arjunalah seharusnya yang kamu hadapi”



Pertarungan telah berlangsung berjam-jam. Karena jumlah anak panah yang semakin menipis dan desakan Duryudana, Karna menggosok-gosokkan tangannya. Dari kedua belah tangannya munculah cahanya menyilaukan. Senjata Konta, senjata para dewa, siap dilepaskan. Gatotkaca terkesima dengan apa yang dihadapinya. Segera dia melesat menjauh. Konta dilepaskan Karna. Meluncur, mendesing, mengejar Gatotkaca.



Gatotkaca terbang setinggi-tingginya, berusaha menghindari Konta. Sementara itu angin berhembus kencang melawan arah Konta. Bhatara Bayu berusaha menahan senjata itu. Dia tahu, senjata itulah jalan kematian bagi cucunya. Namun tetap saja angin tidak mampu menahan laju senjata Konta.

Kerinduan senjata Konta untuk kembali bersatu sarungnya mampu mengatasi kekhawatiran sang bayu. Kerinduan setelah sekian tahun berpisah. Kerinduan yang membara itulah yang sanggup mendorong senjata Konta untuk melaju, meskipun ketempat yang sangat tinggi, mengejar sarungnya.

Sementara itu lesatan Gatotkaca tiba tiba terhenti. Ada suara-suara yang memanggilnya. Suara yang dia kenal sejak masa kecil. Suara yang telah sekian lama hilang itu muncul lagi.

”Tetuko….Tetuko…. hendak kemana engkau terbang sedemikian cepat! Tunggu pamanmu ini. Tunggu aku Tetuko.”

Gatotkaca terkesima mendengar suara Kalabendo yang memanggil manggil nama kecilnya. Sesaat Gatotkaca termangu, menghentikan terbangnya, dan membalikkan badannya, mencoba menunggu Kalabendo pamannya. Di kejauhan tampak bayangan Kalabendo berlari mendekat. Rambut gimbalnya melambai lambai tertiup angin. Gatotkaca tertegun. Direntangkannya kedua tangannya, ingin menyambut Kalabendo sang paman. Seperti anak kecil dia bergerak maju ingin memeluk pamannya. Paman yang sangat dikasihinya. Paman yang telah dia tampar tingga tewas.

Bayangan Kalabendo semakin mendekat, berusaha memeluk Gatotkaca. Sementara itu angin semakin keras bertiup seakan hendak mengingatkan Gatotkaca akan bahaya yang mengancam! Gatotkaca maju menyambut pelukan sang paman. Kalabendo pun memeluk erat Gatotkaca bersamaan dengan bersatunya senjata Konta dengan sarungnya. Pelukan kematian.

Senjata Konta bersatu dengan sarungnya. Gatotkaca diantar Kalabendo ke kematiannya. Pemenuhan kerinduan yang memakan korban.

Senjata Konta telah utuh sempurna. Senjata dan sarung kembali bersatu, lalu kembali ke kayangan, ke tanah para dewa.

Kalabendo dan Gatotkaca kembali bersatu, berpelukan, bermain dan bercanda, seperti dulu.



Gatotkaca gugur!!!



Gegap gempita pasukan Kurawa membahana di Kurusetra menyambut kemengan Karna.

Di langit badai mengamuk, mengabarkan kedukaan Bathara Bayu yang kembali kehilangan cucunya.

Adipati Karna tersenyum kecut. Bayangan kematian datang menghampirinya setelah kehilangan senjata andalannya.

Kresna tersenyum puas, taktiknya berhasil, dan Bharatayudha berjalan sesuai dengan rancangan para dewa.




Hatiku selembar daun...