Showing posts with label Penelitian. Show all posts
Showing posts with label Penelitian. Show all posts

Thursday 4 November 2010

JURNAL MASYARAKAT INDONESIA DAN PERKEMBANGAN ILMU-ILMU SOSIAL

JURNAL MASYARAKAT INDONESIA DAN PERKEMBANGAN ILMU-ILMU SOSIAL

Ignas Kleden



I. ENAM ISU YANG AKAN DIBAHAS

1. Masyarakat Indonesia adalah sebuah Jurnal Penelitian sosial (termasuk ekonomi, politik dan budaya).
2. Hubungan Jurnal dengan penelitian sosial
3. Hubungan Penelitian dengan Perkembangan Ilmu-Ilmu sosial
4. Penelitian, kebijakan dan advokasi
5. Produksi Pengetahuan dan Produksi Kekuasaan
6. Context of discovery dan context of justification

II. URAIAN

1. Masyarakat Indonesia adalah sebuah jurnal penelitian sosial.

Sifat ini sudah memberi tiga batasan untuk pemilihan dan penerimaan tulisan yaitu
a) Tulisan haruslah bersifat research paper dan bukan policy paper atau esai bebas.
b) Tulisan haruslah membahas masalah-masalah masyarakat Indonesia dan bukan masalah di negeri lain.
c) Tulisan haruslah mencerminkan penerapan atau pengujian terhadap sebuah teori atau sebuah metode ilmu sosial

Sebagai jurnal penelitian sosial maka tema-tema tulisan mencakup bidang yang luas mencakup bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya. Dilihat dengan cara itu maka jurnal ini dapat mengatur nomor-nomor penerbitan
• Berdasarkan disiplin ilmu-ilmu sosial (nomor ekonomi, sosial, politik, budaya), seperti

a) hubungan antara pertumbuhan ekonomi, pengembangan sektor riil dan penyerapan tenaga kerja dalam ekonomi,
b) atau hubungan antara pimpinan politik, lembaga politik, dan sistem politik dalam politik,
c) atau pembagian kerja seksual, patriarki dan partisipasi perempuan dalam kesempatan kerja untuk bidang sosial,
d) dan ada tidaknya pengaruh gaya hidup perkotaan terhadap persepsi anak-anak SD tentang nilai moral atau nilai estetik untuk bidang budaya.

• Berdasarkan sebuah isu yang dibahas seperti migrasi, kependudukan, korupsi, atau bencana alam, yang dapat dilihat dari berbagai disiplin ilmu sosial. Dengan demikian ada studi ekonomi tentang migrasi, studi sosiologi tentang migrasi, studi politik tentang migrasi dan studi budaya tentang migrasi. Hal yang sama dapat dilakukan terhadap isu-isu lain yang dipilih.

• Pada tingkat yang lebih tinggi dapat diterbitkan nomor yang berisikan peninjauan kembali terhadap metode dan teori-teori ilmu sosial yang banyak digunakan dalam penelitian.

a) Dalam setiap pemilihan umum lembaga-lembaga penelitian dan konsultasi politik melakukan berbagai survei. Pada titik ini dapat diterbitkan sebuah nomor jurnal untuk mereview praktek survei yang dijalankan dalam berbagai penelitian tersebut.


b) Atau koalisi menjadi isu yang hangat saat ini. Maka jurnal dapat terbit dengan suatu rangkaian karangan tentang teori ilmu politik mengenai koalisi dan praktek koalisi dalam politik Indonesia.
c) Karena isu etnisitas merupakan isu yang aktual karena adanya konflik antar-etnik, sebuah nomor dapat diterbitkan khusus tentang etnisitas baik berupa uraian yang berisi pandangan antropologi tentang teori etnisitas maupun uraian ilmu politik tentang bagaimana etnisitas dijadikan alat untuk perjuangan atau dominasi politik, dan uraian sosiologi tentang pembagian kerja dan pembagian sumber daya ekonomi berdasarkan etnisitas.

2. Hubungan jurnal dengan penelitian sosial

Sebuah jurnal dapat memainkan tiga fungsi dalam hubungan dengan penelitian sosial.
a) Dia dapat menjadi tempat penampungan hasil-hasil penelitian yang kemudian diumumkan ke publik
b) Dia dapat menjadi rujukan untuk penelitian lain
c) Dia dapat dan menjadi tempat pengembangan wacana dan diskusi tentang praktek penelitian.

Menurut pengamatan saya, jurnal Masyarakat Indonesia hingga saat ini berperanan baik dalam fungsi pertama, belum dapat dibuktikan perannya dalam fungsi kedua, tetapi belum dan sama sekali belum memainkan peranan dalam fungsi ketiga.
Ini artinya Masyarakat Indonesia berperan dengan baik mengumumkan hasil-hasil penelitian yang memenuhi kriteria penerbitan, mungkin di sana-sini dijadikannya rujukan dalam melakukan penelitian, tetapi belum mengembangkan dirinya menjadi tempat di mana suatu hasil penelitian didiskusikan, diperdebatkan atau difalsifikasi oleh data dan argumen peneliti lain.
Ini merupakan satu kekurangan yang sampai saat ini menyebabkan kurangnya daya tarik jurnal ini, karena hasil-hasil penelitian yang diterbitkan tidak diangkat menjadi bagian dari wacana dan diskusi akademis di antara sesama peneliti. Dengan adanya pengembangan wacana dalam jurnal, para pembaca yang bukan peneliti dapat dibantu untuk mengapresiasi hasil penelitian yang baik, yang kurang baik, dan yang gagal tetapi kebetulan terbit.
Dari pihak lain mutu sebuah jurnal penelitian sangat tergantung dari mutu penelitian sosial yang dijalankan. Karena itu sebuah jurnal yang berhasil dapat diperlakukan sebagai sebuah cermin bagi taraf peneltian yang dicapai dalam suatu komunitas penelitian. Sebuah jurnal penelitian yang bagus hanya mungkin didukung oleh praktek penelitian yang baik dan sebaliknya.
3. Hubungan penelitian sosial dan perkembangan ilmu-ilmu sosial

Hubungan di antara penelitian sosial dan perkembangan ilmu-ilmu sosial bersifat hubungan yang memutar dalam suatu lingkaran hermeneutik (hermeneutical circle).
a) Dari satu sisi keberhasilan suatu penelitian tergantung dari tingkat kecanggilan peralatan ilmu-ilmu sosial yang digunakan, baik peralatan teoretis maupun peralatan metodologis. Dengan lain perkataan penelitian adalah output dari ilmu-ilmu sosial pada tingkat perkembangan tertentu.

b) Dari sisi lainnya pengembangan teori dan metode ilmu-ilmu sosial hanya mungkin dilakukan dalam penelitian dan melalui penelitian. Karena itu penelitian adalah input terpenting untuk perkembangan ilmu-ilmu sosial. Tingkat kecanggihan dalam teori dan metode ilmu sosial tergantung secara harafiah dari tingkat kecanggihan suatu penelitian.


c) Perlu diberi catatan bahwa hubungan antara teori dan metode ilmu-ilmu sosial dengan penelitian sosial masih turut ditentukan oleh tingkat kecanggihan peneliti sendiri. Data penelitian adalah data yang bisu, yang hanya bisa berbicara kalau diajak bicara oleh seorang peneliti dalam suatu tanya jawab. Data itu akan memberi jawaban pintar kepada pertanyaan yang pintar, dan data yang sama akan memberi jawaban yang dungu kepada pertanyaan yang bodoh.

Selanjutnya hubungan ilmu-ilmu sosial dengan masyarakat Indonesia dapat dilihat dengan dua cara.
a) Hubungan antara sebuah teori ilmu sosial dengan perkembangan dan perubahan masyarakat
b) Hubungan antara sebuah teori ilmu sosial dengan kekuasaan yang mengatur masyarakat itu.

Dalam hubungan dengan relasi teori dengan perkembangan masyarakat, maka teori ilmu-ilmu sosial berfungsi
• menjelaskan dan memahami perkembangan dan perubahan sosial yang sedang terjadi (fungsi eksplanatoris dan fungsi hermeneutis teori)
• merencanakan suatu perubahan sosial dan menggerakkan masyarakat kearah perubahan yang diinginkan (fungsi engineering teori)
• Mengawasi dan mencegah perubahan sosial yang tak direncanakan atau tak diinginkan (fungsi kontrol teori)

Dalam kaitan antara teori dan kekuasaan maka suatu teori dapat berfungsi
• Membenarkan kekuasaan yang ada (teori sebagai legitimasi)
• Mempertanyakan kekuasaan yang ada (teori sebagai kritik)
• Memperbaiki praktek kekuasaan (teori sebagai koreksi)

Dalam hubungan dengan kedua proposisi di atas maka menurut pengamatan saya jurnal Masyarakat Indonesia baru sampai pada taraf menjelaskan dan memahami perkembangan dan perubahan sosial yang sedang berlangsung dan belum banyak menyumbang kepada perencanaan perubahan sosial yang diinginkan atau kepada pengawasan dan pencegahan perubahan-perubahan sosial yang tak dikehendaki.
Demikian pun terhadap kekuasaan jurnal ini berusaha untuk tidak sekedar membenarkan kekuasaan, berusaha melakukan koreksi terhadap praktek kekuasaan, tetapi belum memberi cukup perhatian kepada kritik terhadap kekuasaan.
4. Penelitian, Kebijakan dan Advokasi

Selalu ada hubungan di antara penelitian, kebijakan atau suatu advokasi yang hendak dijalankan. Khususnya di negara-negara yang hendak melaksanakan apa yang dinamakan knowledge-based policy penelitian memainkan peranan yang amat menentukan.
Namun demikian dalam praktek perlu dibedakan dengan jelas tiga jenis pertanyaan yang amat berbeda yaitu
i) Research question
ii) Policy question
iii) Advocacy question

Pertanyaan tentang kebijakan akan menghasilkan usul kebijakan atau policy brief. Pertanyaan tentang advokasi menghasilkan suatu aksi terorganisasi dengan sasaran tertentu. Sedangkan pertanyaan penelitian menghasilkan tambahan pengetahuan tentang suatu keadaan masyarakat.
Hasil sebuah penelitian dapat dijadikan dasar bagi usul kebijakan atau pegangan dalam melakukan advokasi. Akan tetapi penelitian harus dan hanya mungkin dijalankan berdasarkan pertanyaan penelitian.
Perbedaan pokok di antara ketiga pertanyaan tersebut adalah bahwa pertanyaan penelitian bersifat teoretis untuk menjelaskan atau memahami keadaan, sedangkan pertanyaan tentang kebijakan dan advokasi bersifat praktis karena berhubungan dengan keputusan politik yang diambil atau aksi sosial yang dijalankan.
Pertanyaan seperti “bagaimana meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik Indonesia ” adalah pertanyaan mengenai kebijakan atau advokasi yang harus dijalankan, bukan pertanyaan penelitian. Seorang peneliti yang berpengalaman akan mengubah pertanyaan praktis tersebut menjadi pertanyaan teoretis untuk penelitian seperti misalnya “ada-tidaknya hubungan antara tingkat pendidikan laki-laki dan kecenderungan patriarkis mereka”. Pertanyaan praktis ada untuk dijalankan, sedangkan hasil penelitian ada untuk diuji atau divalidasi.
Dalam kaitan dengan jurnal MI saya mengusulkan bahwa sekali pun hubungan di antara penelitian dan kebijakan selalu ada (antara lain karena penelitian disorder oleh mereka yang menentukan kebijakan) akan tetapi harus dibedakan dengan jelas sampai di mana sebuah tulisan masih mengembangkan deskripsi dan analisanya berdasarkan penelitian, dan pada titik mana dia mulai beralih kepada rekomendasi untuk kebijakan.
5. Produksi Pengetahuan dan Produksi Kekuasaan

Sebuah jurnal penelitian seperti Masyarakat Indonesia selalu tergantung kepada praktek penelitian yang dilakukan, sedangkan praktek penelitian akan sangat tergantung pada peneliti menyangkut dua hal yaitu
a) Kemampuannya secara teknis untuk menjalankan suatu penelitian


b) Minat, motivasi, dan preferensi seorang peneliti secara professional.
c) Integritasnya secara moral

Kemampuan teknis seorang peneliti tak perlu banyak diuraikan di sini karena berhubung dengan penguasaan atas teori dan metode yang sudah berulang kali dikemukakan.
Sejauh menyangkut minat, motivasi dan preferensi peneliti ada baiknya di sini diuraikan secara singkat suatu pembagian kerja intelektual.
• Tugas seorang peneliti adalah memproduksi pengetahuan ilmiah
• Tugas seorang ilmuwan adalah menjaga agar pengetahuan yang dihasilkan dalam penelitian dan akan digunakan oleh umum adalah pengetahuan yang valid dan bukan pengetahuan yang keliru atau pengetahuan yang salah karena didistorsikan.
• Tugas seorang teknikus adalah memberi nilai pakai (use value) kepada pengetahuan yang dihasilkan dalam penelitian agar memberi manfaat kepada orang banyak dalam penerapannya.
• Tugas seorang professional adalah memberi nilai tukar (exchange value) dari pengetahuan yang dihasilkan dalam penelitian agar dapat memberi profit dari penerapan pengetahuan yang dihasilkan.
• Tugas seorang intelektual adalah mengubah atau menerjemahkan pengetahuan yang dihasilkan menjadi nilai=nilai moral yang dapat menjadi pegangan umum.

Di pihak lain kita bisa berbicara juga tentang pembagian kerja politis antara tugas politisi dan tugas seorang teknokrat.

• Tugas seorang politikus adalah memproduksi kekuasaan melalui dukungan politik yang dapat dikerahkannya. Legitimasinya ditentukan oleh luasnya konstituensi dia
• Tugas seorang teknokrat adalah memproduksi kekuasaan bukan melalui dukungan politik tetapi dengan menerjemahkan keahlian dan pengetahuannya menjadi kekuasaan. Legitimasinya ditentukan oleh kesesuaian antara tingkat keahlian yang dia miliki dan kepentingan politik yang memerlukan keahlian tersebut.

Dalam soal legitimasi sebaiknya ditekankan di sini bahwa politisi memerlukan legitimacy by the people berupa dukungan orang banyak, sedangkan seorang peneliti dan ilmuwan memiliki legitimacy by peers yaitu pengakuan yang diberikan oleh komunitas peneliti dan komunitas ilmiah.
Dalam praktek ini artinya, popularitas bukanlah bukti keberhasilan seorang peneliti atau seorang ilmuwan karena itu hanya berhubungan dengan recognition by the people, yang bisa amat penting bagi seorang politikus atau seorang artis tetapi tidak ada artinya bagi seorang peneliti atau seorang ilmuwan.
Yang dibutuhkan oleh peneliti dan ilmuwan bukanlah popularitas tetapi reputasi yaitu recognition by peers berupa pengakuan anggota komunitas peneliti dan komunitas ilmiah.
Sebagai formula umum bisa dikatakan bahwa semakin seorang peneliti tergoda oleh popularitas maka semakin dia terjebak ke dalam godaan memproduksi kekuasaan tetapi bukan memproduksi pengetahuan yang menjadi tugasnya.
Kesalah-pahaman umum bahwa kualifikasi seorang peneliti ditentukan oleh tingkat popularitas harus diterobos dengan berani oleh para peneliti sendiri.

6. Context of Discovery & Context of Justification

Ilmu pengetahuan berkembang karena adanya penemuan berupa pengetahuan baru, teori baru dan metode baru. Pada titik itu ilmu berkembang kalau ada imajinasi dan kreativitas para ilmuwan dan para peneliti.
Di lain pihak pengetahuan yang dihasilkan untuk menjadi pengetahuan ilmiah harus divalidasikan, yaitu harus diuji berdasarkan metode pengujian untuk menetapkan apakah pengetahuan tersebut adalah pengetahuan yang valid, yang bisa ditawarkan kepada publik untuk digunakan.
Dalam epistemologi modern kedua segi pengembangan ilmu tersebut dibedakan dalam istilah heuristika sebagai bidang ilmu yang menggarap kreativitas ilmiah, dan metodologi yang menjaga validitas ilmiah.
Dalam hubungan dengan jurnal Masyarakat Indonesia saya ingin menghimbau agar jurnal ini memberi tempat yang seimbang kepada kedua segi pengembangan ilmu tersebut yaitu kreativitas ilmiah dan validitas ilmiah.
Hubungan di antara kedua kepentingan itu seringkali bertolak belakang. Karena heuristika memperlakukan ilmu sebagai suatu seni atau art yang menuntut kebebasan dan keleluasaan sebesar-besarnya untuk seorang ilmuwan atau peneliti.
Sebaliknya dalam metodologi ilmu diperlakukan sebagai sebuah disiplin dengan peraturan-peraturan yang ketat yang harus ditaati oleh setiap peneliti yang bertanggungjawab.
Kedua bidang itu harus didorong secara bersamaan karena penemuan teori dan metode baru dalam ilmu sosial memerlukan kemampuan heuristik yang tinggi, yang pada gilirannya harus diuji kembali validitasnya berdasarkan metode pengujian yang ditetapkan dalam metodologi. (IK)

Saturday 5 July 2008

KEHIDUPAN EKONOMI ORANG GELANDANGAN DI SENEN

KEHIDUPAN EKONOMI ORANG GELANDANGAN DI SENEN


Akses masyarakat terhadap kegiatan perkotaan yang juga dibahas adalah akses terhadap kegiatan ekonomi perkotaan. Secara khusus, Arif Rohman meneliti tetang kehidupan ekonomi orang gelandangan di Senen, yaitu suatu kajian tentang strategi pengorganisasian ekonomi informal gelandangan dalam mempertahankan kelangsungan usahanya. Menurut Arif, gelandangan dapat terus melangsungkan usahanya dalam perdagangan informal karena adanya pengorganisasian dalam perdagangan informal dan kemampuannya dalam menciptakan pola hubungan sosial yang mendukung usaha mereka. Arif juga menemukan jiwa enterpreneur yang digunakan dalam pengorganisasian kegiatan perdagangan mereka, baik itu dari perdagangan barang, penentuan segmen pasar, dan penentuan harga jual dan pendistribusiannya.

Kemampuan menciptakan hubungan sosial baik dengan aparat maupun masyarakat setempat dalam suatu jaringan sosial dimana didalamnya terdapat hubungan patron klien juga merupakan jawaban mengapa kegiatan perdagangan mereka dapat terus lestari. Patron-patron tersebut mempunyai kepentingan, yaitu mendapatkan keuntungan dari praktek perdagangan informal ini. Oleh sebab itu, patron-patron tersebut berupaya menciptakan keteraturan sosial dan justru melindungi kegiatan perdagangan ini.

Selain itu, tingginya minat masyarakat kita terhadap barang-barang yang diperdagangkan mengindikasikan berlakunya hukum dan demanddalam kegiatan perdagangan ini. Secara otomatis, kegiatan ini tidak akan gulung tikar atau tutup selama permintaan atas barang-barang yang diperdagangkan tidak pernah susut.

Oleh karena itu, Arif Rohman menyarankan kepada Pemerintah Kota dan LSM-LSM tidak memberikan stigma negatif pada para pemukim liar yang melakukan praktek perdagangan informal tersebut. Perlu dikembangkan image positif pada keberadaan mereka (community image) dengan memberikan penghargaan-penghargaan pada jerih payah mereka dan seraya tidak mengucilkan mereka.






Cite:
Rohman, Arif. 2004. Kehidupan Ekonomi Orang Gelandangan di Senen (Suatu Kajian Tentang Strategi Pengorganisasian Ekonomi Informal dalam mempertahankan Kelangsungan Usahanya). Tesis tidak diterbitkan. Jakarta: Kajian Pengembangan Perkotaan (KPP), Universitas Indonesia.

Pembimbing:
1. Prof. Parsudi Suparlan, PhD
2. Siti Oemijati Djajanegara, SE, MA, PhD




For Full Text Pdf Program Desaku Menanti Download Here

Monday 30 June 2008

ETIKA DALAM PENELITIAN ANTROPOLOGI DAN SOSIOLOGI

ETIKA DALAM PENELITIAN ANTROPOLOGI DAN SOSIOLOGI*)
PARSUDI SUPARLAN
UNIVERSITAS INDONESIA

Masalah Etika dalam Antropologi dan Sosiologi

Perkembangan antropologi dan sosiologi sebagai ilmu pengetahuan, sebagian tergantung pada data yang diperoleh dari dan mengenai informan atau responden, dan sebagian lainnya dari metode ilmiah dan imajinasi ilmiah yang telah dikembangkannya. Data yang diperoleh digunakan untuk pengembangan teori-teori dan pendekatan-pendekatan serta metodologi; dan juga untuk dapat digunakan untuk kepentingan-kepentingan praktis bagi kebijaksanaan untuk merubah cara-cara hidup tertentu dari para informan atau responden agar sesuai dengan dan mendukung program-program pembangunan yang telah digariskan oleh pemerintah atau untuk kepentingan praktis lainnya yang dikelola oleh badan-badan atau yayasan-yayasan swasta domestik maupun luar negeri.

Berkenaan dengan itu muncul masalah yang khususnya dihadapi oleh para ahli antropologi Amerika, yaitu berkenaan dengan adanya konflik-konflik sebagai hasil kaitan hubungan antara: (1) nilai-nilai kemanusiaan dan pribadi, dengan (2) penelitian dan hasil penelitiannya; dan dengan (3) aplikasi (yang digunakan untuk kepentingan pemerintah sendiri dan pemerintah negara lain, untuk pemerintah jajahan, untuk badan-badan atau yayasan yang menjadi sponsor dan membiayai penelitian tersebut). Munculnya masalah tersebut didasari oleh pertanyaan berkenaan dengan: 'sampai seberapa jauhkan kita sebagai ahli antropologi yang mempunyai pengetahuan mengenai kehidupan para informan itu dapat melakukan intervensi yang merubah (dan merusak) cara-cara hidup yang menjadi tradisi mereka; dan seberapa jauhkan kita dapat mengungkapkan informan dan data yang diperoleh untuk kepentingan- kepentingan praktis?'. Pertanyaan-pertanyaan tersebut mulai gencar pada akhir-akhir tahun enampuluhan, yang antara lain kesadaran tersebut disebabkan oleh keterlibatan sejumlah ahli antropologi dalam perang di Vietnam pada waktu itu. Padahal pada waktu berlangsungnya Perang Dunia II dan sebelumnya (di wilayah-wilayah jajahan dan protektorat Amerika) banyak ahli antropologi yang menggunakan pengetahuan antropologi mereka untuk kepentingan-kepentingan praktis bagi menunjang kebijaksanaan pemerintah Amerika, tetapi masalah etika tidak menjadi masalah.

Masalah etika yang dihadapi oleh para ahli antropologi Amerika, seperti tersebut diatas, nampaknya tidak menjadi masalah bagi para ahli sosiologi Amerika. Hal ini mungkin disebabkan oleh dua hal, yaitu: (1) sasaran kegiatan sosio- logi di Amerika adalah masyarakat Amerika itu sendiri, sehingga berbagai kode etik yang telah dikembangkan dan berlaku secara baku berkenaan dengan masalah hak azasi dan hakekat kemanusiaan secara sadar ataupun tidak sadar telah diadopsi sebagai kode etik dalam sosiologi di Amerika; dan (2) masalah etik ini telah dipecahkan seja awal oleh para tokoh pelopor sosiologi dan filsafat, sehingga masalah etika dalam aplikasi sosiologi tidak lagi menjadi masalah; John Dewey, misalnya mengatakan bahwa 'tujuan semua pengetahuan adalah untuk membantu memperbaiki dan meningkatkan taraf kehidupan dalam masyarakat bagi peningkatan harkat kemanusiaan. ... dan karena itu ... sosiologi ... harus mengabdikan dirinya pada usaha social engineering (dikutip dari tulisan Scott dan Shore, 1979:90). Sedangkan masalah etika yang dihadapi oleh para ahli sosiologi adalah berkenaan dengan obyektivitas dari hasil-hasil penemuannya.

Etika dan Penelitian: Antropologi Amerika

Dalam kongresnya pada tahun 1967 American Anthropologist Association (AAA) menerima usulan mengenai masalah-masalah penelitian antropologi dan etika, untuk dikembangkan dan diformulasikan sebagai pedoman etika bagi para ahli antropologi. Sebuah panitia yang ditunjuk pada tahun 1968, menyusun sebuah draft mengenai Kode Etika yang diterbitkan di Anthropology Newsletter, April 1969. Sebuah draft yang disusun pada tahun 1970 oleh sebuah panitia khusus yang dipilih diantara para ahli antropologi, menjadi pusat perdebatan diantara para hali antropologi dalam kongresnya pada tahun 1970, telah diterima oleh kongres dan dengan demikian menjadi pedoman kegiatan-kegiatan penelitian dan profesi para ahli antropologi.

Kata pembukaan dari Kode Etika tersebut berbunyi: 'para ahli antropologi harus menghindarkan diri dari kegiatan-kegiatan penelitian yang secara potensial dapat merusak atau menghancurkan warga masyarakat yang ditelitinya atau merusak dan menghancurkan komuniti ilmiah'. Kode Etika tersebut mencakup enam bidang tanggung jawab profesional ahli antropologi; yaitu: (1) terhadap mereka yang diteliti atau dikaji; (2) terhadap umum; (3) terhadap disiplin antropologi; (4) terhadap mahasiswanya; (5) terhadap sponsor yang memberikan dana penelitian; (6) terhadap pemerintahnya sendiri dan terhadap pemerintah dimana penelitian dilakukan.

Secara terperinci enam bidang profesional yang diatur oleh Kode Etika tersebut adalah sebagai berikut:
1. Tanggung Jawab Terhadap Mereka Yang Diteliti atau Dikaji; adalah merupakan tanggung jawab yang paling besar dalam kegiatan penelitian antropologi. Dalam hal ini ahli antropologi harus berbuat apapun yang dapat dilakukan untuk melindungi keselamatan dan kesejahteraan fisik, sosial dan kejiwaan dari informan serta menghormati harga diri dan 'privasi'nya. Hak-hak, kepentingan-kepentingan sensitivitas dari mereka mereka itu harus dijunjung tinggi oleh para ahli antropologi. Secara lebih khusus juga dinyatakan dalam Kode Etika tersebut bahwa para ahli antropologi harus menjelaskan tujuan penelitiannya, dan kalau untuk kepentingan aplikasi harus juga dijelaskan implikasi dari penelitian yang dilakukan tersebut terhadap kehidupan mereka; dan para ahli antropologi juga harus menjelaskan kepada mereka bahwa informan akan anonim dalam laporan data. Begitu juga, secara individual informan tidak boleh dieksploitasi untuk kepentingan pribadi si ahli antropologi. Ahli antropologi harus memperhitungkan akibat-akibat yang dapat merugikan mereka yang diteliti pada waktu mereka mempublikasikan hasil peneltiannya, dan berusaha untuk menghindarkan akibat-akibat yang merugikan tersebut. Bila penelitian yang dilakukan itu adalah penelitian rahasia, maka ahli antropologi tidak seharusnya membuat hasil penelitiannya yang disampaikan kepada sponsor bila hasil penelitian tersebut tidak dapat dipublikasi untuk umum.
2. Tanggung Jawab Terhadap Umum; mencakup pernyataan mengenai kejujuran cara memperoleh data dan kebenaran atau obyektivitas data yang dilaporkan. Secara jujur ahli antropologi harus mengemukakan kepada umum mengenai hasil-hasil kajiannya, karena mereka mempunyai tanggung jawab profesional untuk menyumbangkan pikiran-pikirannya yang dapat menjadi landasan bagi pendapat umum dari keterbatasan-keterbatasan pengetahuan mereka mengenai keanekaragaman manusia dan kebudayaannya.
3. Tanggung Jawab Terhadap Disiplin Antropologi; mencakup pengertian tanggung jawab untuk menjaga reputasi mutu antropologi dan para ahli antropologi. Mereka juga harus menjaga hubungan baik dan menjaga reputasinya selama melakukan penelitian di lapangan, sehingga tidak menyulitkan para peneliti yang datang kemudian di tempat tersebut. Sebaiknya mereka itu tidak melakukan kegiatan- kegiatan penelitian rahasia, yang laporannya tidak dapat dipublikasikan.
4. Tanggung Jawab Terhadap Mahasiswa; mencakup pengertian bahwa para ahli antropologi sebagai pengajar harus jujur dan adil terhadap para mahasiswanya dalam memberikan nilai; dan karena itu nilai yang diberikan harus terbuka dan dapat dipertanggung jawabkan. Mereka juga dibebani tanggung jawab untuk memajukan kemajuan akademik dan menyadarkan adanya etika dalam penelitian serta meningkatkan kesejahteraan hidup para mahasiswanya.
5. Tanggung Jawab Terhadap Sponsor; mencakup pengertian bahwa para ahli antropologi harus jujur terhadap kwalifikasi kesanggupan akademiknya, kesanggupan mengerjakan proyek yang diterimanya, dan tujuan-tujuan yang ingin dicapainya dalam kegiatan penelitian yang diterimanya. Mereka harus mengetahui secara jelas darimana sumber dana bagi proyek penelitian yang diterimanya; dan sebaiknya tidak mengikat diri dengan kegiatan-kegiatan penelitian yang bersifat rahasia. Dan karena itu juga mereka harus mempunyai hak untuk menentukan keputusan-keputusan yang menyangkut masalah etika sebagai hasil dari penemuan-penemuan penelitiannya dalam pengambilan keputusan untuk kebijaksanaan dari sponsor yang menyangkut kepentingan warga masyarakat yang diteliti.
6. Tanggung Jawab Terhadap Pemerintahnya Sendiri dan Terhadap Pemerintah Dimana Dia Melakukan Penelitian; mencakup pengertian bahwa dalam kegiatan-kegiatan penelitiannya ahli antropologi harus jujur dan terbuka mengenai penelitian apa yang sedang dilakukannya dan bagaimana melakukan pengumpulan datanya. Tidak seharusnya dia terlibat dalam kegiatan penelitian yang bersifat rahasia untuk kepentingan pemerintah negaranya sehingga merugikan pemerintah dimana dia melakukan penelitian, atau sebaliknya.
Kode Etika yang dibuat tersebut dimaksudkan sebagai pedoman bertindak secara profesional bagi para ahli antropologi. Walaupun demikian, Kode Etika tersebut mempunyai sanksi-sanksi, yang dapat dijatuhkan terhadap anggota (AAA) yang melanggarnya oleh (AAA) sebagai perkumpulan profesional dalam batas-batas yang sah menurut hukum yang berlaku.
Masalah Kode Etika dalam sosiologi, seperti yang dihadapi oleh antropologi di Amerika seperti diuraikan diatas, tidak pernah terjadi. Yang menjadi masalah justru adalah berkaitan dengan masalah obyektivitas dan kenetralan etika dalam penelitian. Pedoman untuk etika dalam penelitian adalah metode ilmiah. Metode ilmiah ini mengikuti prinsip- prinsi: (1) Ilmuwan harus mendekati segala sesuatu dengan keraguan yang penuh dan skeptik; dan sikap ini juga berlaku untuk hasil-hasil penemuan penelitian dari yang telah dilakukannya sendiri, yang menjadi sasaran untuk dapat diubah dan untuk analisis lebih lanjut; (2) Obyektivitas, yang dalam hal ini, si ilmuwan harus menghapuskan dari dirinya sikap-sikap pribadinya, keinginan-keinginannya, keyakinan-keyakinannya, dan kecenderungan-kecenderungan untuk menolak atau menyukai data yang diperoleh; dan (3) Kenetralan secara Etika, yaitu si ilmuwan tidak boleh membuat penilaian menurut nilai-nilai budayanya mengenai hasil-hasil penemuannya; dia hanya dapat memberi penilaian mengenai data yang diperolehnya sebagai data yang benar atau data yang palsu; dan begitu juga kesimpulan-kesimpulannya tidak boleh dianggap sebagai kata akhir, mutlak, atau kebenaran universal; karena kesimpulan-kesimpulan hanya relatif untuk waktu dan tempat dimana penelitian dilakukan dan selalu akan berubah.

Etika Penelitian Antropologi dan Sosiologi di Indonesia dan Malaysia

Masalah etika penelitian bagi ilmu-ilmu sosial pada umumnya dan bagi antropologi dan sosiologi khususnya, belum pernah secara tertulis dinyatakan kehadirannya dalam dunia ilmu-ilmu sosial khususnya di Indonesia. Walaupun demikian, secara individual para ahli ilmu-ilmu sosial masing-masing telah menjalankan etika tersebut dengan bidang profesi mereka masing-masing. Mungkin sudah waktunya kalau para ahli antropologi dan sosiologi di Indonesia dan Malaysia mulai memikirkan Kode Etika yang macam mana yang sebaiknya mereka formulasikan untuk dapat dijadikan sebagai pedoman kegiatan- kegiatan profesional mereka masing-masing.

Asosiasi Ahli Antropologi Indonesia (AAAI) telah membuat draft Kode Etika untuk para anggotanya (yang dibuat oleh Dr. E.K.M. Masinambouw). Ada baiknya juga kalau para ahli antropologi dan ahli sosiologi di Indonesia dan Malaysia turut membahas draft Kode Etika tersebut, sehingga bukan hanya berlaku sebagai pedoman kegiatan profesional para ahli antropologi Indonesia saja. Uraian panjang lebar mengenai Kode Etika dari American Anthropologist Association sebenarnya dimaksudkan untuk kita dapat melihat bahwa Kode Etika itu perlu untuk digunakan bagi peningkatan kegiatan profesional kita dalam turut membantu meningkatkan harkat kemanusiaan dan pembangunan negara dan bangsa, dan dalam meningkatkan mutu keilmuwan disiplin kita masing-masing. Peningkatan mutu keilmuwan disiplin ilmu kita masing-masing, berarti juga meningkatkan mutu ilmu-ilmu sosial pada umumnya di negara kita masing- masing, berarti juga meningkatkan kepercayaan umum dan pemerintah terhadap kesanggupan profesional kita untuk turut membantu memecahkan berbagai masalah sosial yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari baik dalam skala lokal, nasional, maupun regional antar bangsa.

Dengan demikian, perlunya Kode Etika bagi profesi kita masing-masing maupun secara bersama-sama itu tidak dapat ditawar lagi. Tanpa adanya Kode Etika, khususnya bagi penelitian, maka mutu keilmiahan dari data yang dikumpulkan dan dianalisis bisa menyimpang daripada yang diharapkan dari suatu penelitian ilmiah.

Kepustakaan

American Anthropologist Association
1970 AAA: Principles of Professional Responsibility.

Scott, Robert A. dan Arnold R. Shore
1979 Why Sociology Does Not Apply: A Study of Sociology in Public Policy, New York: Elsevier.

*) Malaysia, 9-11 Desember 1985

PENGANTAR METODE PENELITIAN

Pendekatan Kwalitatif *)


PARSUDI SUPARLAN


UNIVERSITAS INDONESIA




1. Penelitian dan Metode Ilmiah


Penelitian dapat digolongkan dalam dua, sesuai dengan ukuran kwalitasnya yaitu penelitian ilmiah dan penelitian tidak ilmiah atau yang dilakukan oleh orang awam. Penelitian tidak ilmiah mempunyai ciri-ciri dilakukan tidak sistematik, data yang dikumpulkan dan cara-cara pengumpulan data bersifat subyektif yang sarat dengan muatan-muatan emosi dan perasaan dari si peneliti. Karena itu penelitian tidak ilmiah adalah penelitian yang coraknya subyektif. Sedangkan penelitian ilmiah adalah suatu kegiatan yang sistematik dan obyektif untuk mengkaji suatu masalah dalam usaha untuk mencapai suatu pengertian mengenai prinsip-prinsipnya yang mendasar dan berlaku umum (teori) mengenai masalah tersebut. Penelitian yang dilakukan, berpedoman pada berbagai informasi (yang terwujud sebagai teori-teori) yang telah dihasilkan dalam penelitian-penelitian terdahulu, dan tujuannya adalah untuk menambah atau menyempurnakan teori yang telah ada mengenai masalah yang menjadi sasaran kajian.


Berbeda dengan penelitian tidak ilmiah, penelitian ilmiah dilakukan dengan berlandaskan pada metode ilmiah. Metode ilmiah adalah suatu kerangka landasan bagi terciptanya pengetahuan ilmiah. Dalam sains dilakukan dengan menggunakan metode pengamatan, eksperimen, generalisasi, dan verifikasi. Sedangkan dalam ilmu-ilmu sosial dan budaya, yang terbanyak dilakukan dengan menggunakan metode wawancara dan pengamatan; eksperimen, generalisasi, dan verifikasi juga dilakukan dalam kegiatan-kegiatan penelitian oleh para ahli dalam bidang-bidang ilmu-ilmu sosial dan pengetahuan budaya untuk memperoleh hasil-hasil penelitian tertentu sesuai dengan tujuan penelitiannya. Metode ilmiah berlandaskan pada pemikiran bahwa pengetahuan itu terwujud melalui apa yang dialami oleh pancaindera, khususnya melalui pengamatan dan pendengaran. Sehingga jika suatu pernyataan mengenai gejala-gejala itu harus diterima sebagai kebenaran, maka gejala-gejala itu harus dapat di verifikasi secara empirik. Jadi, setiap hukum atau rumus atau teori ilmiah haruslah dibuat berdasarkan atas adanya bukti-bukti empirik.


Sebuah teori, sebenarnya adalah bagian yang utama dari metode ilmiah. Sebuah kerangka teori menyajikan cara-cara untuk bagaimana mengorganisasi dan menginterpretasi hasil-hasil penelitian, dan menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian yang dibuat sebelumnya. Dalam hal ini peranan dari metode ilmiah adalah untuk menghubungkan penemuan-penemuan ilmiah dari waktu dan tempat yang berbeda. Peranan ini melandasi corak pengetahuan ilmiah yang sifatnya kumulatif.


Dalam ilmu-ilmu sosial, masalah obyektivitas dari data yang dikumpulkan dalam penelitian merupakan suatu isyu yang utama dalam metode ilmiahnya. Sebab, berbeda dengan sains, data yang dikumpulkan itu berasal dari dan mengenai kegiatan-kegiatan manusia sebagai mahluk sosial dan budaya, sehingga dapat melibatkan hubungan perasaan dan emosional antara peneliti dengan yang diteliti. Untuk menjaga obyektivitas tersebut, dalam ilmu-ilmu sosial berlaku prinsip-prinsip sebagai berikut:


1. Ilmuwan harus mendekati segala sesuatu yang menjadi sasaran kajiannya dengan penuh keraguan dan skeptik;


2. Ilmuwan harus obyektif dalam menilai segala sesuatu, yaitu harus membebaskan dirinya dari sikap-sikap pribadinya, keinginan-keinginannya, dan kecenderungan-kecenderungannya untuk menolak atau menyukai data yang telah dikumpulkannya;


3. Ilmuwan harus secara etika bersikap netral atau terbebas dari membuat penilaian-penilaian menurut nilai-nilai budayanya mengenai hasil-hasil penemuannya, atau dengan kata lain, menghindarkan diri dari kecenderungan untuk menghakimi secara moral para informannya berdasarkan hasil-hasil penemuannya. Dalam hal ini dia hanya dapat memberikan penilaian mengenai data yang diperolehnya mengenai palsu atau tidaknya data yang diperolehnya itu. Begitu juga dalam kesimpulan-kesimpulannya si peneliti tidak boleh menganggap bahwa datanya tersebut adalah data akhir, mutlak, merupakan kebenaran universal. Karena kesimpulan-kesimpulan yang dibuatnya hanya berlaku secara relatif sesuai dengan waktu dan tempat dimana penelitian itu dilakukan, dan sesuai dengan masalah yang diteliti dan dengan kerangka teori yang menjadi landasan penelitian itu.


Untuk menjaga obyektivitas dari data yang dikumpulkan, setiap kegiatan penelitian biasanya dilakukan dengan berpedoman pada metode ilmiah yang ketentuan-ketentuannya mencakup hal-hal sebagai berikut:


1. Prosedur penelitian harus terbuka untuk diperiksa oleh peneliti lainnya; karena itu dalam setiap laporan hasil penelitian selalu disebutkan metode apa yang digunakan dan bagaimana menggunakan metode tersebut.


2. Definisi-definisi yang dibuat adalah benar dan berdasarkan atas konsep-konsep dan teori-teori yang sudah ada/baku; karena itu dalam setiap laporan hasil penelitian selalu dinyatakan/didefinisikan konsep-konsep dan teori-teori yang digunakan dan referensi atau kerangka acuannya.


3. Pengumpulan data digunakan secara obyektif, yaitu dengan menggunakan metode atau metode-metode penelitian ilmiah yang baku.


4. Hasil-hasil penemuannya akan ditemukan ulang oleh peneliti lainnya, bila sasaran atau masalah penelitiannya sama dan pendekatan serta prosedur penelitiannya juga sama. Contohnya adalah hasil penemuan penelitian saya mengenai pola hubungan patron-klien pada komuniti gelandangan yang saya teliti di Jl. Tanah Abang pada tahun 1961, yang juga ditemukan ulang oleh Drs. Haswinar Arifin dalam penelitiannya mengenai komuniti gelandangan di Bendungan Hilir pada tahun 1984 (Skripsi Sarjana Antropologi UI).


5. Tujuan dari kegiatan penelitian adalah untuk pembuatan teori, interpretasi atas teori atau teori-teori yang sudah ada dan untuk membuat prediksi-prediksi berdasarkan atas gejala-gejala yang diteliti. Jadi bukan hanya untuk mengumpulkan data saja.




2. Pendekatan Kwalitatif


Secara garis besarnya ada dua golongan pendekatan yang berlaku dalam ilmu-ilmu sosial, yaitu: (1) pendekatan kwalitatif, dan (2) pendekatan kwalitatif. Pendekatan kwantitatif memusatkan perhatiannya pada gejala-gejala yang mempunyai karakteristik tertentu dalam kehidupan manusia, yang dinamakan variabel. Pendekatan kwalitatif memusatkan perhatiannya pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia, atau pola-pola. Dalam pendekatan kwantitatif hakekat hubungan diantara variabel-variabel dianalisis dengan menggunakan teori yang obyektif. Sedangkan dalam pendekatan kwalitatif yang dianalisis gejala-gejala sosial dan budaya dengan menggunakan kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai pola-pola yang berlaku, dan pola-pola yang ditemukan tadi dianalisis lagi dengan menggunakan teori yang obyektif.


Karena sasaran kajian dari pendekatan kwantitatif adalah pada gejala-gejala, sedangkan gejala-gejala yang ada dalam kehidupan manusia itu tidak terbatas banyaknya dan tidak terbatas pula kemungkinan-kemungkinan variasi dan hierarkinya, maka juga diperlukan pengetahuan statistik. Statistik yang kwantitatif berguna untuk menggolong-golongkan dan menyederhanakan variasi dan hierarki yang ada dengan ketepatan yang dapat diukur, termasuk juga penyimpangan-penyimpangannya; begitu juga dalam penganalisisan dari data yang telah dikumpulkan. Sedangkan dengan pendekatan kwalitatif sasaran kajiannya adalah pola-pola yang berlaku dan merupakan prinsip-prinsip yang secara umum dan mendasar berlaku dan menyolok berdasarkan atas perwujudan dari gejala-gejala yang ada dalam kehidupan manusia, maka juga analisis terhadap gejala-gejala tersebut tidak dapat tidak harus menggunakan kebudayaan yang bersangkutan sebagai kerangka acuannya. Karena kalau menggunakan kebudayaan lain atau kerangka acuan lainnya maka maknanya adalah menurut kebudayaan lain; tidak obyektif. Sehingga pendekatan kwantitatif menjadi tidak relevan.


Untuk dapat memperoleh data mengenai pola-pola yang ada, sesuai dengan sasaran atau masalah penelitian, diperlukan informasi yang selengkap dan sedalam mungkin mengenai gejala-gejala yang ada dalam kehidupan masyarakat yang diteliti. Gejala-gejala tersebut dilihat sebagai satuan-satuan yang masing-masing berdiri sendiri tetapi yang satu sama lainnya saling berkaitan merupakan suatu kesatuan yang bulat dan menyeluruh. Pendekatan seperti ini dinamakan pendekatan holistik. Dalam pendekatan tersebut tidak dikenal adanya sampel. Yang dikenal adalah kasus, yang diteliti secara mendalam dan menyeluruh untuk memperoleh gambaran mengenai pola-polanya. Contoh dari penelitian kasus adalah yang dilakukan oleh Dr. Boedhisantoso mengenai keluarga matrifokal di Cibuaya, Kerawang, Jawa Barat (Disertasi Doktor Antropologi UI, 1977).


Seperti yang disajikan oleh Dr. Boedhisantoso dalam disertasinya, yang menggunakan metode studi kasus, dapat disimpulkan bahwa studi kasus: (1) Menyajikan deskripsi yang mendalam dan lengkap, sehingga dalam informasi-informasi yang disampaikannya nampak hidup sebagaimana adanya dan pelaku-pelaku mendapat tempat untuk memainkan peranannya; (2) Bersifat grounded atau berpijak di bumi yaitu betul-betul empirik sesuai dengan konteksnya; (3) Bercorak holistik; (4) Menyajikan informasi yang terfokus dan berisikan pernyataan-pernyataan yang perlu-perlu saja, yaitu mengenai pola-polanya; (5) Mempunyai kemampuan untuk berbicara dengan para pembacanya karena disajikan dengan bahasa biasa dan bukannya dengan bahasa teknis angka-angka.


Studi kasus dapat juga dinamakan sebagai studi etnografi, sebagaimana dikenal dalam Antropologi. Dalam penelitian dengan menggunakan pendekatan kwalitatif dan dengan metode studi kasus atau etnografi syarat utamanya adalah si peneliti itu sendiri harus hidup diantara mereka yang ditelitinya untuk suatu jangka waktu yang relatif cukup untuk si peneliti tersebut dapat hidup terintegrasi dengan masyarakat yang ditelitinya agar dia dapat mengembangkan kepekaannya dalam berpikir, merasakan, dan menginterpretasikan hasil-hasil pengamatannya dengan menggunakan konsep-konsep yang ada dalam pemikiran, perasaan-perasaan, dan nilai-nilai dari yang ditelitinya. Bersamaan dengan itu juga dia harus menginterpretasikan hasil interpretasinya tersebut berdasarkan pengetahuan teorinya. Dalam pendekatan kwalitatif ini peneliti adalah 'instrumen penelitian'. Keunggulan hasil penelitian, karena itu banyak sedikitnya ditentukan oleh kwalitas dari si peneliti sebagai 'instrumen penelitian'.


Dalam penelitian kwalitatif metode-metode penelitian yang umum digunakan adalah:
1. Metode pengamatan; yang digunakan untuk mengamati gejala-gejala yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari dari masyarakat yang diteliti. Dengan menggunakan metode pengamatan, seorang peneliti dapat dengan lengkap memperoleh gambaran mengenai gejala-gejala (tindakan, benda, peristiwa, dsb) dan kaitan hubungan antara satu gejala dengan gejala atau gejala-gejala lainnya yang bermakna bagi kehidupan masyarakat yang diteliti.


2. Metode pengamatan terlibat; sebuah tehnik pengumpulan data yang mengharuskan si peneliti melibatkan diri dalam kehidupan dari masyarakat yang diteliti untuk dapat melihat dan memahami gejala-gejala yang ada, sesuai maknanya dengan yang diberikan atau dipahami oleh para warga masyarakat yang ditelitinya. Termasuk dalam pengertian metode pengamatan terlibat adalah wawancara dan mendengarkan serta memahami apa yang didengarnya.


3. Wawancara dengan pedoman; adalah tehnik untuk mengumpulkan informasi dari para anggota masyarakat yang diteliti mengenai suatu masalah khusus dengan tehnik bertanya yang bebas tetapi berdasarkan atas suatu pedoman yang tujuannya adalah untuk memperoleh informasi khusus dan bukannya untuk memperoleh respon atau pendapat mengenai sesuatu masalah. Contoh dari penggunaan metode wawancara dengan pedoman adalah mengumpulkan data mengenai sistem kekerabatan yang didalamnya tercangkup informasi mengenai aturan-aturan berkenaan dengan struktur kedudukan dan peranan dari mereka yang tergolong sebagai sekerabat. Karena itu pemberi informasi atau keterangan dalam penelitian kwalitatif, dinamakan informan. Ini dibedakan dari penelitian dengan menggunakan kwesioner, yang pada dasarnya adalah mengumpulkan data mengenai respon atau pendapat dari orang yang diwawancarai mengenai sesuatu gejala atau peristiwa dimana si pemberi keterangan atau respon dinamakan responden.


Sahih dan dapat Dipercayanya Data. Sahih dapat didefinisikan sebagai adanya hasil penelitian, data, yang mencerminkan secara jelas sesuatu situasi tertentu. Sedangkan dapat dipercayanya data adalah suatu penilaian mengenai dapat tidaknya data hasil penelitian tersebut dilihat sebagai replika dari kenyataan yang ada. Kesahihan dan dapat dipercayanya data bersifat relatif, tergantung pada tujuan penelitian dan metode serta instrumen penelitian yang digunakan.
Dalam penelitian kwalitatif atau penelitian etnografi, yang tujuannya adalah mengungkapkan pola-pola yang ada dan mema-hami suatu situasi sebagaimana dipahami oleh mereka yang diteliti, masalah kesahihan dan dapat dipercayanya data berbeda dengan yang dihadapi dalam penelitian kwantitatif.


Dan masalah yang terutama dihadapi oleh peneliti adalah masalah kesahihan data. Langkah-langkah yang diambil oleh si peneliti dalam penelitiannya untuk menjamin kesahihan datanya adalah dengan cara mendekripsikan secara tepat pola-pola yang ditemukannya dan menjamin bahwa gambaran dari situasi yang dideskripsikannya itu mencerminkan kenyataan yang sebenarnya yang ada di lapangan. Walaupun langkah ini telah diambilnya, seorang peneliti dengan pendekatan kwalitatif masih juga was-was akan kesahihan datanya. Ini disebabkan oleh kenyataan bahwa terdapat sudut pandang yang berbeda-beda mengenai sesuatu situasi sosial. Ini lebih-lebih lagi ditambah dengan kenyataan mengenai hakekat situasi sosial yang selalu berubah, yaitu bertambah atau berkurang unsur-unsurnya. Sehingga sebuah situasi sosial pada saat tertentu bisa berbeda dengan situasi sosial yang sama pada saat yang lain.


Masalah lain yang menyebabkan pertanyaan mengenai kesahihan data adalah yang berkaitan dengan masalah pendeskripsian laporan yang sifatnya manusiawi. Yang dalam hal ini menggunakan keterangan-keterangan yang diperoleh informan. Sehingga masalahnya terletak pada pemilihan informan yang tepat. Yang terbaik adalah memilih informan yang dalam berhubungan dengan si peneliti tidak merasa tegang, rikuh, atau sungkan, tetapi apa yang bersikap bebas dan leluasa seperti layaknya teman. Yang juga tidak tergesa-gesa atau yang cukup waktunya untuk mendampingi si peneliti. Disamping itu juga, yang sifatnya terbuka dan jujur, yang dapat memberikan keterangan secara pasti dan terperinci, yang tidak mencla-mencle, dan yang bersedia untuk menunjukkan dengan bukti-bukti mengenai apa yang dikatakannya.


*) Program Metode Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Universitas Indonesia 19-24 Januari 1986

PENELITIAN ILMIAH, MASALAH PENELITIAN DAN OBJEKTIFITAS DATA

PENELITIAN ILMIAH, MASALAH PENELITIAN DAN OBJEKTIFITAS DATA*)


PARSUDI SUPARLAN


UNIVERSITAS INDONESIA






Secara sadar ataupun tidak sadar, setiap orang dalam kehidupannya sehari-hari sebenarnya melakukan kegiatan-kegiatan penelitian. Ini dilakukannya dalam usahanya untuk mencapai suatu pengertian mengenai prinsip-prinsip yang men-dasar dan umum berkenaan dengan landasan dari sesuatu gejala atau masalah yang dihadapinya sehingga masalah tersebut da-pat dipahami dan masuk akal baginya, sehingga berguna baginya dalam menyusun strategi untuk menghadapinya atau memanfaatkannya bagi kepentingannya. Penelitian-penelitian yang kita lakukan sebagai orang awam biasanya tidak kita la-kukan secara sistematik; dan informasi-informasi yang kita kumpulkan biasanya bersifat subyektif yang penuh dengan muatan- muatan perasaan dan emosi kita, yang karena itu dapat digolongkan sebagai penelitian yang bersifat stereotipik, etnosentrik, atau cauvinistik. Penelitian secara awam berbeda coraknya dengan penelitian secara ilmiah. Uraian pendek ini dimaksudkan untuk menjelaskan apa yang dinamakan penelitian ilmiah. Uraian mencakup pembahasan mengenai: (1) pengertian penelitian ilmiah; (2) tahapan-tahapannya; (3) masalah penelitian; dan (4) penelitian kwalitatif dan obyektivitas data.



Penelitian Ilmiah dan Metode Ilmiah


Penelitian ilmiah adalah suatu kegiatan yang sistematik dan obyektif untuk mengkaji suatu masalah dalam usaha untuk dapat mencapai suatu pengertian mengenai prinsip-prinsipnya yang mendasar dan umum berkenaan degan landasan atau inti perwujudan masalah tersebut. Penelitian yang dilakukan berpedoman pada berbagai informasi (yang terwujud sebagai teori-teori) yang telah dihasilkan dalam penelitian-penelitian yang terdahulu dan bertujuan untuk menambah atau menyempurnakan teori atau pengetahuan yang telah ada mengenai masalah yang menjadi sasaran kajian.


Landasan dasar dari suatu kegiatan penelitian ilmiah adalah: metode ilmiah. Metode ilmiah adalah suatu kerangka landasan bagi terciptanya pengetahuan ilmiah; dalam sains melalui pengamatan, eksperimen, generalisasi, dan verifikasi; dan dalam ilmu-ilmu sosial atau budaya pada umumnya dilakukan dengan melalui wawancara dan pengamatan. Metode ilmiah didasari oleh pemikiran bahwa pengetahuan itu terwujud melalui apa yang dialami oleh pancaindera, dan jika suatu pernyataan mengenai gejala-gejala itu harus diterima sebagai kebenaran maka gejala-gejalat tersebut haruslah dapat diverifikasi secara empirik. Jadi setiap hukum atau teori ilmiah haruslah dibuat berdasarkan atas bukti empirik.


Penciptaan teori, sebenarnya adalah bagian yang amat penting dari metode ilmiah. Sebuah kerangka teori menyajikan cara-cara untuk bagaimana mengorganisasi dan menginterpretasi hasil-hasil penelitian, dan menghubungankannya dengan hasil-hasil penelitian yang telah dibuat sebelumnya oleh peneliti-peneliti lainnya. Dengan demikian, karena sebenarnya pengetahuan ilmiah itu adalah suatu proses akumulasi dari pengetahuan, maka juga penting dari metode ilmiah adalah untuk menghubungkan penemuan-penemuan ilmiah dari waktu dan tempat yang berbeda. Walaupun pada hakekatnya metode ilmiah dalam sains itu lebih menekankan pentingnya peranan metode induktif, karena tujuan utamanya adalah penciptaan generalisasi-generalisasi berlandaskan pada fakta-fakta spesifik atau khusus dalam saling kaitan antara penelitian, penciptaan teori, dan verifikasi, tetapi dalam ilmu-ilmu sosial baik metode induktif maupun metode deduktif sama-sama penting peranannya.


Tidak selamanya sebuah hasil penelitian seorang ilmuwan dapat diterima oleh ilmuwan-ilmuwan lainnya. Bila terjadi perbedaan pendapat mengenai hasil penelitian, khususnya banyak terjadi dalam bidang sains, maka keputusan mengenai kebenarannya diserahkan kepada suatu komuniti ilmiah yang terdiri dari para ahli dalam bidang tersebut. Dengan demikian maka kegiatan penelitian yang dilakukan secara individual dan idiosinkretik yang tidak dapat dilakukan oleh peneliti lainnya, hasil penelitiannya tidak dapat dikatakan sebagai fakta ilmiah. Walaupun fakta-fakta empirik itu amat penting peranannya dalam metode ilmiah, tetapi kumpulan fakta itu sendiri tidak menciptakan teori atau ilmu pengetahuan. Agar fakta-fakta tersebut mempunyai makna, maka fakta-fakta tersebut harus ditata dan diklasifikasi berdasarkan metode yang berlaku, dianalisis, digeneralisasi, dan dikaitkan antara satu dengan lainnya.


Dalam ilmu-ilmu sosial, masalah obyektivitas dari informasi yang dikumpulkan dalam penelitian merupakan suatu isyu yang utama dalam metode ilmiahnya. Sebab, berbeda dengan dalam sains, informasi yang dikumpulkan itu berasal dari dan mengenai kegiatan- kegiatan manusia sebagai mahluk sosial dan budaya, sehingga dapat melibatkan hubungan perasaan dan emosional diantara peneliti dengan pelaku yang diteliti. Untuk menjaga obyektivitas tersebut, dalam ilmu-ilmu sosial terdapat prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Ilmuwan harus mendekati segala sesuatu yang menjadi sasaran kajiannya dengan penuh keraguan dan skeptik;

2. Ilmuwan harus obyektif dalam menilai segala sesuatu, yaitu harus membebaskan dirinya dari sikap-sikap pribadinya, keinginan-keinginannya, dan kecenderungan-kecende-rungannya untuk menolak atau menyukai data yang telah dikumpulkannya;

3. Ilmuwan harus secara etika bersikap netral atau terbebas dari membuat penilaian-penilaian menurut nilai-nilai budayanya mengenai hasil-hasil penemuannya, dan dalam hal ini dia hanya dapat memberikan penilaian mengenai data yang diperolehnya itu apakah sebagai data yang benar atau data yang palsu; dan begitu pula dalam kesimpulan-kesimpulannya dia tidak boleh menganggap bahwa datanya tersebut adalah data akhir, mutlak, atau kebenaran universal. Karena kesimpulan-kesimpulannya hanya berlaku secara relatif sesuai dengan waktu dan tempat dimana penelitian itu dilakukan.


Untuk menjaga nilai obyektif dari data yang dikumpulkan maka dalam setiap kegiatan penelitian harus berpedoman pada metode ilmiah yang ketentuan-ketentuannya mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. Prosedur pengkajian/penelitian harus terbuka untuk umum dan dapat diperiksa oleh peneliti lainnya;

2. Definisi-definisi yang dibuat dan digunakan adalah tepat dan berdasarkan atas konsep-konsep dan teori-teori yang sudah ada;

3. Pengumpulan data dilakukan secara obyektif;

4. Penemuan-penemuannya akan ditemukan ulang oleh peneliti lain; yaitu untuk sasaran atau masalah penelitian yang sama dan dengan menggunakan pendekatan dan prosedur penelitian yang sama;

5. Di luar bidang sains, tujuan kegiatan pengkajian/penelitian adalah untuk pembuatan teori-teori penjelasan, interpretasi, dan prediksi-prediksi (khususnya dalam ilmu ekonomi) mengenai gejala- gejala yang dikaji.


Secara garis besarnya ada dua macam penelitian; yaitu: (1) Penelitian Dasar (basic research), penelitian yang dilakukan dengan tujuan untuk pengembangan teori-teori ilmiah atau prinsip- prinsip mendasar dan umum dari bidang ilmu yang bersangkutan, dan yang penemuan teori-teori ilmiahnya tersebut dapat digunakan untuk kepentingan kegiatan-kegiatan penelitian yang bersifat aplikasi agar hasilnya lebih baik; dan (2) Penelitian untuk aplikasi (applied research), yang ditujukan untuk menemukan teori-teori atau prinsip-prinsip yang mendasar dan umum dari masalah yang dikaji untuk dapat memecahkan/mengatasi masalah tersebut dan masalah-masalah lainnya yang tergolonga dalam tipe dan kelas yang sama. Masalah-masalah tersebut dapat berupa, atau berkaitan dengan masalah-masalah, bisnis, pemerintahan, perburuhan, pendidikan, ketegangan sosial, dan sebagainya.


Disamping itu, kegiatan-kegiatan penelitian juga dapat digolongkan menurut corak kegiatannya; yaitu: (1) Penelitian yang dilakukan secara individual, yang dalam hal mana peneliti melakukan kegiatan penelitian semata-mata berlandaskan pada perhatian ilmiah dan bebas dari pengaruh keinginan birokrasi pemerintahnya ataupun kepentingan praktis untuk memecahkan sesuatu masalah yang dihadapi oleh masyarakatnya; kegiatan penelitian seperti ini hanyalah dengan tujuan untuk memperdalam pengetahuannya dan untuk penciptaan/penemuan teori baru atau verifikasi teori yang sudah adal; dan (2) Penelitian terorganisasi sebagai sebuah kelompok penelitian, yaitu suatu kegiatan penelitian yang dilakukan sekelompok peneliti untuk suatu masalah penelitian yang satu atau untuk sejumlah masalah penelitian yang saling berkaitan dan terkordinasi satu sama lainnya; kegiatan penelitian terorganisasi biasanya dilakukan untuk suatu tujuan aplikasi tertentu. Sesungguhnya kegiatan penelitian aplikasi tidak hanya dilakukan secara terorganisasi dalam bentuk sebuah kelompok peneliti tetapi dapat juga dilakukan oleh seorang peneliti saja. Karena peneliti tersebut biasanya dibantu oleh sejumlah asisten dalam melakukan kegiatan penelitiannya maka juga seringkali kegiatan penelitian seperti ini digolongkan sebagai kegiatan penelitian terorganisasi dalam kelompok.



Tahapan-tahapan Penelitian


Setiap kegiatan penelitian selalu dilakukan dengan melalui tahapan-tahapan; dan tahapan-tahapan tersebut dila-kukan berlandaskan pada prinsip-prinsip yang terdapat dalam metode ilmiah. Adapun tahapan-tahapannya adalah sebagai berikut:
1. Masalah penelitian didefinisikan;

2. Masalah penelitian tersebut dinyatakan/diungkapkan dalam kaitannya dengan sesuatu kerangka teori tertentu dan berkaitan dengan penemuan-penemuan yang telah ada dari hasil-hasil penelitian sebelumnya oleh peneliti lainnya;

3. Sebuah hipotesis atau sejumlah hipotesis yang berkaitan dengan masalah penelitian tersebut diciptakan, yang dibuat berdasarkan atas teori-teori yang telah ada sebelumnya, dan hipotesis tersebut menjadi landasan bagi terciptanya masalah penelitian;

4. Prosedur pengumpulan data ditentukan;

5. Data dikumpulkan dengan menggunakan tehnik-tehnik penelitian yang telah dikemukakan dalam prosedur penelitian;
Data dianalisis untuk menentukan apakah hipotesis yang telah ditentukan itu dibenarkan/diterima ataukah ditolak; dan
Kesimpulan-kesimpulan dari kajian/penelitian yang dilakukan dihubungkan dengan kerangka teori semula yang digunakan, yang dapat menghasilkan sesuatu perubahan dari teori yang digunakan tersebut setelah diperbandingkan dan dianalisis dengan hasil- hasil penemuan dari penelitian tersebut.
Masalah Penelitian
Diantara berbagai kesukaran dalam melaksanakan penelitian sesuai dengan tahapan-tahapan penelitian, yang tersukar adalah pembuatan masalah penelitian. Tahap-tahap lainnya yang ada dalam prosedur penelitian di Indonesia, telah dipecahkan hambatan- hambatannya melalui berbagai kegiatan penataran dan latihan penelitian sehingga para peneliti Indonesia dapat menjadi pengumpul data yang baik. Tetapi pembuatan masalah penelitian memerlukan kesanggupan pengetahuan yang lebih banyak daripada hanya sekedar sebagai pengumpul data; dan kenyataan ini berbeda dengan pandangan orang awam pada umumnya.
Pada umumnya orang awam berpendapat bahwa masalah penelitian dalam kegiatan penelitian ilmu-ilmu sosial adalah sama dengan masalah sosial (yaitu gejala atau serangkaian gejala yang ada dalam kehidupan sosial yang coraknya menyimpang dari keteraturan sosial yang berlaku sehingga oleh para warga masyarakat digolongkan sebagai masalah sosial). Disamping itu, ada juga orang awam yang menganggap bahwa suatu penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan dari bidang ilmu-ilmu sosial hanyalah bertujuan untuk mengungkapkan hal-hal yang aneh atau unik atau menarik hati. Anggapan-anggapan seperti tersebut diatas tentu saja tidak benar. Karena sama halnya dengan penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para ahli dalam bidang sains dan teknologi, penelitian- penelitian yang dilakukan oleh para ahli ilmu-ilmu sosial juga bertujuan untuk mencapai suatu pengertian mengenai prinsip-prinsip mendasar yang berlaku umum mengenai hakekat hubungan diantara variabel-variabel yang ada dalam sasaran penelitiannya. Hanya bedanya dengan sains adalah teori-teori yang ditemukan dalam penelitian ilmu-ilmu sosial adalah teori penjelasan dan bukannya rumus-rumus atau hukum-hukum.
Kalau sebuah masalah sosial itu pada hakekatnya berasal dari dan terwujud dalam kehidupan sosial masyarakat yang bersangkutan, maka sebuah masalah penelitian dapat dijelaskan sebagai berikut:
Penciptaan sebuah masalah penelitian dilakukan dengan berlandaskan pada pembuatan sebuah proposisi (teori atau hipotesis yang belum diuji kebenarannya) yang kerangka acuannya adalah hasil pengkajian mengenai kaitan hubungan antara sejumlah teori yang sudah ada dan relevan, dan yang hasil kajian tersebut dikaitkan dengan kenyataan-kenyataan yang dihadapi. Dari hasil kajian tersebut dapat tercipta masalah atau masalah-masalah teori yang perlu dikaji kebenarannya berdasarkan atas fakta-fakta.
Penciptaan sebuah masalah penelitian, dengan demikian, adalah sama juga dengan penciptaan suatu model teori atau hipotesis yang dapat digunakan sebagai pedoman bagi kegiatan penelitian dan bagi mengungkapkan kebenaran dari proposisi yang telah dibuat tersebut.
Dengan demikian pula, setiap kegiatan ilmiah, sebenarnya sama dengan serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menguji dan memantapkan kebenaran sesuatu teori atau teori-teori yang ada dengan berdasarkan atas bukti-bukti yang telah dikumpulkan dalam penelitian.
Pembuatan Masalah Penelitian
Pembuatan masalah penelitian dimulai dengan memilih masalah penelitian. Ada dua cara yang dapat ditempuh dalam memilih sebuah masalah penelitian. Pertama, masalah dibuat berdasarkan atas masalah sosial yang ada di dalam kehidupan sehari-hari, yang dilihat dan dirasakan sebagai sebuah masalah oleh para warga masyarakat, yang kemudian diangkat sebagai sebuah masalah konseptual (contoh : Kurangnya Pengaruh Kontrol Orang Tua Terhadap Tingkat Kenakalan Remaja di Jakarta). Kedua, masalah penelitian dapat dibuat berdasarkan atas memperhubungkan kaitan antara satu konsep dengan konsep-konsep lain, yang menuntut dibuatnya penjelasan mengenai hakekat dari kaitan hubungan-hubungan yang diakibatkannya, dan menuntut adanya pembuktian mengenai kebenaran hakekat (teori atau hipotesis) tersebut berdasarkan atas bukti-bukti empirik yang secara obyektif dan ilmiah dapat dipertanggung-jawabkan (contoh: Hubungan Kekerabatan, Hubungan Kerja, dan Keberhasilan Bisnis Keluarga). Dari hasil pemilihan masalah seperti tersebut di atas, yang dihasilkan belumlah berbentuk sebuah masalah penelitian, tetapi baru sebuah Pernyataan Maksud Penelitian atau statement of intent.
Tahap selanjutnya yang harus dilakukan untuk membuat sebuah masalah penelitian adalah mengolah pernyataan maksud penelitian yang telah dibuat melalui tahap-tahap berikut ini.
Membaca, menyeleksi, dan memperdalam konsep-konsep yang relevan dengan masalah penelitian yang dipilih.
Membaca dan menyeleksi hasil-hasil penelitian yang relevan dengan masalah penelitian yang telah dipilih dan secara terseleksi menggunakan penemuan-penemuan yang telah dihasilkan berbagai penelitian terdahulu; baik mengenai tesis atau teorinya, maupun mengenai datanya yang relevan kegunaannya bagi masalah penelitian tersebut.
Membuat hipotesis, yaitu memperlakukan masalah penelitian yang telah dipilih itu sebagai terdiri atas satuan-satuan variabel yang hubungan sebab akibat di antara variabel-variabel tersebut menghasilkan hipotesis atau teori yang perlu dibuktikan kebenarannya.
Membaca dan mempelajari wilayah-wilayah masyarakat dan kebudayaannya untuk diseleksi dan dijadikan sasaran penelitian (sebagai kasus) untuk pembuktian kebenaran hipotesis yang telah dibuat.
Pendekatan Kualitatif dan Obyektivitas Data
Bila sebuah masalah penelitian telah dibuat, maka tahap berikutnya adalah membuat rencana penelitian, yang pembuatannya dilakukan dengan berlandaskan pada masalah penelitian tersebut. Masalah penelitian menentukan luasnya ruang lingkup dan tingkat kedalaman dari data yang akan dikumpulkan dalam penelitian, serta menentukan pendekatan yang akan digunakan sebagaimana terwujud dalam teknik-teknik pengumpulan data dan analisis data. Dalam penelitian ilmiah, secara garis besarnya terdapat dua golongan pendekatan : yaitu pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif.
Pendekatan kualitatif memusatkan perhatiannya pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan sosial manusia, sedangkan pendekatan kuantitatif memusatkan perhatian pada gejala-gejala yang mempunyai karakteristik tertentu di dalam kehidupan manusia yang dinamakannya sebagai variabel. Dalam pendekatan kuantitatif hakekat hubungan di antara variabel-variabel dianalisis dengan menggunakan teori yang obyektif, sedangkan di dalam pendekatan kualitatif yang dianalisa bukannya variabel-variabel, yang sebetulnya adalah gejala sosial, tetapi prinsip-prinsip umum yang paling mendasar yang menjadi landasan dari perwujudan satuan-satuan gejala tersebut, yang dianalisis dalam kaitan hubungan dengan prinsip-prinsip umum dari satuan-satuan gejala lainnya dengan menggunakan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan, dan dari hasil analisis tersebut dianalisis lagi dengan menggunakan seperangkat teori yang berlaku.
Dengan demikian, jelas perbedaan sasaran kajian antara pendekatan kuantitatif dan kualitatif, di mana sasaran kajian kuantitatif adalah gejala, sedangkan sasaran kajian pendekatan kualitatif adalah prinsip-prinsip umum dari perwujudan gejala-gejala. karena gejala-gejala yang ada di dalam kehidupan manusia itu terbatas banyaknya, dan tidak terbatas pula kemungkinan-kemungkinan variasi dan hierarkinya, maka juga diperlukan pengetahuan statistik, yang secara kuantitatif berguna untuk menggolong-golongkan dan menyederhanakan variasi dan hierarki yang ada dengan ketepatan yang dapat diukur secara kuantitatif, dan begitu juga dalam hal penganalisaan data yang telah dikumpulkan. Sedangkan di dalam pendekatan kualitatif pengukuran dari makna dan peranan gejala-gejala yang menggunakan prinsip-prinsip yang berlaku di dalam kebudayaannya tidak dapat dilakukannya secara obyektif dengan menggunakan ketepatan perhitungan kuantitatif karena makna dari satuan-satuan gejala tidak hanya dapat dilihat di dalam satu konteks saja tetapi juga dapat dilihat dari banyak konteks yang tidak terkontrol.
Dalam pendekatan kualitatif yang menjadi sasaran kajian/penelitian adalah kehidupan sosial atau masyarakat sebagai sebuah satuan atau sebuat kesatuan yang menyeluruh. Karena itu pendekatan kualitatif biasanya juga dikaitkan dengan pengertian yang sama dengan pendekatan yang dalam antropologi dikenal dengan istilah pendekatan holistik. Dalam pendekatan tersebut tidak dikenal adanya sampel, tetapi penelitian kasus, yaitu sasaran penelitian dilihat sebagai sebuah kasus yang diteliti secara mendalam dan menyeluruh untuk memperoleh gambaran mengenai prinsip-prinsip umum atau pola-pola yang berlaku umum berkenaan dengan gejala-gejala yang ada dalam kehidupan sosial masyarakat yang diteliti sebagai kasus tersebut.
Dalam pendekatan kualitatif metode penelitian yang umumnya digunakan adalah :
Metode pengamatan yang digunakan untuk mengamati gejala-gejala yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari masyarakat yang diteliti. Dengan menggunakan metode pengamatan seorang peneliti, dengan berpedoman pada kategori dan kelas tingkat gejala yang harus diamati, dapat mengumpulkan kumpulan data yang lengkap berkenaan dengan gejala-gejala (tindakan, benda, peristiwa dsb) dan kaitan hubungan antara satu dengan lainnya yang mempunyai makna bagi kehidupan masyarakat yang diteliti.
Metode pengamatan terlibat, sebuah teknik pengumpulan data yang mengharuskan si peneliti melibatkan diri dalam kehidupan dari masyarakat yang diteliti untuk dapat melihat dan memahami gejala-gejala yang ada sesuai makna yang diberikan atau dipahami oleh warga masyarakat yang ditelitinya. Termasuk di dalam pengertian metode pengamatan terlibat adalah melakukan wawancara atau berkomunikasi dengan para warga masyarakat yang diteliti dan mendengarkan serta memahami apa yang didengarkan.
Wawancara dengan pedoman, adalah suatu teknik untuk mengumpulkan keterangan dari para anggota masyarakat mengenai suatu masalah khusus dengan teknik bertanya yang bebas yang tujuannya adalah memperoleh informasi dan bukannya memperoleh pendapat atau respons. Contoh penggunaan metode wawancara dengan pedoman adalah mengumpulkan data mengenai sistem kekerabatan yang di dalamnya tercakup informasi mengenai aturan-aturan berkenaan dengan struktur kedudukan dan peranan di antara mereka yang tergolong sekerabat dan yang struktur tersebut tercermiun di dalam sistem istilah kekerabatan. Karena itu pemberi keterangan atau informasi di dalam penelitian kualitatif, yang biasanya dilakukan oleh para ahli antropologi, adalah informan. Ini dibedakan dengan penelitian yang menggunakan kuesioner yang pada dasarnya bertujuan mengumpulkan data mengenai respons atau pendapat yang diwawancarai mengenai suatu gejala atau persitiwa, yang pemberi keterangan atau responsnya dinamaka responden.
Dalam setiap kegiatan penelitian yang tergolong dalam ilmu-ilmu sosial, apakah penelitian tersebut menggunakan pendekatan kualitatif ataupun pendekatan kuantitatif, kegiatannya selalu berpedoman pada pada metode ilmiah (sebagaimana yang telah dibahas terdahulu). Sehingga obyektivitas dari kegiatan tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan tanggung jawab ilmiahnya dapat ditunjukkan. Sedangkan obyektivitas data, apakah itu penelitian dengan menggunakan pendekatan kuantitatif atau kualitatif, ditentukan oleh kesanggupan si peneliti di dalam menggunakan metode penelitiannya mengumpulkan data, dan dengan pengetahuan teorinya dalam menganalisis data yang telah dikumpulkan. Kebenaran atau validitas data tidak absolut atau universal.
Penutup
Uraian singkat yang telah disampaikan hanya merupakan pokok-pokok yang patut diketahui mengenai hakekat penelitian. Semua kegiatan penelitian ilmiah, baik dilihat dari segi perbedaan antara sains dan bukan-sains maupun dilihat dari segi pendekatannya yang kualitatif atau kuantitatif, kesemuanya menjadi ilmiah karena berlandaskan pada metode ilmiah; dan semua metode ilmiah yang digunakan dalam bidang ilmu pengetahuan apapun, pada dasarnya sama, yaitu penciptaan teori ilmiah yang obyektif. Validitas atau kesahihan data atau teori harus dilihat dalam kaitan metodologi yang digunakan, yang bisa berbeda antara yang terdapat dalam satu bidang ilmu pengetahuan dengan bidang ilmu lainnya yang tergolong dalam ilmu-ilmu sosial. Sejumlah teori yang dikembangkan dalam salah satu bidang ilmu pengetahuan dalam ilmu-ilmu sosial dapat berkembang sedemikian rupa sehingga digolongkan sebagai sahih untuk bidang ilmu pengetahuan lainnya yang juga tergolong dalam ilmu-ilmu sosial. Ini dimungkinkan karena sifat-sifat ilmu sosial yang eklektik dan terbuka, berbeda dengan sains

*) Makalah dalam Penataran Metode Penelitian Kualitatif di Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, tahun 1991.

METODE PENGAMATAN

METODE PENGAMATAN
PARSUDI SUPARLAN
UNIVERSITAS INDONESIA

Pendahuluan

Di antara berbagai metode penelitian dalam ilmu-ilmu sosial yang sekarang berkembang di Indonesia, metode pengamatan adalah yang paling kurang mendapat perhatian secara selayaknya dan telah digunakan oleh para penelitia secara kurang sempurna. Padahal kalau digunakan secara sempurna sesuai dengan persyaratan yang ada dalam tehnik-tehniknya, baik digunakan secara tersendiri maupun digunakan secara bersama-sama dengan metode-metode lainnya dalam suatu kegiatan penelitian di lapangan, akan sangat berguna untuk memperoleh data yang tepat dan dapat dipertanggungjawabkan.

Sebab-sebabnya mungkin adalah karena tiadanya ahli ilmu sosial yang memang berpengalaman untuk melakukan penelitian dengan menggunakan metode ini, karena mungkin dianggap sebagai metode yang gampang dan sepele sehingga tidak perlu dilakukan usaha pemahaman yang mendalam. Sebabnya mungkin karena pada setiap saat dan setiap hari, yaitu kalau kita tidak sedang tidur atau memejamkan mata, kita selalu menggunakan mata kita masing-masing untuk melihat dan mengamati segala sesuatu yang ada di sekeliling kita atau yang kita hadapi; bahkan seringkali hal ini kita lakukan tanpa sengaja atau bahkan tanpa ada sesuatu rencana untuk mengamatinya. Sehingga ada anggapan bahwa metode ini bukanlah suatu metode penelitian yang ilmiah, karena nampaknya sederhana dan tidak rumit tehnik-tehniknya dan tidak susah untuk memahami dan menggunakannya; selama si pelaku masih mempunyai mata yang dapat digunakan untuk mengamati.

Atau mungkin juga karena tulisan yang pernah ada dalam bahasa Indonesia yang ditulis oleh Profesor Harsja W. Bachtiar dalam buku Metode-Metode Penelitian Masyarakat yang di edit oleh Profesor Koentjaraningrat (Gramedia, 1977), yang lebih menekankan pembahasan pada hakekat pengertian pengamatan sebagai metode ilmiah dan bukannya menyajikan uraian yang berisikan petunjuk-petunjuk yang dapat dijasikan sebagai pedoman untuk menggunakan metode pengamatan dalan penelitian di lapangan.

Dalam uraian berikut ini akan dicoba untuk mengungkapkan kegunaan metode pengamatan dan bagaimana menggunakannya dalam penelitian kebudayaan. Uraian akan berisikan pembahasan mengenai : (1) hakekat penelitian kebudayaan dan penggunaan metode pengamatan; dan (2) macam-macam metode pengamatan dan petunjuk-petunjuk penggunaannya.

Penelitian Kebudayaan

Penelitian kebudayaan sebenarnya dapat dilihat sebagai sama dengan penelitian etnografi. Penelitian etnografi adalah kegiatan pengumpulan bahan keterangan atau data yang dilakukan secara sistematik mengenai cara hidup serta berbagai kegiatan sosial yang berkaitan dengan itu dan berbagai benda kebudayaan dari suatu masyarakat, yang belandaskan bahan-bahan keterangan tersebut dibuat deskripsi mengenai kebudayaan masyarakat tersebut. Dalam deskripsi mengenai kebudayaan tersebut tercakup deskripsi mengenai makna dari benda-benda, tindakan-tindakan, dan peristiwa-perristiwa yang ada dalam kehidupan sosial mereka, menurut kacamata mereka yang menjadi pelaku-pelakunya.

Sesungguhnya, penelitian etnografi dapat dilihat sebagai suatu kegiatan sistematis untuk dapat memahami cara hidup yang dipunyai oleh suatu masyarakat yang lain atau berbeda dari yang kita punyai, dan yang pemahamanan tersebut harus mengikuti atau sesuai dengan kaca mata pendukung kebudayaan itu sendiri. Karena itu, dalam penelitian etnografi sebenarnya si peneliti lebih banyak bertindak sebagai orang yang belajar dari para pendukung kebudayaan tersebut sehingga peneliti tersebut dapat memahami dan mendeskripsikannya.

Dalam mempelajari kebudayaan, ada tiga aspek yang mendasar dari pengalaman-pengalaman manusia yang harus diperhatikan; yaitu: (1) apa yang mereka lakukan; (2) apa yang mereka ketahui; dan (3) benda-benda apa saja yang mereka buat dan gunakan dalam kehidupan mereka. Dengan demikian, kegiatan penelitian etnografi harus dapat mencakup ketiga aspek tersebut, dan harus dapat memperlihatkan kaitan hubungan antara satu dengan yang lainnya; sehingga yang mereka lakukan dan benda-benda yang terdapat dalam kehidupan sosial mereka itu dapat diberi makna sesuai dengan yang mereka ketahui.

Dengan adanya tiga aspek yang mendasar seperti tersebut di atas, maka dalam penelitian kebudayaan dapat secara sistematik dipikirkan strategi penelitian yang mencakup sasaran-sasaran penelitian dan masing-masing metode penelitian yang sesuai dengan sasaran yang bersangkutan. Untuk sasaran penelitian mengenai: (1) apa yang mereka lakukan maka metode pengamatan adalah metode yang terbaik, di samping metode wawancara kalau apa yang mereka lakukan itu telah dilakukan; (2) benda-benda/alat-alat yang mereka buat dan gunakan, maka metode pengamatan adalah yang paling tepat; dan apa yang mereka ketahui maka metode wawancaralah yang dapat digunakan.

Dalam sebuah penelitian etnografi, baik metode pengamatan maupun metode wawancara digunakan secara bersama-sama maupun secara terpisah-pisah. Contohnya, dalam mencatat keterangan mengenai benda/alat yang digunakan (misal, lukah duduk yang dipunyai orang Sakai) seorang peneliti dapat mengamati bagaimana lukah duduk tersebut dibuat dan bahan- bahan apa saja yang digunakannya, melihat bagaimana lukah duduk digunakan untuk menangkap ikan, daerah penangkapan ikan dengan lukah duduk yaitu rawa-rawa. Bersamaan dengan itu, si peneliti dapat menanyakan kepada orang Sakai yang bersangkutan mengenai tehnik-tehnik pembuatan dan penggunaan alat tersebut secara lebih terperinci. Sedangkan pada waktu si peneliti harus membuat peta kampung atau denah rumah orang Sakai, si peneliti cukup melakukannya dari hasil pengamatannya. Begitu juga bahan keterangan mengenai sistem kekerabatan, sejarah pemukiman atau hal-hal lain yang mereka ketahui hanya dapat dilakukan pencatatannya dengan metode wawancara.

Metode Pengamatan

Dalam setiap penelitian yang dilakukan dengan menggunakan metode pengamtan, seorang peneliti hendaknya memperhatikan delapan hal, seperrti tersebut di bawah ini:
Ruang atau Tempat. Setiap gerak (benda, peristiwa, orang, hewan) selalu berada dalam ruang atau tempat tertentu. Bahkan keseluruhan dari benda atau gejala yang ada dalam ruang yang menciptakan suatu suasana tertentu patut diperhatikan oleh si peneliti, sepanjang hal itu mempunyai pengaruh terhadap gejala-gejala yang diamatinya.

Pelaku. Pengamatan terhadap pelaku mencakup ciri-ciri tertentu yang dengan ciri-ciri tersebut sistem kategorisasi yang berpengaruh terhadap struktur interaksi dapat terungkapkan.
Kegiatan. Dalam ruang atau tempat tersebut para pelaku tidak hanya berdiam diri saja tetapi melakukan kegiatan-kegiatan, yaitu tindakan-tindakan yang dilakukan yang dapat mewujudkan serangkaian interaksi di antara sesama mereka.

Benda-benda atau Alat-alat. Semua benda-benda atau alat-alat yang berada dalam ruang atau tempat yang digunakan oleh para pelaku dalam melakukan kegiatan-kegiatannya atau ada kaitannya dengan kegiatan-kegiatannya haruslah diperhatikan dan dicatat oleh si peneliti.
Waktu. Setiap kegiatan selalu berada dalam suatu tahap-tahap waktu yang berkesinambungan. Seorang peneliti harus memperhatikan waktu dan urut-urutan kesinambungan dari kegiatan, atau hanya memperhatikan kegiatan dalam satu jangka waktu tertentu saja dan tidak secara keseluruhan.

Peristiwa. Dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para pelaku, bisa terjadi sesuatu peristiwa di luar kegiatan-kegiatan yang nampaknya rutin dan teratur itu atau juga terjadi perristiwa-peristiwa yang sebenarnya penting tetapi dianggap biasa oleh para pelakunya. Seorang peneliti yang baik harus tajam pengamatannya dan tidak lupa untuk mencatatnya.

Tujuan. Dalam kegiatan-kegiatan yang diamati bisa juga terlihat tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh pelakunya sebagimana terwujud dalam bentuk tindakan-tindakan dan ekspresi muka dan gerak tubuh atau juga dalam bentuk ucapan-ucapan dan ungkapan-ungkapan bahasa.
Perasaan. Pelaku-pelaku juga dalam kegiatan dan interaksi dengan sesama, para pelaku dapat terlihat dalam mengungkapkan perasaan dan emosi-emosi mereka dalam bentuk tindakan, ucapan, ekspresi muka dan gerak tubuh. Hal-hal semacam ini juga harus diperhatikan oleh si peneliti.

Delapan hal yang harus diperhatikan tersebut tidak selamanya harus menjadi sasaran pengamatan. Ini tergantung pada masalah yang akan diamati dan tergantung pula pada metode pengamatan yang digunakan. Dalam metode pengamatan, terdapat setidak-tidaknya tiga macam metode; yaitu: (1) Metode Pengamatan Biasa; (2) Metode Pengamatan Terkendali; (3) Metode Pengamatan Terlibat. Masing-masing metode pengamatan ini mempunyai tehnik-tehnik pengamatan yang berlainan dan mempunyai sasaran penelitian yang juga berbeda antara satu dengan yang lainnya.

Metode Pengamatan Biasa

Metode ini menggunakan tehnik pengamatan yang mengharuskan si peneliti tidak boleh terlibat dalam hubungan-hubungan emosi pelaku yang menjadi sasaran penelitiannya. Contoh penelitian dengan menggunakan metode pengamatan biasa dengan sasaran manusia adalah seorang peneliti yang mengamati pola kelakukan para pelawak yang muncul di panggung televisi R.I. Si peneliti dalam hal ini tidak ada hubungan apapun dengan para pelaku yang diamatinya. Hal yang sama juga dapat dilihat pada contoh dimana si peneliti mengamati pola kelakuan pejalan kaki di Jalan Salemba Raya (di muka gedung UI) dari jembatan penyebrangan yang ada di situ.

Penggunaan metode pengamatan biasa, biasanya selalu digunakan untuk mengumpulkan bahan-bahan keterangan yang diperlukan berkenaan dengan masalah-masalah yang terwujud dari suatu peristiwa, gejala-gejala, dan benda. Contohnya adalah seorang peneliti yang hendak memperoleh keterangan berkenaan dengan pengaruh kenaikan harga BBM baru-baru ini terhadap harga beras di pasaran ibu kota Jakarta. Pertama dia harus mengidentifikasi tempat-tempat di mana beras di jual (pasar biasa, yang dibedakan lagi dalam penjual grosier, penjual eceran; di warung-warung yang tersebar di kampung-kampung di kota Jakarta; dan di supermarket- supermarket). Untuk kemudahan, dia menentukan untuk memilih supermarket sebagai sasaran tempat penjualan beras yang diamati, yang mudah melakukannya karena ada tertera harga beras di kantong pembungkusnya. Dalam melakukan pengamatannya, dia akan menentukan jangka waktu pengamatan, ambil contoh misalnya selama tujuan hari yang dimulai pengamatannya satu hari setelah diumumkannya kenaikan BBM tersebut. Selama tujuh hari si peneliti cukup menandatangani supermarket-supermarket yang ada di kota Jakarta, mencatat harga- harga sesuai dengan kategorinya (beras Cianjur kepala, Cianjur Slip, Raja Lele, dll sebagaimana yang terdapat dijual supermarket-superrmarket tersebut). Dalam kegiatan-kegiatan penelitiannya ini dia sama sekali tidak ada hubungan emosionail ataupun perasaan dengan beras yang diamati harganya.

Dalam pengamatan biasa, seringkali dalam kegiatan-kegiatan pembuatan peta suatu kampung seorang peneliti juga menggunakan alat yang dapat membantunya untuk melakukan pengamatan atas gejala-gejala dan benda secara lebih tepat. Alat ini sebenarnya berfungsi untuk membantu ketajaman penglihatan matanya. Dengan alat ini tidak ada keterlibatan emosi dan perasaan dengan sasaran pengamatannya.

Metode Pengamatan Terkendali

Dalam pengamatan terkendali, si peneliti juga tidak terlibat hubungan emosi dan perasaan dengan yang ditelitinya; seperti halnya dengan pengamatan biasa. Yang membedakan pengamatan biasa dengan pengamatan terkendali adalah para pelaku yang akan diamati diseleksi oleh kondisi-kondisi yang ada dalam ruang atau tempat kegiatan pelaku itu diamati dikendalikan oleh di peneliti. Contohnya, sebuah eksperimen yang mengukur tingkat ketegangan jiwa (anxiety) para pelaku pemain catur. Dua orang pemuda yang umurnya sama, begitu juga latar belakang pendidikan, kondisi sosial, kebudayaan dan suku bangsanya sama, serta sama-sama belum pernah bermain catur karena belum mengetahui aturan-aturan dan cara bermainnya dipilih. Kedua orang ini melalui penataran terbatas, diberi pelajaran bagaimana bermain catur. Isi pelajaran catur yang diberikan dan waktu pelajaran adalah sama. Setelah persiapan-persiapan tersebut dianggap mencukupi, sesuai persyaratan-persyaratan yang dibuat oleh si peneliti, maka kedua orang tersebut lalu disuruh bermain di dalam sebuah ruang kaca yang tidak tembus penglihatan ke luar. Bersamaan dengan itu, masing-masing kabel yang berguna untuk mencatat frekwensi detak jantung, denyut nadi, temperatur tubuh, perkeringatan, dan hal-hal lain yang diperlukan. Dalam keadaan demikian, si peneliti berada di luar tempat kedua pelaku tersebut bermain catur. Si peneliti mengamati dan mencatat jalannya permainan (dari tahap pebukaan sampai dengan akhir permainan), tindakan-tindakan kedua pelaku. Hasil pengamataannya dan catatan-catatan yang dibuat oleh mesin, keduanya dianalisa sesuai dengan tujuan penelitiannya. Dalam penelitian seperti ini, si pengamat sama sekali tidak mempunyai hubungan dalam bentuk apapun selama pengamatan dilakukan dengan para pelaku yang diamatinya.

Pengamatan Terlibat

Dalam penelitian etnografi, pengamatan terlibat merupakan metode yang utama digunakan untuk pengumpulan bahan-bahan keterangan kebudayaan di samping metode-metode penelitian lainnya seperti yang telah diuraikan di atas. Metode pengamatan terlibat, berbeda dengan metode-metode pengamatan lainnya seperti yang telah diuraikan di atas, dalam melakukan pengumpulan bahan-bahan keterangan yang diperlukan si penelitinya mempunyai hubungan (bisa hubungan-hubungan emosional dan perasaan) dengan para pelaku yang diamatinya.

Berbeda dengan metode-metode pengamatan lainnya, sasaran dalam pengamtan terlibat adalah orang atau pelaku. Karena itu juga keterlibatannya dengan sasaran yang ditelitinya berwujud dalam hubungan-hubungan sosial dan emosional. Dengan melibatkan dirinya dalam kegiatan dan kehidupan pelaku yuang diamatinya, si peneliti dapat memahami makna-makna yang berada dibalik berbagai gejala yang diamatinya sesuai dengan kacamata kebudayaan dari para pelakunya tersebut.

Dalam melakukan penelitian dengan menggunakan metode pengamatan terlibat, si peneliti bisa berada dalam tingkat keterlibatan tertentu dalam hubungannya dengan pelaku yang ditelitinya. Keberadaannya dalam tingkat keterlibatan tertentu bisa dikarenakan oleh memang tehniknya memerlukan hanya satu bentuk keterlibatan tersebut, tetapi bisa juga keberadaannya pada sesuatu tingkat tertentu diperlukan sebelum dicapainya tingkat tingkat keterlibatan yang sepenuhnya atau selengkapnya dalam kehidupan para pelaku. Adapun macam-macam keterlibatan yang ada dalam pengamatan terlibat adalah sebagai berikut:

Keterlibatan Yang Pasif.
Dalam kegiatan pengamatannya, si peneliti tidak terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para pelaku yang diamatinya, dan dia juga tidakk melakukan sesuatu bentuk interaksi sosial dengan pelaku atau para pelaku yang diamatinya. Keterlibatannya dengan para pelaku terwujud dalam bentuk keberadaannya dalam arena kegiatan yang diwujudkan oleh tindakan-tindakan pelakunya. Contoh: Seorang peneliti yang ingin mengetahui bagaimana pola tindakan warga Jakarta untuk memperroleh pelayanan fasilitas yang terbatas di tempat umum. Kasus yang ingin diamatinya adalah di tempat penjualan karcis kereta api untuk luar kota di stasiun Gambir. Cara yang dilakukannya adalah: Dia cukup datang ke stasiun Gambir, berdiri di ruang tempat adanya loket penjualan karcis untuk luar kota. Di papan pengumuman terdapat jadwal-jadwal pemberangkatan masing-masing kereta api dan jam-jam penjualan karcis. Si peneliti tidak harus ikut berdiri di muka loket dan membeli karcis untuk dapat memperoleh keterangan yang diperlukan. Dengan demikian, si peneliti cukup berdiri terpisah dari orang-orang yang sibuk berusaha memperoleh karcis, tetapi dia juga tidak betul-betul terrpisah dari para pelaku yang diamatinya karena dia berada dalam arena kegiatan-kegiatan yang sedang diamatinya. Dalam keadaan demikianlah si peneliti digolongkan sebagai pengamat dengan keterlibatan yang pasif.

Keterlibatan Setengah-Setengah.
Dalam kegiatan pengamatannya, si peneliti mengambil suatu kedudukan yang berada dalam dua hubungan struktural yang berbeda, yaitu antara struktur yang menjadi wadah bagi kegiatan yang diamatinya dengan struktur dimana dia sebagian dari dan menjadi pendukungnya. Dalam kedudukan demikian, perannya adalah mengimbangi antara peranan yang harus dimainkan di dalam struktur yang ditelitinya dengan struktur yang dalam mana dia menjadi salah satu unsurnya. Contoh: Seorang mahasiswa kriminologi yang hendak mengadakan penelitian mengenai kehidupan narapidana di sebuah Lembaga Pemasyarakatan; tidak mungkin untuk dapat mengadakan pengamatan dengan cara hidup di penjara sama dengan narapidana (atau salah satu kategori sesuai dengan masa hukuman dan kejahatan yang telah dilakukannya) lainnya. Pertama, kehidupan sebagai narapidana terlalu berat bagi mahasiswa tersebut, karena dalam kehidupan di Lembaga Pemasyarakatan masih juga terkandung unsur-unsur kekerrasan dan kekejaman dalam segala seginya. Kedua, akan terjadi kesukaran untuk menempatkan kedudukan si mahasiswa dalam struktur sosial yang berlaku dalam Lembaga tersebut, yang dapat merugikan usaha-usahanya untuk memperoleh keterangan-keterangan yang diperlukan dibandingkan kalau dia betul-betul sebagai narapidana dalam kegiatan penelitiannydalam satu segi dia "orang luar" lebih banyak "dipercaya" untuk mengamati kegiatan-kegiatan mereka secara sewajarnya dibandingkan kalau dia berperana sebagai narapidana atau sebagai petugas Lembaga Pemasyarakatan. Dalam keadaan demikian, dia akan tetap mempertahankan peranannya sebagai peneliti atau pengamat yang terlibat setengah-setengah.

Keterlibatan Aktif.
Dalam kegiatan pengamatannya, si peneliti ikut mengerjakan apa yang dikerjakan oleh popara pelakunya dalam kehidupan sehari-harinya. Kegioatan-kegiatan tersebut dilakukannya untuk dapat betul-betul memahami dan merasakan (menginternalisasikan) kegiatan-kegiatan dalam kehidupan mereka dan aturan-aturan yang berlaku serta pedoman-pedoman hidup yang mereka jadikan sandaran pegangan dalam melakukan kegiatan-kegitan tersebut. Contoh: Seorang peneliti yang berusaha untuk membuat etnografi salah satu suku bangsa terasing di Indonesia, yaitu Orang Sakai yang hidup di wilayah Propinsi Riau, telah menggunakan metode pengamatan terlibat. Dalam kegiatan penelitiannya, dia hidup/tinggal bersama dengan Orang Sakai yang ditelitinya di tempat pemukiman mereka. Secara bertahap dia berusaha untuk dapat memperoleh bahan-bahan keterangan yang diperlukan mengenai sistem mata pencaharian, khususnya dalam hal ini cara-cara mereka menjerat hewan hutan, menangkap ikan, dan sebagainya, maka si peneliti tersebut ikut dalam kegiatan-kegiatan menjerat hewan di hutan, menangkap ikan (dengan berbagai tehniknya) di sungai, di rawa-rawa dan digenangan air, dan sebagainya. Dalam kerangka pembicaraan mengenai tahap-tahap kegiatan dalam penelitian dengan menggunakan metode pengamatan terlibat, sebenarnya Pengamatan Keterlibatan Aktif dapat dilihat sebagai satu tahap perantara untuk mencapai tahap berikutnya yaitu tahap Pengamatan Terlibat Sepenuhnya atau Lengkap.

Keterlibatan Penuh atau Lengkap.
Pada waktu si peneliti telah menjadi sebagian dari kehidupan warga masyarakat yang ditelitinya, artinya dalam kehidupan warga masyarakat tersebut kehadiran si peneliti dianggap biasa dan kehadirannya dalam kegiatan-kegiatan para warga telah dianggap sebagai suatu "keharusan", maka pada saat tersebut si peneliti sebenarnya telah mencapai suatu tahap keterlibatan yang penuh atau lengkap. Dalam keadaan demikian, sebenarnya kedudukan dan peranan dari si peneliti telah didefinisikan dalam struktur sosial yang berlaku, oleh para warga itu sendiri. Sebenarnya tidak mudah untuk mencapai tahap ini, dan pencapaian tersebut sebagian terbesar tergantung pada kemampuan si peneliti untuk dapat memanipulasikan kondisi-kondisi yang dipunyainya dalam kaitannya dengan situasi dan kondisi yang dihadapinya yang bersumber pada sasaran penelitiannya. Dalam banyak hal seorang peneliti yang menggunakan metode pengamatan terlibat dapat mencapai tahap ini; yaitu setelah memakan waktu yang cukup lama dalam hubungan si peneliti dengan warga masyarakat yang bersangkutan dan setelah warga masyarakat tersebut merasa bahwa si peneliti bukan orang yang "jahat" bahkan orang-orang yang "baik".

METODE PENELITIAN KASUS

METODE PENELITIAN KASUS*)
PARSUDI SUPARLAN
UNIVERSITAS INDONESIA


Penelitian Ilmiah dalam Ilmu-Ilmu Sosial dan Humaniora

Penelitian Ilmiah adalah kegiatan sistematik, dengan menggunakan konsep-konsep teori-teori dan pendekatan yang relevan dan baku, untuk mengumpulkan informasi, fakta-fakta atau data dengan menggunakan metode-metode yang relevan atau baku, untuk digunakan sebagai bukti-bukti atau sebagai pembuktian dalam upaya pembuatan teori.

Konsep-konsep dan teori yang relevan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh sipeneliti, digunakan untuk menciptakan sebuah kerangka teori atau model teori. Kerangka atau model teori ini digunakan sebagai acuan untuk membuat hipotesa, yaitu sebuah asumsi, atau dugaan, yang merupakan jawaban sementara karena belum ada bukti-bukti atau pembuktian mengenai kebenarannya. Sebuah hipotesa dibuat dengan melakukan pertanyaan empirik atau logika mengenai hubungan-huubungan diantara dua satuan permasalahan, dua satuan katagori, fakta-fakta, atau dua variabel atau lebih. Hipotesa adalah landasan bagi pembuatan masalah penelitian. Sebuah kerangka teori atau model teori yang dibuat juga sebagai acuan untuk pendekatan atau metodologi yang digunakan, yaitu pendekatan kwantitatif atau pendekatan kwalitatif.

Sebuah masalah penelitian tidaklah sama dengan masalah sosial, masalah politik, atau masalah-masalah empirik lainnya, tatapi sebuah masalah teoretikal. Masalah penelitian itu ada, karena diciptakan, yaitu dengan menggunakan hipotesa yang dibuat, dan karena memang sudah ada dalam kehidupan yang nyata.

Teori-teori yang dihasilkan dengan pendekatan kwantitatif terdiri atas: (1) Teori-teori subtantif; dan (2) Teori-teori metodologi. Sedangkan teori-teori yang dihasilkan oleh dan dengan menggunakan teori kwalitatif adalah teori-teori yang bercorak subtantif.

Setiap kegiatan penelitian ilmiah harus berlandaskan metode ilmiah, yaitu cara-cara yang berlaku secara baku dalam pengumpulan data , agar data yang dikumpulkan tersebut dapat dijamin obyektifitas dan keahliannya. Metode ilmiah adalah suatu kerangka landasan bagi cara-cara untuk melakukan kegiatan penelitian agar hasil penelitian tersebut dapat menciptakan suatu pengetuhuan yang ilmiah atau obyektif. Dalam sains atau ilmu-ilmu alamiah dilakukan dengan cara menggunakan metode pengamatan, eksperimen, generalisasi, dan ferifikasi. Dalam ilmu-ilmu sosial dilakukan dengan menggunakan metode pengamatan, wawancara, eksperimen, (dalam bidang-bidang terbatas, seperti psikologi eksperimental), generalisasi, verifikasi dan pengamatan terlibat dalam humaniora dilakukan dengan menggunakan metode verstehen, interpretif (tafsir) atau hermeunetika (hermeunities).

Masing-masing metode tersebut mempunyai persaratan-persaratan untuk menjaga ke-obyektifan dan kesahihan data. Obyektifitas ilmuwan dijaga dengan melalui adanya: (1) Komuniti atau Masyarakat Ilmiah, yaitu kumpulan ilmuwan yang terwujud sebagai organisasi formal maupun yang informal tempat para ilmuwan mendiskusikan dan menguji keahlian dari penemuan-penemuan yang diperolah melalui hasil-hasil penelitian mereka, (2) Jurnal Ilmiah, tempat mereka menyampaikan hasil-hasil penelitian yang terbuka untuk kritik dan pengembangannya.

Di samping itu, dalam Ilmu-ilmu sosial, obyektifitas dan keahlian data juga diusahakan melalui suatu sikap, sbb:

1. Ilmuwan harus mendekati segala sesuatu yang menjadi sasaran kajiannya dengan penuh keraguan mengenai kebenaran obyektifnya atau dengan sikap skeptif.

2. Ilmuwan harus obyektif dalam menilai segala sesuatu, yaitu harus membebaskan dirinya dari sikap-sikap pribadinya, dari keinginan-keinginannya, dan dari kecenderungan-kecenderungannya.

Untuk itu, secara etika ilmuwan harus bersikap atau netral terbebas dari membuat penelitian-penelitian menurut nilai-nilai budayannya mengenai hasil-hasil penemuannya, atau dengan kata lain, harus mehindarkan diri dari kecenderungan-kecenderungan menghakimi secara formal para pemberi informasi (informan) berdasarkan hasil-hasil penemuannya. Dalam hal ini dia hanya dapat memberikan penilaian atas data yang telah dikumpulkan saja. Begitu juga dalam kesimpulan-kesimpulannya sipeneliti tidak boleh menganggap bahwa datanya adalah data akhir, mutlak, dan merupakan kebenaran universal. Karena kesimpulan-kesimpulan yang dibuatnya hanya berlaku secara relatif sesuai dengan waktu atau tempat dimana penelitian itu dilakukan, dan sesuai dengan masalah yang ditelitinya, serta kerangka atau model teori yang digunakannya. Karena itu, dalam setiap kegiatan penelitian ilmiah ada serangkaian pedoman yang harus diikuti: yaitu;

1. Prosedur penelitian harus terbuka untuk diperiksa oleh peneliti lainnya, karena itu dalam setiap laporan penelitian harus disebitkan metode apa yang telah digunakan dan bagaimana menggunakannya dalam pengumpulan data selama penelitian dilakukan.
2. Definisi-definisi yang dibuat dalam definisi-definisi yang benar dan berdasarkan pada konsep laporan atau teori-teori yang sudah ada atau baku, karena itu dalam setiap laporan hasil penelitian selalu dinyatakan atau didefinisikan konsep-konsep dan teori-teori yang digunakan berikut acuan atau referensi kepustakaannya.
3. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode-metode penelitian yang baku.
4. Hasil-hasil penelitian dari sebuah penelitian yang telah dilakukan akan ditemukan ulang oleh peneliti lainnya, bila masalah penelitiannya, pendekatan, dan prosedur penelitiannya sama dengan yang dilakukan oleh sipeneliti yang baru.

Pendekatan Kwantitatif dan Kwalitatif

Kalau dalam sain atau ilmu-ilmu alamiah pendekatan yang digunakan adalah eksplorasi untuk menemukan (to diskover) dan eksperimen untuk menciptakan (to invent), maka dalam ilmu-ilmu sosial terdapat dua pendekatan yang berbeda yaitu; (1) pendekatan kwantitatif; dan (2) pendekatan kwalitatif. Perbedaan yang mendasar dari pendekatan kwantitatif dari pendekatan kwalitatif adalah;

Kwantitatif

Masalah penelitian diperlakukan sebagai satuan-satuan individual atau agregat, yang secara keseluruhan disebut populasi.

Satuan-satuan individual digolongkan sesuai kepentingan penggolongannya menjadi variabel-variabel, atau satuan penggolongan dengan ciri-ciri tertentu.

Hubungan-hubungan diantara variabel-variabel diukur dalam pengukuran, secara hipotetis, ditentukan variabel yang menjadi perubah atau yang bebas dan variabel yang tergantung karena besarnya populasi, maka dalam penelitian digunakan sampel atau jumlah terbatas dari populasi yang secara metodologi mempunyai ciri-ciri yang sama dan karena itu merupakan perwakilan atau representasi dari populasi.

Data yang dikumpulkan dalam penelitian adalah data kwantitatif atau dalam bentuk angka-angka. Data dianalisa untuk dijadikan pembuktian (proof), yang tidak perlu diinterpretasi lagi untuk mendukung atau menolak kebenaran hipotesa yang dibuat.

Hipotesa dalam pendekatan kwantitatif adalah hipotesa uji.

Kebenaran teori ditunjukkan dengan melakukan pembuktian.

Instrumen penelitian adalah kwesioner yang digunakan dalam penelitian.

Digunakan indikator atau sesuatu gejala yang dapat diukur atau diamati yang digunakan untuk menunjukkan atau mengindikasi gejala lain yang tidak dapat diukur secara langsung.
Pemberi informasi atau yang melakukan respons atas pertanyaan yang diajukan oleh peneliti dinamakan responden.

Kwalitatif

Masalah penelitian adalah sebuah satuan yang bulat dan menyeluruh, merupakan sebuah sistem.

Sebagai sebuah sistem, isinya adalah sebuah unsur-unsur yang saling terkait satu sama lainnya dalam hubungan-hubungan fungsional dalam satuan-satuan yang berada dalam hubungan-hubungan horisontal maupun vertikal atau berjenjang.

Hubungan-hubungan diantara unsur-unsur atau satuan-satuan dipahami hakekatnya. Tidak ada konsep sampel yang ada konsep kasus. Kasus adala sebuah satuan yang sama dengan sejumlah satuan lainnya yang tergolong sebagai mempunyai tipe yang sama. Hasil-hasil penelitian dari sebuah kasus dapat digunakan membuat generalisasi yang mencakup kasus-kasus yang tergolong mempunyani tipe yang sama.

Data yang dikumpulkan dalam penelitian adalah data kwalitatif (narasi) dan data kwantitatif (angka-angka), data sensus misalnya. Data dianalisa untuk dijadikan bukti-bukti (evidence), yang perlu diinterpretasi untuk digunakan sebagai pendukung kebenaran hipotesa yang dibuat. Hipotesa dalam pendekatan kwalitatif adalah hipotesa kerja. Kebenaran teori dilakukan dengan menunjukkan bukti-bukti. Instrumen penelitian adalah sipeneliti sendiri. Tidak menggunakan indikator. Pemberi informasi dinamakan informan.

Pendekatan Kwalitatif dan Metode-Metodenya

Pendekatan kwalitatif seringkali juga disebut sebagai pendekatan yang humanistik. Karena dalam pendekatan cara-cara hidup, cara- cara pandang, ataupun ungkapan-ungkapan emosi dari warga masyarakat yang diteliti mengenai suatu gejala yang ada dalam kehidupan mereka itu justru yang digunakan sebagai data. Dalam perspektif ini ke-obyektifan dari pendekatan kwlitatif, justru dilakukan dengan menggunakan data subyektif (menurut perspektif pelaku yang diteliti). Dalam hal ini data atau bukti-bukti yang diperoleh dari pelaku yang diteliti (informan) diperlakukan sebagaimana adanya, atau tida dikurangi atau ditambah atau dirubah oleh sipeneliti. Informasi atau fakta-fakta dari informan atau hasil pengamatan sipeneliti diinterpretasi oleh peneliti dengan mengacu pada konsep-konsep dan atau teori-teori yang relevan, untuk disimpulkan hakekatnya dan dikaitkan dengan kesimpulan mengenai gejala atau fakta-fakta lainnya untuk dibuatkan hipotesanya. Dengan menggunakan hipotesa ini sipeneliti mengumpulkan data lainnya dan seterusnya.

Hipotesa dalam pendekatan kwlaitatif adalah hipotesa kerja. Dalam merencanakan sebuah penelitian, hanya sebuah hipotesa kerja yang dibuat. Hipotesa ini dibuat dengan menjawab pertanyaan, mengapa, hubungan antara dua satuan atau dua "variabel" menghasilkan suatu gejala. Pertanyaan mengapa didukung oleh sejumlah pertanyaan apa, siapa, bagaimana, kapan, dimana, yang harus dijawab secara inplisit dalam uraian rencana sebuah penelitian. Hipotesa kerja yang dibuat tersebut dapat dilihat sebagai sebuah hipotesa yang utama, yang menjadi pegangan dalam menentukan inti atau fokus permasalahan, unsur-unsur yang tercakup dalam permasalahan dan ruang lingkup permasalahan tersebut. Dalam penelitian di lapangan, pada setiap melihat hubungan diantara dua gejala atau lebih sipeneliti akan harus selalu membuat hipotesa berkenaan dengan hubungan diantara dua atau lebih gejala-gejala tersebut, untuk dapat memperoleh informasi mengenai gejala-gejala tersebut dan untuk memperoleh informasi mengenai gejala-gejala lainnya, sehingga keseluruhan informasi atau data yang dibutuhkan sesuai dengan rencana penelitiannya dan yang dipedomani oleh hipotesanya itu terpenuhi.

Dalam pendekatan kwalitatif, seorang peneliti secara sadar bersikap skeptis atau tidak percaya sepenuhnya terhadap informasinya yang diperolehnya melalui informan atau melalui wawancara. Karena dia memahami adanya kemampuan manusia yang tidak terbatas, termasuk informannya, dalam memanipulasi informasi. Informasi dimanipulasi demi kepentingan-kepentingan pemberi informasi yang bersangkutan. Untuk menghindari informasi yang menyimpang dan khususnya menghinndari data yang palsu, maka peneliti menggunakan pendekatan kwalitatif. Pendekatan yang intinya adalah metode pengamatan terlibat (parrticipant observation). Disamping metode pengamatan terlibat, metode-metode lainnya yang biasanya digunakan dalam kegiatan penelitian dengan menggunakan pendekatan kwalitatif adalah metode pengamatan, wawancara dengan pedoman atau berstruktur , dan pengumpulan data sensus.

Metode pengamatan terlibat pada dasarnya adalah sama dengan metode vertehen yang dikembangkan dan digunakan oleh Max Weber, tokoh klasik dalam sosiologi, untuk meneliti hubungan antara etika Kristen dengan semangat kapitalisme. Pendekatan verstehen adalah sebuah cara dan sudut memandang dan memperlakukan yang sesuatu gejala dari sudut pandang atau kacamata pelaku atau warga masyarakat yang ditelitinya. Tingkat kemampuan untuk dapat memandang dan menilai sesuatu gejala dari sudut pandang pelaku yang diteliti ditentukan oleh tingkat kemampuan sipenelitiuntuk dapat secara sempurna mengikuti sudut pandang dan penilaian dari para warga masyarakat yang diteliti. Dalam hal inilah si peneliti adalah sama dengan instrumen penelitian.

Dalam metode pengamatan terlibat, si peneliti bukan hanya mengamati tetapi juga melakukan wawancara, mendengarkan, melakukan kegiatan-kegiatan seperti yang dilakukan oleh mereka yang ditelitinya (dalam batas-batas tertentu). Wawancara yang dilakukan bukanlah wawancara formal yang menggunakan pedoman wawancara atau menggunakan kwesioner, tetapi wawancara yang lebih dapat dikatakan sebagai dialog atau percakapan spontan. Justru yang spontan itulah yang obyektif karena tidak dihasilkan melalui suatu proses rekayasa terlebih dahulu. Inti dari metode pengamatan terlibat adalah si peneliti mengumpulkan informasi melalui pancaindranya. Ini berbeda dengan metode pengamatan yang menggunakan indra mata saja. Berbeda pula dengan metode wawancara, yang menggunakan indra telinganya untuk mendengarkan apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh informannya.

Metode-metode lainnya yang digunakan dalam penelitian dengan pendekatan kwalitatif adalah metode wawancara dengan pedoman, wawancara dengan kwesioner, pencatatan data sensus (dalam penelitian etnografi) dan metode pengamatan. Wawancara dengan pedoman disusun untuk maksud memperoleh informasi khusus dari informan yang ahli dalam bidangnya, yang mengetahui secara mendalam mengenai bidang yang khusus tersebut. Misalnya: mewawancarai dukun pengantin untuk memperoleh formula-formula dan aturan-aturan yang harus diikuti oleh calon pengantin pria maupun wanita dan berbagai penjelasan budaya berkaitan dengan itu, haruslah digunakan dengan menggunakan sebuah pedoman wawancara yang komprehensif dan yang hanya berlaku untuk memperoleh informasi mengenai itu. Kwesioner biasanya digunakan untuk memperoleh informasi mengenai kependudukan dan respons-respons mereka terhadap sesuatu stimulan. Sedangkan metode pengamatan terutama digunakan untuk mengamati gejala-gejala yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari dari para warga masyaarakat yang diteliti, untuk dicocokkan relevansi atau kebenarannya dengan informasi-informasi yang telah diperoleh melalui wawancara. Salah satu kegunaan dari metode pengamatan adalah untuk mendeskripsikan setting dari lokasi dan lingkungan dari masyarakat yang diteliti maupun setting dari berbagai gejala yang ada dalam kehidupan masyrakat tersebut sesuai dengan masalah yang ditelitinya. Salah satu dari yang dilakukan peneliti dalam mendeskripsikan setting ini adalah membuat peta pemukiman dan lingkungan dari masyarakat yang ditelitinya.

Metode Penelitian Kasus

Metode penelitian kasus adalah sebuah metode yang digunakan untuk mengkaji gejala-gejala sosial dari suatu kasus dengan cara menganalisanya secara mendalam. Kasus tersebut dapat berupa seseorang, sebuah kelompok, sebuah komuniti, sebuah masyarakat, suatu masa atau peristiwa, sebuah proses, atau suatu satuan kehidupan sosial. Semua data yang secara langsung atau tidak langsung relevan dengan kasus tersebut dikumpulkan dan data yang telah diperoleh tersebut disusun sedemikian rupa sehingga mencerminkan coraknya sebagai sebuah kasus. Metode penelitian kasus menghasilkan suatu corak atau karakter tunggal yang menandai kasus tersebut, sehingga data yang dikumpulkan dan dikaji dengan cara saling memperhubungkan kaitan-kaitannya yang serba beranekaragam dan faktor- faktor penyebabnya mengacu pada dan mendukung tercerminnya corak atau karakter yang tunggal. Metode ini juga menyajikan suatu kesempatan untuk melakukan suatu analisa yang intensif dan mendalam mengenai unsur-unsur yang khusus dan terperinci yang tercakup dalam kasus tersebut, yang sering kali terabaikan atau tidak dianggap ada kalau si peneliti menggunakan metode-metode lainnya, terutama kalau menggunakan metode wawancara dengan kwesioner.

Sebuah metode penelitian kasus juga memungkinkan si peneliti untuk: (1) Menyajikan deskripsi yang mendalam dengan bukti-bukti lengkap, dan dengan cara menyajikan informasi-informasi yang sedemikian rupa sehingga apa yang disampaikan tersebut nampak hidup dan dengan pelaku-pelakunya yang memperoleh ruang untuk dapat memainkan peranan-peranannya masing-masing, (2) Bersifat grounded atau berpijak dibumi, yang artinya betul-betul empirik sesuai dengan konteksnya, (3) Bercorak holistik matau sistemik, (4) Menyajikan informasi yang terfokus dan berisikan pernyataan- pernyataan teori yang perlu-perlu saja, yaitu pernyataan- pernyataan mengenai pola-pola atau karakternya, (5) Mempunyai kemapuan untuk bicara dengan pembacanya karena disajikan dengan bahasa biasa dan bukannya dengan bahasa teknis ilmiah atau angka- angka dengan rumus-rumus statistik. Metode penelitian kasus sapat juga dilihat sebagai sama dengan metode penelitian etnografi yang khusus, yaitu etnografi yang terfokus pada sesuatu masalah penelitian tertentu.

Metode peneltian kasus adalah sebuah penelitian yang menggunakan pendekatan kwalitatif. Karena itu, syarat-syarat kemapuan ilmiah dan metodologi dari si peneliti betul-betul dituntut untuk dipenuhi. Kalau tidak maka hasil penelitiannya akan secara ilmiah tidak dapat dipertanggung jawabkan. Di samping itu, penelitian dengan menggunakan metode kasus menuntut kesabaran dan ketekunan dari si peneliti, dan waktu dan biaya yang relatif lebih banyak dibandingkan dengan penelitian yang menggunakan pendekatan kwantitatif.

*) Ceramah-Diskusi, Staf Peneliti Yayasan AKATIGA, Jl. Raden Patah 28, Bandung