Showing posts with label Jawa. Show all posts
Showing posts with label Jawa. Show all posts

Tuesday 25 January 2011

KAWASAN KARST SUKOLILO – JAWA TENGAH: POTENSI ARKEOLOGI DAN TINJAUANNYA SECARA MAKRO

KAWASAN KARST SUKOLILO – JAWA TENGAH: POTENSI ARKEOLOGI DAN TINJAUANNYA SECARA MAKRO

J. Susetyo Edy Yuwono & Gregorius D. Kuswanto (Arkeologi FIB UGM)



A. PENDAHULUAN
Kawasan karst merupakan sebuah aset dan sekaligus catatan panjang dari
sebagian sejarah bumi di suatu wilayah. Sebagai suatu aset, kawasan ini memiliki
berbagai keistimewaan. Bentangalamnya yang unik merupakan sisi luar (eksokarst) yang
paling mudah dikenali, berbeda dengan bentangalam lainnya. Di bawah permukaannya
(endokarst), keunikan-keunikan lain semakin banyak dijumpai. Ragam bentukan gua,
lorong-lorong sungai bawahtanah, dan ornamen-ornamen batuan yang indah hanya dapat
dijumpai di kawasan ini. Bahkan salah satu sumber kehidupan kita, yaitu air yang
tersimpan di sungai-sungai dan telaga-telaga bawahtanah, memiliki tatanan yang spesifik
di kawasan karst. Tidak terpungkiri pula, bahwa kawasan karst menjadi salah satu media
penyimpan air yang sangat menentukan kehidupan di atasnya, baik di kawasan karst itu
sendiri maupun untuk kawasan-kawasan lain di sekitarnya.
Sejumlah keistimewaan di atas adalah hasil dari suatu proses alam yang sangat
panjang. Menurut pembabakan waktu geologi, banyak diulas bahwa batuan penyusun
karst di Jawa ini sebagian besar berumur Miosen (sekitar 23 juta tahun lalu). Melalui
proses tektonis (pengangkatan), sedimen purba ini secara bertahap akhirnya muncul di
atas muka laut. Ketika ketinggiannya sudah mencapai posisi tertentu, proses-proses
eksogen terutama pelarutan yang dikendalikan oleh curah hujan, mengikis retakanretakan
pada batuannya mulai dari permukaan hingga ke celah-celah yang lebih dalam.
Pelarutan yang terjadi bersamaan dengan proses denudasi sepanjang waktu geologi
akhirnya menghasilkan bukit-bukit kerucut sebagai bentukan sisa, serta lorong-lorong
gua dan sungai-sungai bawahtanah lengkap dengan beragam ornamennya.
Keunikan fisik yang terbentuk, sedikit banyak telah berimbas pada keunikan
budayanya. Sebagai bentangalam tua, kawasan karst telah menjadi wadah bagi
keberlangsungan kolonisasi manusia purba, terutama mendekati akhir kala Pleistosen
hingga permulaan Holosen (40.000 – 10.000 tahun lalu). Ketersediaan gua-gua karst dari
fase pembentukan awal, yang kini sudah mengering menjadi gua-gua fosil di tebingtebing
bukit dan lembah, serta sumber-sumber air di lorong-lorong gua aktif di bawah
permukaan tanah, telah menopang keberlangsungan budaya karstik awal di kawasan ini.
Gua-gua fosil menjadi pilihan untuk bermukim, sementara gua-gua aktif dan mataairmataair
bawahtanah yang langsung dapat diakses atau harus memasuki lorong-lorong
bawahtanah, menyediakan sumberdaya untuk hidup. Lingkungan sekitar gua menjadi
activity area, di mana binatang-binatang dapat diburu untuk dikonsumsi dagingnya dan
dimanfaatkan tulangnya sebagai perkakas hidup.
Di wilayah Jawa Tengah, bukti-bukti hunian purba tersebut telah dijumpai di
beberapa kawasan karst, di antaranya adalah Kawasan Karst Gunung Sewu di
Pegunungan Selatan yang sebagian wilayahnya, yaitu Segmen Tengah (Segmen
Wonogiri), masuk ke wilayah Jawa Tengah. Meskipun potensi arkeologi di Kabupaten
1Diselenggarakan oleh PEKINDO dalam rangka Penetapan Zona Lindung Kawasan Karst
Sukolilo, Kabupaten Pati (Jawa Tengah) dan sekitarnya, September 2008.
2
Wonogiri belum lama diungkap (Yuwono, 2004; Sutikno dan Tanudirjo, 2006), namun
kandungan informasinya tidak berbeda jauh dengan segmen-segmen tetangganya di
Kabupaten Gunung Kidul (Propinsi D.I. Yogyakarta) dan Kabupaten Pacitan (Propinsi
Jawa Timur) yang sudah lebih lama diteliti.
Di wilayah selatan Jawa Tengah, Kawasan Karst Gombong juga menyediakan
potensi prasejarah serupa. Beberapa kali pengamatan di wilayah ini menemukan buktibukti
artefak (sisa perkakas prasejarah) di beberapa gua. Belum adanya penggalian
arkeologi (ekskavasi) di wilayah ini mengakibatkan kurangnya informasi untuk
mengungkapkan aspek-aspek hunian prasejarah di bagian selatan Jawa Tengah. Kasus
serupa juga dijumpai di Kawasan Karst Blora di ujung timur Jawa Tengah bagian utara.
Potensi arkeologi di wilayah ini sudah dikenali melalui survei permukaan oleh Balai
Arkeologi Yogyakarta (Yuwono, 2005). Hasil-hasil penelitian Blora ternyata tidak dapat
dipisahkan dari potensi arkeologi Kawasan Karst Tuban di sebelah timurnya, yang
sedikitnya mengandung 20 situs gua arkeologi (Suhartono, 2000). Dua di antaranya, yaitu
Gua Gede dan Gua Kandang di Kecamatan Semanding, bahkan sudah diteliti oleh W.J.A.
Willems pada tahun 1938.
Sebagai bagian dari Perbukitan Rembang, Kawasan Karst Sukolilo di Kabupaten
Pati dan Grobogan, Jawa Tengah, diduga kuat juga memiliki nilai arkeologi seperti
kawasan-kawasan karst lainnya. Bahkan jalur pegunungan lain yang membujur barattimur
di sebelah selatannya (Punggungan Kendeng), telah terbukti mengandung situssitus
yang lebih tua lagi (situs-situs kala Pleistosen). Di antaranya adalah Sangiran,
Sambungmacan, Trinil, Ngandong, Kedungbrubus, dan Jetis-Perning, yang terletak di
sayap selatan Kendeng. Melalui dugaan ini maka survei awal untuk mengungkap potensi
arkeologi Kawasan Karst Sukolilo dilakukan.
B. TUJUAN SURVEI
1. Tujuan Akademis:
a. Pada skala meso, survei ini ditujukan untuk menjajagi dan
mengidentifikasi kemungkinan adanya situs-situs arkeologi (situs gua) di
Kawasan Karst Sukolilo yang selama ini belum pernah diteliti. Penemuanpenemuan
baru nantinya, jelas akan memperkaya khasanah sejarah budaya
wilayah Jawa Tengah utara, yang selama ini masih terfokus di daerah
Sangiran dan situs-situs lain di Punggungan Kendeng.
b. Pada skala makro, penelitian ini juga bertujuan untuk menempatkan posisi
Sukolilo dalam konteks penghunian/migrasi purba di Jawa, sehingga nilai
tambah Kawasan Karst Sukolilo dapat diperoleh.
2. Tujuan Praktis:
a. Mengangkat potensi arkeologi karstik Kawasan Karst Sukolilo, yang
bersama-sama dengan potensi lainnya (hidrologi, speleologi, biologi,
ekowisata, dan lain-lain), dapat memberikan penguatan untuk
penetapannya sebagai Kawasan Lindung.
b. Memberikan nilai tambah dalam pengemasan dan pengembangan
ekowisata setempat untuk jangka panjang, yang berdampak positif
terhadap kesejahteraan masyarakat tanpa menimbulkan dampak kerusakan
yang berarti.
3
C. PELAKSANAAN SURVEI
Bentuk Kegiatan : Survei permukaan dengan melakukan pengamatan dan
pengukuran terhadap beberapa kriteria, meliputi: a) kriteria
morfologi dan genesa gua, b) kriteria lingkungan dan
morfoasosiasi, c) kriteria kandungan. Melalui kriteria-kriteria
tersebut akan diketahui berpotensi tidaknya suatu gua sebagai
situs arkeologi.
Waktu kegiatan : Tanggal 1 – 5 September 2008
Lokasi : Kawasan Karst Sukolilo di Pegunungan Kendeng Utara atau
Perbukitan Rembang, meliputi Desa Jimbaran, Kedungmulyo,
Kedungwinong, Sukolilo, Sumbersuko, Tompegunung
(Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah); dan Desa
Sedayu (Kecamatan Grobogan, Kabupaten Grobogan, Jawa
Timur) (Lihat Peta).
Pemilihan desa-desa di atas dilakukan secara purposif, dengan
mempertimbangkan potensi hidrologi (gua dan mataair) yang
sudah diinventarisasi sebelumnya, antara lain oleh Tim ASC
Yogyakarta. Hasil inventarisasi sementara menunjukkan bahwa
lokasi terpilih merupakan bagian inti karst yang paling kompleks
potensi dan permasalahannya, paling strategis perannya, dan
karenanya paling mendesak untuk diselamatkan.
4
D. DESKRIPSI HASIL SURVEI
Kegiatan survei selama 5 hari telah mendata 19 gua. 11 gua di antaranya sudah
dikunjungi sedangkan sisanya belum (Lihat Tabel). Delapan gua yang belum
diprioritaskan untuk dikunjungi sebagian besar berupa gua-gua vertikal dan gua-gua air
yang secara arkeologis tidak berpotensi sebagai situs hunian. Gua-gua yang dimaksud
adalah Gua Gondang, Gua Banyu, Gua Tangis, Gua Ngancar, dan Gua Telo (Desa
Sumbersuko); serta Gua Lowo (Desa Tompegunung). Sedangkan Gua Tapan (Desa
Kedungmulyo) dan Gua Gogak (Desa Kedungwinong) merupakan gua-gua horisontal dan
kering yang memungkinkan untuk dihuni, tetapi selama 5 hari di lapangan belum sempat
dikunjungi.
Pemerian di bawah ini adalah hasil pengamatan dan deskripsi terhadap 11 gua
yang telah dikunjungi, terdiri atas 2 gua di Kabupaten Grobogan dan 9 gua di Kabupaten
Pati (Lihat Peta).
Tabel Potensi Gua Kawasan Karst Sukolilo
NO NAMA JENIS DESA KEC. KAB. POTENSI ARKEOLOGI
1 G. Bandung Collapse doline Kedungwinong Sukolilo Pati Tidak potensial
2 G. Serut Horisontal, kering Kedungwinong Sukolilo Pati Tidak potensial
3 G. Kidang Ceruk Sukolilo Sukolilo Pati Potensial kandungan
4 C. Watupayung Ceruk Sukolilo Sukolilo Pati Potensial morfologi
5 G. Gogak Horisontal Sukolilo Sukolilo Pati Perlu dicek ulang
6 G. Pawon Ceruk Kedungwinong Sukolilo Pati Potensial kandungan
7 G. Gondang Horisontal, berair Sumbersuko Sukolilo Pati Tidak potensial
8 G. Banyu Horisontal, berair Sumbersuko Sukolilo Pati Tidak potensial
9 G. Tangis Vertikal Sumbersuko Sukolilo Pati Tidak potensial
10 G. Ngancar Vertikal Sumbersuko Sukolilo Pati Tidak potensial
11 G. Telo Vertikal Sumbersuko Sukolilo Pati Tidak potensial
12 G. Tapan Horisontal, kering Kedungmulyo Sukolilo Pati Perlu dicek ulang
13 G. Lowo Horisontal, berair Tompegunung Sukolilo Pati Tidak potensial
14 G. Wareh Horisontal, berair Kedungmulyo Sukolilo Pati Tidak potensial
15 G. Plemburan Horisontal, kering Kedungmulyo Sukolilo Pati Tidak potensial
16 G. Pancor A Horisontal, berair Jimbaran Sukolilo Pati Tidak potensial
17 G. Pancor B Horisontal, kering Jimbaran Sukolilo Pati Potensial kandungan
18 G. Lawa Horisontal, kering Sedayu Grobogan Grobogan Potensial morfologi
19 G. Macan Collapse doline Sedayu Grobogan Grobogan Tidak potensial
Gregorius D.K (dimodifikasi)
5
KABUPATEN GROBOGAN
Kecamatan Sedayu
1. Gua Lawa
(Foto: Gregorius D.K)
Letak Administratif : Desa Sedayu, Kecamatan Sedayu, Kabupaten Grobogan.
Letak Koordinat : UTM 49L 494608 9228945
Elevasi/lereng : 332 m.dpal/150
Deskripsi : Gua Lawa memiliki dua mulut, masing-masing menghadap ke arah
tenggara dan barat. Mulut pertama memiliki bentangan 1,85 m,
tinggi 2,5 m, dan melebar ke arah dalam. Tanah di bagian mulut
lebih tinggi 1 m dibandingkan bagian lorong, dengan kemiringan
sekitar 15°. Mulut kedua memiliki bentangan sekitar 7 m,
ketinggian tanah lebih tinggi 3 m dibandingkan dasar lorong.
Lorong Gua Lawa secara keseluruhan memiliki panjang 80-100 m,
terbagi atas dua ruangan yang dipisahkan oleh timbunan bongkah
runtuhan atap. Ruang pertama berada di sekitar mulut gua dengan
pencahayaan dan sirkulasi udara yang baik. Kondisi tanahnya
kering dengan sedimen tebal dan permukaannya relatif datar.
Ketinggian atap pada ruang pertama 2-3 m, kemudian naik 7-8 m
di bagian barat laut. Speleothem di bagian ruang ini sudah tidak
aktif.
Ruang kedua terletak lebih ke dalam dan posisinya lebih rendah
dibandingkan ruang pertama. Kondisi ruangannya lebih gelap dan
lembab, dan tanahnya pun berlumpur.
Potensi : Secara arkeologis gua ini cukup berpotensi, terutama diprediksi
melalui morfologi dan dimensi ruangannya, sedangkan indikasi
temuan arkeologinya tidak diperoleh karena tingkat gangguannya
sudah tinggi.
Potensi pariwisata sudah dikembangkan dengan membuat jalan
setapak dari semen selebar 1 m hingga ke bagian dalam gua.
6
2. Gua Macan
(Foto: Gregorius D.K)
Letak Administratif : Desa Sedayu, Kecamatan Sedayu, Kabupaten Grobogan,
Koordinat : UTM 49L 494589 9229026
(sekitar 200 m sebelah barat Gua Lawa).
Elevasi/lereng : 350 m.dpal/140
Deskripsi : Gua Macan terletak pada punggungan sebuah bukit dengan lorong
memanjang ke arah barat. Mulut gua berupa collapse doline,
dengan akses masuk menurun 15-20 m, kemiringan 30°-35°.
Lorong gua memiliki lebar 5-7 m, tinggi 7-15 m, panjang sekitar
50 m dengan aven di bagian tengah dan ujung lorong.
Potensi : Gua Macan sudah dikelola sebagai tempat wisata oleh pemerintah
daerah setempat, dengan membuat jalan selebar 1 m hingga ke
mulut gua. Potensi arkeologi tidak dijumpai di gua ini.
7
KABUPATEN PATI
Kecamatan Sukolilo
3. Gua Pancor A
(Foto: Gregorius D.K)
Letak Administratif : Desa Jimbaran, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati.
Koordinat : UTM 49L 497807 9234418
(sekitar 200 m sebelah barat Gua Lawa).
Elevasi/lereng : 46 m.dpal/30
Deskripsi : Gua Pancor A memiliki dua mulut menghadap ke barat yang salah
satunya merupakan outlet dari aliran sungai bawahtanah. Panjang
8
lorong gua yang dapat dikenali sekitar 600 m. Menurut
kepercayaan masyarakat, gua ini merupakan petilasan Mbah
Saridin (Syeh Jangkung) yang dipercaya sebagai tokoh mitologis
setempat. Petilasan tersebut berupa sumber air hangat dan sumuran
yang terdapat di dalam gua.
Potensi : Di samping sebagai sumber air yang vital bagi penduduk setempat,
potensi lain yang paling menonjol di gua ini adalah kandungan
etnografi dan wisata religinya. Hingga sekarang banyak peziarah
yang datang untuk melakukan ritual-ritual yang didasari beberapa
permohonan, di antaranya untuk penglarisan, memperoleh jodoh,
dan ngalap berkah.
Indikasi sebagai situs arkeologi tidak dijumpai, namun potensi
airnya dapat menopang kehidupan yang pernah berlangsung pada
masa lalu. Dengan demikian, gua ini dapat menjadi orientasi
ekologis bagi para pemukim purba untuk memilih lokasi
habitasinya.
4. Gua Pancor B
(Foto: Gregorius D.K)
Letak Administratif : Desa Jimbaran, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati.
Koordinat : UTM 49L 497546 9234396
(sekitar 400 m sebelah barat Gua Pancor A)
Elevasi/lereng : 44 m.dpal/30
Deskripsi : Pancor B merupakan sebuah ceruk (rockshelter) yang menghadap
ke barat, dengan bentangan mulut 20 m. Kedalaman horizontal
ruangannya 8,6 m, dan tinggi atap di bagian dripline sekitar 8 m.
Kondisi tanahnya kering dan tebal, dan terdapat bekas-bekas galian
di beberapa bagian lantainya. Pada bekas galian tersebut banyak
ditemukan ekofak organik berupa cangkang kerang, fragmen gigi,
dan fragmen tulang yang menunjukkan ciri-ciri kekunoan.
Di bagian dalam terdapat ruang pertama dengan tinggi langit-langit
1-1,5 m dari permukaan tanah. Ukuran ruangannya seluas 6,37 x
5,20 m, dan memiliki dua pintu masuk. Permukaan tanah pada
9
ruang pertama lebih tinggi 1-1,5 m dibandingkan bagian mulut
gua. Kondisi tanahnya agak basah, sirkulasi udaranya baik dan
cukup terang.
Di sisi timur ruangan pertama terdapat dua lorong yang
menghubungkannya dengan ruangan kedua. Langit-langitnya
miring ke utara, dengan ketinggian 0,5 m (sisi utara) dan 2,5 m
(sisi selatan). Permukaan tanahnya lebih tinggi 0,5 m dibandingkan
ruangan pertama. Kondisi di dalam ruangan gelap dan lembab,
tanahnya tebal tetapi basah karena ornamen di atasnya masih aktif
meneteskan air.
Potensi : Potensi arkeologinya tinggi, terbukti dengan kandungan ekofak
organik yang ada di dalam sedimennya. Ekofak yang dimaksud
berupa fragmen gigi dan fragmen tulang, serta cangkang kerang.
Salah satu temuan gigi dikenali sebagai gigi molar hewan dari jenis
Cervidae, sedangkan kerang lautnya berupa kerang bivalvia dari
Famili Veneridae dan Mytilidae. Di samping itu juga ditemukan
beberapa cangkang kerang air tawar (fresh water) bercampur
dengan kerang laut.
5. Gua Wareh
(Foto: Gregorius D.K)
Letak Administratif : Desa Kedungmulyo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati.
Koordinat : UTM 49L 495619 9234217
Elevasi/lereng : 25 m.dpal/00
Deskripsi : Gua Wareh memiliki dua mulut/lorong masing-masing menghadap
barat dan utara. Lorong yang menghadap ke barat merupakan gua
kering, sedangkan lorong yang menghadap ke utara merupakan
outlet sungai bawahtanah yang kemudian membentuk semacam
kedung di mulut gua, sebelum airnya keluar sebagai sungai
permukaan. Kedung tersebut dimanfaatkan oleh warga sekitar
untuk keperluan sehari-hari seperti mandi dan mencuci.
Panjang lorong kering 40–50 m, meninggi 5 m ke arah dalam
dengan kemiringan sekitar 20ยบ. Di ujung lorong terdapat aven yang
10
kemudian dibangun tangga dari semen sebagai jalan masuk.
Kondisi tanahnya basah dan lengket, dengan ornamen dinding dan
atap yang masih aktif.
Potensi : Meliputi potensi hidrologi dan wisata religi. Menurut masyarakat
setempat, Gua Wareh merupakan petilasan semar, gareng, petruk,
yang masih dikeramatkan hingga sekarang. Sisa-sisa sesaji berupa
bunga setaman dan kemenyan masih dijumpai di sekitar mulut gua.
Potensi arkeologinya sejauh ini tidak dijumpai.
6. Gua Plemburan
(Foto: Gregorius D.K)
Letak Administratif : Desa Kedungmulyo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati.
Koordinat : UTM 49L 495656 9234408
(sekitar 400 m sebelah barat Gua Pancor A)
Elevasi/lereng : 25 m.dpal/00
Deskripsi : Gua ini menghadap ke arah baratlaut (230°), memiliki sebuah
ruangan berupa lorong selebar 10 m, panjang 15 m, dan tinggi
langit-langit 6-7 m. Lantai gua berupa flowstone dan tidak
memiliki sedimen tanah. Ketinggian lantai di bagian dalam hampir
sejajar dengan lantai di bagian depan gua. Kondisi gua kering, sisa
ornamen berupa stalaktit di bagian mulut juga sudah tidak aktif.
Potensi : Saat ini ruangan gua dimanfaatkan penduduk setempat untuk
menyimpan peralatan pertanian. Potensi etnografi dapat dijumpai,
berupa kepercayaan lokal bahwa gua ini masih memiliki kaitan
dengan Gua Wareh, yaitu sebagai petilasan Punokawan sehingga
tetap dikeramatkan. Tidak ada indikasi arkeologi yang dijumpai.
11
7. Gua Pawon
(Foto: Gregorius D.K)
Letak Administratif : Desa Kedungwinong, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati.
Koordinat : UTM 49L 489420 9232914
Elevasi/lereng : 59 m.dpal/190
Deskripsi : Gua Pawon terletak di lereng atas tebing dengan beda tinggi dari
dasar lembah 20-25 m, kemiringan lereng 35°-40°, dengan arah
hadap mulut ke barat (240°). Vegetasi di depan gua jarang
sehingga tanahnya mudah longsor. Pada endapan koluvial di depan
gua ditemukan beberapa ekofak organik berupa fragmen cangkang
kerang laut, fragmen tulang, dan fragmen gigi Bovidae. Sisa-sisa
runtuhan atap banyak dijumpai di sepanjang tebing hingga dasar
lembah. Ada kemungkinan gua ini dahulunya memiliki atap yang
panjang, yang kemudian runtuh hingga tinggal menyisakan lorong
yang pendek.
Bentangan mulut gua selebar 5 m dengan kedalaman sisi
horisontalnya 7,5 m, dan ketinggian sisa atap dari lantai gua 2,8 m.
Kondisi lantai rata, terbentuk oleh endapan tanah yang kering dan
tidak begitu tebal. Beberapa speleothem yang dijumpai sudah tidak
aktif lagi.
Potensi : Gua ini memiliki potensi arkeologi sebagai bekas situs hunian,
meskipun morfologinya sudah banyak mengalamami degradasi.
12
8. Gua Bandung
(Foto: Gregorius D.K)
Letak Administratif : Desa Kedungwinong, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati.
Koordinat : UTM 49L 490078 9232543
Elevasi/lereng : 100 m.dpal/190
Deskripsi : Gua Bandung berupa collapse doline dengan dua lorong di bagian
bawah yang saling berhadapan, masing-masing menghadap
tenggara (155°) dan timurlaut (30°). Lorong timurlaut berukuran
kecil karena sebagian besar tertutup runtuhan atap, sedangkan
lorong satunya berukuran lebih besar. Kondisi di dalamnya lembab
dengan lapisan tanah yang basah dan berlumpur, disebabkan oleh
masuknya limpasan air pada saat hujan.
Potensi : Potensi arkeologi tidak dijumpai di gua ini.
9. Gua Serut
(Foto: Gregorius D.K)
Letak Administratif : Desa Kedungwinong, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati.
Koordinat : UTM 49L 490125 9232190
Elevasi/lereng : 150 m.dpal/210
Deskripsi : Gua Serut berada di lereng tengah sebuah tebing dengan pintu
menghadap ke timur, yaitu ke sebuah lembah dengan beda tinggi
terhadap dasar lembah sebesar 10-15 m. Bentangan mulut gua 8 m,
13
tinggi 6 m, permukaan tanah di dalam lorong gua lebih rendah
dibandingkan bagian mulut, dengan kemiringan sekitar 15°. Pada
kedalaman horisontal 15 m, lorong ini bertemu dengan lorong lain
yang membujur utara-selatan.
Kondisi lantai di sekitar mulut gua bergelombang, diakibatkan oleh
adanya beberapa bekas galian dan timbunan tanah. Di bagian
sekitar mulut kondisi lantainya kering, semakin ke dalam semakin
lembab. Di bagian dalam lorong masih dapat dijumpai speleothem
yang aktif.
Potensi : Tidak ditemukan indikasi arkeologi.
10. Gua Kidang
(Foto: Gregorius D.K)
Letak Administratif : Desa Sukolilo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati.
Koordinat : UTM 49L 492112 9234082
Elevasi/lereng : 52 m.dpal/240
Deskripsi : Gua Kidang merupakan ceruk di bagian lereng atas tebing, dengan
ketinggian sekitar 80 m dari dataran di bawahnya. Mulut ceruk
menghadap ke utara (330°), yaitu ke dataran aluvial yang luas. Di
lokasi ini terdapat dua ceruk yang berjajar timur-barat.
Ceruk timur memiliki bentangan mulut 19,5 m, kedalaman
horisontal 8 m, tinggi atap 4-7 m. Sebagian atap bagian depan
ceruk telah runtuh, sehingga tanah di bagian depan mulut banyak
tererosi dan longsor oleh air hujan. Kondisi lantai ceruk kering,
tersusun oleh sedimen tanah yang tebal, dan banyak terkandung
fragmen cangkang kerang laut dan fragmen tulang fauna. .
Di bagian dalam ceruk terdapat ruang kedua seluas 3,6 x 8,5 m,
terhubung dengan ruang pertama melalui semacam lorong dengan
lebar 1,7 m dan tinggi 2,15 m. Ketinggian tanah di ruang ini lebih
tinggi 0,5 m dibandingkan ruang pertama. Kondisi tanahnya juga
kering, tebal, dan banyak terdapat bongkah runtuhan atap.
14
Ceruk barat berada pada jarak 6 m dari ceruk timur, dengan
bentangan mulut 6,5 m, kedalaman horizontal ruangannya 7,5 m,
dan tinggi langit-langit 4 m. Kondisi tanahnya datar, kering,
dengan sedimen tebal. Pada permukaannya banyak dijumpai
ekofak organik berupa fragmen cangkang kerang laut dan fragmen
tulang.
Potensi : Dimensi, morfologi, dan indikasi temuan ekofak di gua ini
menunjukkan bahwa potensinya sebagai situs arkeologi sangat
tinggi.
11. Ceruk Watupayung
(Foto: Gregorius D.K)
Letak Administratif : Desa Sukolilo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati.
Koordinat : UTM 49L 491903 9233770
Elevasi/lereng : 75 m.dpal/00
Deskripsi : Ceruk Watupayung berada di lembah yang memanjang barat-timur,
dengan arah hadap selatan. Bentangan ceruk sekitar 52 m, atap
yang menggantung selebar 7 m dengan tinggi 18 m dari permukaan
tanah. Terdapat sisa-sisa runtuhan atap di sebelah timur. Kondisi
permukaan tanah umumnya kering dan miring ke sisi timur dengan
sedimen tanah yang tebal.
Potensi : Potensi yang dijumpai di gua ini berupa potensi wisata religi,
karena gua ini masih dikeramatkan dan sering digunakan untuk
bertapa. Bahkan sudah dibuatkan beberapa fasilitas untuk
kepentingan tersebut, berupa bangunan tempat semedi dan lantai
yang sudah di semen.
Potensi arkeologi berupa temuan permukaan tidak diperoleh, tetapi
morfologi dan dimensi ceruk memungkinkan untuk dimanfaatkan
sebagai tempat hunian sementara.
15
E. PEMBAHASAN
1. Kawasan Arkeologis Sukolilo
Hasil survei pada tahap awal ini membuktikan bahwa Kawasan Karst Sukolilo,
seperti halnya kawasan karst lain yang sudah banyak diteliti, merupakan kawasan yang
mengandung nilai kultural penting. Hal ini tampak dari beberapa gua dan ceruk yang
memiliki potensi arkeologi tinggi, baik dikaji melalui aspek morfologi, lingkungan,
maupun indikasi temuan permukaannya. Indikasi yang dimaksud berupa data ekofak
organik yang terdiri atas fragmen tulang, gigi, dan cangkang kerang baik yang berasal
dari lingkungan marin maupun non-marin (darat dan air tawar).
Di dalam kajian arkeologi dikenal sedikitnya tiga bentuk data, yaitu artefak
(artifact), ekofak (ecofact), dan fitur (feature) (Sharer & Ashmore, 1992). Artefak adalah
data yang berupa perkakas atau sisa perkakas buatan manusia. Adanya ciri-ciri tertentu
yang menunjukkan bahwa suatu benda pernah diubah atau dibuat oleh manusia, baik
untuk fungsi praktis, fungsi seni dan religi, maupun fungsi sosial, merupakan kriteria
penting untuk menyebut sebuah temuan sebagai artefak. Berbeda dengan artefak yang
mengandung makna teknologis, ideologis, dan sosiologis, maka ekofak lebih bermakna
ekologis. Data yang dikategorikan sebagai ekofak tidak memiliki ciri-ciri ubahan secara
sengaja untuk menciptakan perkakas, tapi dapat berupa limbah atau sisa aktivitas. Bahkan
objek-objek yang tidak pernah berhubungan dengan aktivitas manusia, tetapi dapat
dipakai sebagai bahan untuk menjelaskan kondisi suatu budaya atau lingkungan masa
lalu, dapat dikategorikan sebagai ekofak. Adapun yang dimaksud dengan fitur adalah
gejala-gejala di permukaan atau di dalam tanah yang menunjukkan anomali tertentu, dan
dapat digunakan sebagai referensi untuk mengungkapkan kondisi suatu budaya atau
lingkungan masa lalu, termasuk di dalamnya untuk menjelaskan bagaimana deposit
budaya terbentuk di dalam lapisan sedimen.
.Pada umumnya, temuan yang dijumpai pada survei permukaan di situs-situs gua
berupa ekofak, khususnya ekofak organik, meskipun tidak tertutup kemungkinan
ditemukannya pula data artefak. Pada beberapa kasus, sisa-sisa tulang hewan atau
cangkang kerang yang ditemukan di suatu situs bukan lagi berupa data ekofak, namun
sudah dapat dikategorikan sebagai artefak karena sudah ada unsur-unsur pengerjaan oleh
manusia. Sebagai contoh adalah fragmen cangkang kerang yang dipertajam untuk
membuat serut, atau fragmen tulang yang dipertajam untuk lancipan, mata panah, pisau,
atau benda-benda seni. Namun karena kondisi permukaannya umumnya sudah
tersementasi oleh endapan karbonat, maka ciri-ciri yang dimaksud sulit dikenali. Dengan
kata lain, masih diperlukan analisis lebih lanjut untuk menggolongkan suatu temuan dari
situs gua sebagai artefak, baik secara magaskopis ataupun mikroskopis.
Uraian di atas dimaksudkan untuk memberikan penekanan, bahwa ditemukannya
data ekofak di suatu gua dapat dipakai sebagai petunjuk awal bahwa gua tersebut pantas
diduga sebagai situs arkeologi. Apalagi jika ekofak organik tersebut berupa sisa fauna
yang habitatnya bukan dari lingkungan gua, tetapi dari lingkungan ekologis yang
berbeda. Contoh paling jelas mengenai hal ini adalah ditemukannya cangkang-cangkang
kerang laut di suatu gua yang lokasinya relatif di pedalaman. Asumsi bahwa cangkang
kerang tersebut diambil oleh manusia dari habitatnya dan dibawa ke dalam lokasi
huniannya untuk dikonsumsi dagingnya, atau untuk membuat perkakas tertentu, dapat
16
menguatkan anggapan bahwa gua-gua yang mengandung temuan ekofak tersebut adalah
bekas lokasi hunian manusia.
Data di atas tentunya bukan satu-satunya indikator bahwa suatu gua adalah situs
arkeologi. Kriteria lain perlu dipertimbangkan, misalnya layak dan tidaknya gua-gua
tersebut dijadikan lokasi hunian. Oleh karena itu, kriteria morfologi dan dimensi gua juga
perlu dipertimbangkan. Demikian pula kondisi atau dayadukung lingkungan sekitar gua
yang menjadikan para penghuninya dapat eksis untuk tinggal dan hidup di lingkungan
tersebut. Sebagai contoh adalah kedekatannya dengan sumberair, baik itu mataair, sungai,
atau telaga; ketersediaan fauna untuk diburu, atau kondisi lahan yang memungkinkan
untuk mengembangkan aktivitas-aktivitas di tempat terbuka.
Berdasarkan kriteris-kriteria di atas, yaitu morfologi gua, kondisi lingkungan, dan
adanya indikasi permukaan berupa artefak, ekofak, ataupun fitur, maka beberapa gua
kering (dry caves) di Kawasan Karst Sukolilo merupakan situs arkeologi, yaitu sebagai
bekas gua hunian manusia. Gua-gua yang dimaksud ada lima buah, yaitu (Lihat Peta):
a. Gua Kidang : Desa Sukolilo, Kec. Sukolilo, Kab. Pati
b. Gua Watupayung : Desa Sukolilo, Kec. Sukolilo, Kab. Pati
c. Gua Pawon : Desa Kedungwinong, Kec. Sukolilo, Kab. Pati
d. Gua Pancor B : Desa Jimbaran, Kec. Sukolilo, Kab. Pati
e. Gua Lawa : Desa Jimbaran, Kec. Grobogan, Kab. Gobogan
Berdasarkan kualitas sampel dari lima gua di atas, maka Kawasan Karst Sukolilo
dapat disebut sebagai salah satu kawasan arkeologis penting di bagian utara Jawa Tengah
yang perlu dilindungi, diselamatkan dari berbagai tindakan degradatif, dan dikaji lebih
mendalam untuk kepentingan ilmiah dan kesejahteraan masyarakat setempat. Dalam
skala meso, Kawasan Karst Sukolilo adalah sebuah kawasan yang ikut merekam buktibukti
kehadiran manusia prasejarah di wilayah utara Jawa Tengah. Kehadiran mereka
tentunya didukung sumberdaya setempat yang memungkinkan mereka untuk hidup.
Sumberdaya terpenting yang juga teramati melalui hasil survei ini terutama sumberdaya
air, flora, dan fauna. Hingga kini, ketiga sumberdaya lahan ini tetap memiliki arti penting
bagi masyarakat setempat, yaitu masyarakat Samin yang tinggal di daerah Pati,
Grobogan, dan sekitarnya. Kedekatan mereka dengan lingkungan karst Sukolilo telah
mampu menghasilkan suatu kearifan lokal dalam bentuk pemanfaatan sumberdaya
lingkungan secara arif dan tidak berlebihan. Bersamaan dengan upaya pemanfaatan
tersebut, berkembang pula pemaknaan lokal untuk melindungi aset lingkungan mereka
melalui bentuk-bentuk mitos dan pantangan/tabu sebagai bentuk penghormatan terhadap
alam dan sumberdayanya. Beberapa dari gua-gua yang dikeramatkan ternyata berupa
gua-gua sumberair yang telah menghidupi mereka. Gua-gua tersebut adalah Gua Pancor
A di Desa Jimbaran dan Gua Wareh di Desa Kedungmulyo. Meskipun keduanya bukan
situs arkeologi, namun secara kontekstual atau morfoasosiasi telah menjadi panduan bagi
para pemukim purba untuk menentukan lokasi-lokasi hunian di sekitarnya.
2. Kawasan Arkeologis Sukolilo dalam Kajian Makro
Bagian utara Jawa Tengah sebagian besar tersusun atas bentangalam tua yang
dicirikan oleh tinggian-tinggian dan depresi dengan konfigurasi yang khas. Di bagian
selatan terdapat Punggungan Kendeng membujur barat – timur mulai daerah Ungaran
hingga ujung timur Jawa. Di sebelah barat Ungaran, Pegunungan Serayu Utara membujur
17
ke barat seolah meneruskan jalur Kendeng di sebelah timurnya. Di sebelah utara Kendeng
dijumpai dataran aluvial dengan Sungai Lusi mengalir di bagian tengahnya. Secara
genetis dataran ini adalah sebuah depresi antar pegunungan yang dikenal sebagai
Randublatung, yang memisahkan Punggungan Kendeng di selatan dengan Perbukitan
Rembang di utaranya. Di utara Perbukitan Rembang, terdapat dataran aluvial berikutnya
yang langsung berbatasan dengan pesisir Laut Jawa dan Kompleks Muria di bagian barat.
Sekilas gambaran di atas, menegaskan bahwa bagian wilayah Jawa Tengah ini
memiliki peran penting dalam proses migrasi purba di Jawa. Bahkan dapat disimpulkan
bahwa Jalur Utama kolonisasi Homo erectus di Jawa telah mengikuti Pegunungan Serayu
Utara dan Punggungan Kendeng, dari arah barat ke timur. Jejak-jejak mereka antara lain
terekam di situs-situs manusia purba Sangiran, Sambungmacan, Trinil, Ngandong,
Kedungbrubus, dan Jetis-Perning, yang terletak di sayap selatan Kendeng (Yuwono,
2005a). Temuan fosil-fosil di daerah Mranggen (Demak), pada bukit-bukit terisolasi di
sebelah utara Kendeng (Bukit Dieng dan Bukit Rowosari) (Yuwono, 2004a, 2005b), Situs
Semedo di jalur Pegunungan Serayu Utara daerah Tegal, dan Bukit Patiayam, semakin
menguatkan hipotesis ini.
Permasalahannya adalah, dari manakah para penghuni situs-situs gua di kawasan
karst Gunung Sewu dan Tuban berasal? Jawaban sementara adalah, bahwa telah terjadi
percabangan ke dua arah dari jalur utama Kendeng. Ke selatan melalui Gunung Wilis Tua
masuk ke Gunung Sewu, dan ke utara memasuki Perbukitan Rembang yang sebagian
besar bertopografi karst. Jalur utara ini sementara telah terlacak di Kawasan Karst Tuban
dan Blora dengan situs-situs gua karstnya (Yuwono, 2005). Meskipun pengujian secara
kronometrik belum dilakukan, dan lebih banyak mempertimbangkan aspek fisiografi,
distribusi situs, serta pertanggalan relatif, namun sejauh ini belum pernah ada koreksi
terhadap hipotesis di atas.
Ditemukannya potensi arkeologi di Kawasan Karst Sukolilo, justru merupakan
peluang untuk memperkaya hipotesis di atas, sehingga dinamika pergerakan Homo
sapiens setelah keluar dari jalur Kendeng dapat digambarkan. Tentu saja dibutuhkan data
pertanggalan terukur dan pemahaman konteks temuan situs melalui ekskavasi di beberapa
gua kawasan Sukolilo.
Periode penghunian gua di beberapa kawasan karst memang merupakan fenomena
kultural yang sangat khas, berbeda dengan periode-periode hunian sebelum dan
sesudahnya. Ciri menonjol mengenai hal ini adalah adanya perubahan dari kehidupan
open site -- cave site – open site. Pada kasus Jawa Tengah bagian utara, pergeseran
tersebut berlangsung dari Punggunggan Kendeng – Perbukitan Rembang – Datarandataran
Aluvial. Dengan demikian, hunian di kawasan karst merupakan salah satu mata
rantai untuk merunut sejarah panjang okupasi manusia terhadap lingkungannya. Periode
ini berlangsung kira-kira pada Pleistosen Akhir hingga Holosen Awal dan Pertengahan.
Sebagai perbandingan, di wilayah Asia Tenggara, khususnya di Thailand,
penghunian gua telah berlangsung dalam tiga tahap. Tahap pertama, pada 40.000 –
11.000 BP (Pleistosen), gua-gua digunakan secara sporadis dan hanya dihuni sementara
(temporary campsites). Para penghuni gua mulai menggunakan api, mengenal bendabenda
seni, dan mengkonsumsi makanan dari hewan atau tumbuhan; Tahap kedua,
11.000 – 6.500 BP (Holosen Awal), beberapa gua mulai diokupasi dalam jangka waktu
lebih lama, sehingga memungkinkan terbentuknya timbunan-timbunan sampah dan sisasisa
aktivitas, termasuk deposit penguburan pada tempat-tempat tertentu di dalam gua;
18
Tahap ketiga, 6.500 – 3.500 BP (Holosen Tengah), fungsi gua telah bergeser dari lokasi
hunian menjadi tempat penguburan. Sejak pertengahan Holosen pula, pemanfaatan
dinding gua sebagai media pengekspresian seni mulai berkembang (Anderson, 2005).
Apakah tahap-tahap di atas juga berlangsung di tempat-tempat lain, termasuk di gua-gua
kawasan Sukolilo? Hal ini memerlukan kajian lebih mendalam.
F. PENUTUP
Kawasan Karst Sukolilo merupakan kawasan karst yang relatif baru dikenal.
Namun demikian, data arkeologi permukaan yang baru teramati dalam waktu singkat,
sudah menunjukkan bahwa kandungan temuan di dalam tanah cukup besar. Apalagi
beberapa gua memiliki morfologi dan lingkungan yang sangat mendukung suatu bentuk
hunian purba. Oleh karena itu, survei lanjutan dan ekskavasi di kawasan ini sangat
diperlukan untuk menggali informasi lebih dalam tentang posisi arkeologis dan strategis
kawasan ini, bagi kepentingan ilmiah maupun kemanusiaan.
Ucapan Terima Kasih:
PEKINDO dan Bapak Hanang Samodra, atas
kesempatan yang telah diberikan untuk mengenal dan
menyelami Kawasan Karst Sukolilo.
G. DAFTAR BACAAN
Anderson, D., 2005, “The Use of Caves in Peninsular Thailand in the Late Pleistocene and Early
and Middle Holocene”, Asian Perspectives 44 (1), The University of Hawai’i Press,
Spring, p.137-153.
Sharer, R.J. and W. Ashmore, 1992, Archaeology: Discovering Our Past, 2nd edition, Mayfield
Publishing Co., California.
Suhartono, D., 2000, “Site Catchment Analysis pada Penghunian Gua di Kawasan Tuban”,
Skripsi, Jurusan Arkeologi UGM, Yogyakarta.
Sutikno, D.A. Tanudirjo, 2006, ”Kajian Geoarkeologi Kawasan Gunungsewu sebagai Dasar
Pengembangan Model Pelestarian Lingkungan Karst”, Laporan Hasil Penelitian -
Hibah Penelitian Tim Pascasarjana – HPTP Tahun 2006, Dirjendikti, Depdiknas -
UGM, Yogyakarta.
Yuwono, J.S.E, 2004, “Arkeologi Karstik dan Metode Penelusuran Potensi Kawasam: Introduksi
tentang Model Penerapannya di Gunung Sewu”, Pendidikan dan Pelatihan Scientific
Karst Exploration Tingkat Nasional, Rasamala KPA Sylvalestari dan Lawalata IPB,
Bogor, 10-13 April 2004.
----------, 2004a, “Posisi Geoarkeologis Temuan Artefak dan Fosil di Kecamatan Mranggen,
Kabupaten Demak, Propinsi Jawa Tengah”, Seminar Hasil Penelitian dengan Dana
Masyarakat 2004, Unit Pengkajian dan Pengembangan FIB UGM, Yogyakarta, 23
Oktober 2004.
----------., 2005, “Kawasan Karst Perbukitan Rembang dan Potensi Arkeologisnya”, Makalah
untuk laporan penelitian tentang Pola Okupasi Gua-gua Hunian Prasejarah Kawasan
Pegunungan Kendeng di Kab. Blora dan Rembang, Balai Arkeologi, Yogyakarta.
19
----------., 2005a, “Paleogeografi Pegunungan Selatan Jawa dan Implikasinya terhadap
Penyusunan Hipotesis tentang Migrasi Lokal Komunitas Prasejarah di Jawa Bagian
Timur, dalam Sumijati As dan Sumarsono (ed), 2005, Potret Transformasi Budaya di
Era Global, Unit Pengkajian dan Pengembangan FIB UGM, Yogyakarta, hlm.142-163.
----------., 2005b, “Potensi Fosil di Wilayah Jawa Tengah: Nilai Penting dan Tantangannya”,
Lokakarya Permuseuman: Peranan Museum dalam Pembentukan Jati Diri
Masyarakat, Ungaran, Museum Jawa Tengah Ronggowarsito, 18-19 Juli 2005.

Perdebatan Kausalitas Gerakan Samin

Perdebatan Kausalitas Gerakan Samin

Oleh: Agus Budi Purwanto



Pada akhir bulan November 1885, seorang Kontrolir di Pulung, Karesidenan Madiun terselamatkan dari amuk masa. Hanya saja, rumahnya hancur lebur. Pemerintah telah menaikan pajak tanah sebesar 10 persen dan akan naik lagi untuk tahun-tahun sesudahnya. Masyarakat desa marah, kemudian mengadu ke Carik (sekretaris) desa Patik. Selanjutnya Carik dijadikan Ratu baru oleh penduduk desa dengan gelar "Pangeran Lelono". Bersama pangeran Lelono, massa mengamuk. Huru-hara tersebut hanya berlangsung sehari saja kemudian berhenti. Pengamanan berhasil dilakukan, dan tidak ada korban se-nyawa pun.
Hari senin bersejarah di Cilegon. Tiga tahun setelah peristiwa di Pulung, tepatnya 9 Juli 1888, Haji Tubagus Ismail dan Haji Wasid memimpin murid dan petani menyerang punggawa kolonial. Cilegon, sebagai ibu kota afdeling Anyer menjadi sentra kediaman para pejabat Eropa dan pribumi yang meliputi asisten residen, kontrolir muda, patih, wedana, jaksa, asisten wedana, dan ajun kolektor. Haji Ismail dan Haji Wasid sepakat, pemberontakan dimulai di Cilegon. Rumah Dumas (seorang juru tulis) digedor empat orang, Dumas lari bersembunyi di rumah jaksa tetangganya, kemudian dini hari (senin) pindah ke Tan Keng Hok, ditempat itu Dumas tewas bersama sang tuan rumah. Patih juga kena sasaran, ia dikenal acuh terhadap kegiatan keagamanan serta keras dalam menjalankan aturan kolonial, namun ia sedang pergi ke serang. Wedono juga didatangi pemberontak, demikian halnya jaksa dan ajun kolektor. Asisten residen juga, semuanya terjadi pada hari itu, hari bersejarah, hari senin.
Setahun sesudahnya, tanggal 7 Februari 1889, di Blora, perkampungan di tengah hutan, seorang tokoh desa bernama Samin berpidato di depan masyarakat. Isi pidatonnya cuma seringkas ini: “tanah ini milik kalian, karena sudah di wariskan Pandawa lalu ke raja-raja Jawa. Belanda tidak punya se-nyari-pun (seujung kuku) tanah di sini.” Ia hanya berpidato.
Untuk kasus di Pulung, Onghokham bilang: tidak faktor milenarisme, apa lagi tidak ada mesias dalam pandangan hidup orang Jawa (Subangun). Onghokham meyimpulkan ini soal beban pajak yang tinggi. Menurut Sartono Kartodirdjo, faktor-faktor kausalitas pemberontakan "senin" itu berkisar pada tradisi berontak, ketersingkiran politis, penetrasi agama, pemimpin revolusioner, alat organaisasi (nativisme Kasultanan Banten). Menurut Benda & Castles, Samin berpidato juga karena pajak dan akses tanah serta kayu (hutan). Akhir abad XIX, pedesaan jawa kisruh karena Pajak, puncak penderitaan (Kerja wajib, tanam paksa, liberalisasi perkebunan), serta ramalan joyoboyo ratu adil. Kisruhnya karena hal sama yakni kebencian pada polah tingkah negara kolonial. Mereka pingin merubah keadaan, dengan senjata, dengan pidato. Kita dapat melakukan hal yang sama, setidaknya dengan cara kedua atau dengan cara ketiga: menulis pidato!
Pada masanya (1880-an), perlawanan pedesaan terjadi di dua tempat yakni Cilegon dan Pulung. Keduanya memperlihatkan perlawanan fisik yang menimbulkan korban jiwa di antara kedua belah pihak yakni pejabat kolonial Belanda dan pribumi. Bagaimana menjelaskan perlawanan tanpa kekerasan yang dilakukan Samin Surosentiko beserta pengikutnya? Pertanyaan inilah yang menimbulkan banyak spekulasi. Pertama, jika ditilik dari jumlah pengikut yang pada tahun 1905 berjumlah 3000 orang, maka perlawanan fisik sangat dimungkinkan, namun ternyata tidak terjadi. Kedua, jika runutan sejarah perlawanan masyarakat di sekitar Blora, cenderung menggunakan kekuatan fisik berupa perlawanan bersenjata, misalnya: noyo gimbal, dan maling kentiri. Namun Samin Surosentiko tidak melakukan perlawanan bersenjata seperti halnya pendahulunya.
Hal yang mirip dilakukan oleh Samin Surosentiko adalah perlawanan yang dilakukan oleh Mahatma Gandhi di India. Narasi yang kita terima saat ini tentang perlawanan Mahatma Gandhi, selalu di dominasi oleh nilai-nilai yang diperjuangkan Mahatma Gandhi dalam perlawanannya. Namun, penjelasan perihal sejarah perlawanan Samin Surosentiko tidak
HTTP://AGUSBUDIPURWANTO.WORDPRESS.COM/2010/09/22/KAUSALITAS-GERAKANSAMIN/
Page2
banyak yang menyinggung soal nilai-nilai yang diperjuangkan, melainkan soal obyek sengketa serta deskripsi pihak yang bersengketa. Narasi ini juga mendominasi dalam penjelasan kausalitas gerakan Samin.
Geger Samin atau gerakan Samin dimulai pada 7 Februari tahun 1889 ketika Samin Surosentiko pertama kali berbicara di depan pengikutnya di oro-oro ii dusun Bapangan, kabupaten Blora. Pada malam hari, dengan diterangi obor, Samin Surosentiko mengumpulkan pengikutnya di sekitar Bapangan dan mengkampanyekan gerakan berdirinya kerajaan Jawa. Setahun setelah pidatonya di Bapangan, pada tahun 1889, Samin Surosentiko mendirikan perguruan Adam atau Paguron Adam di desa Klopoduwur, kabupaten Blora. Orang-orang desa di sekitarnya banyak yang datang berguru kepadanya. Pada waktu itu pemerintah Hindia Belanda belum tertarik pada ajaran Samin, sebab ajaran itu masih dianggap sebagai ajaran kebatinan atau agama baru yang tidak mengganggu keamanan.
Menurut Suripan Sadi Hutomo, Samin dan para pengikutnya mengidentifikasikan diri sebagai penganut Agama Adam atau The Religion of Adam, sebuah agama kawitan (baca: permulaan) yang mengutamakan hubungan baik dengan Alam dan hubungan bagi antar sesama manusia. Kitab sebagai pedoman agama ini adalah Jamuskalimasada yang terdiri dari 5 buku: Serat Punjer Kawitan, Serat Pikukuh Kasajaten, Serat Uri-uri Pambudi, Serat Jati Sawit, dan Serat Lampahing Urip (Hutomo, 1996: 11-40). Pada lima serat inilah perjalanan spiritualitas Samin dan pengikutnya disandarkan. Manifestasi agama Adam terlihat dalam prinsip hidup sehari-hari. Dalam hubungan sosialnya, Samin menganggap semua orang adalah saudara, sinten mawon kulo aku sedulur (Nurudin dkk, 2003: 55-60). Sedangkan terhadap alam, mereka memiliki prinsip lemah podo duwe, banyu podo duwe, kayu podo duwe, artinya tanah, air, dan kayu menjadi milik bersama.
Perdebatan Kausalitas
Secara umum, pengertian kausalitas dalam kajian sejarah dapat disejajarkan dengan istilah “sebab”. Kata “sebab” lazimnya diperuntukkan untuk menjawab pertanyaan mengapa sebuah peristiwa sejarah terjadi. Selanjutnya, menjelaskan penyebab juga mensyaratkan “keterangan” atas peristiwa sejarah. Maka dalam menjelaskan sebab, maka dapat dipergunakan “keterangan” historis. Oleh karena itu, menurut Ankersmit, pengertian “sebab” dapat dipahami menurut dua macam arti yakni menurut metode eksplanasi sejarah Coverage Law Models (CLM) dan metode eksplanasi sejarah Hermeneutic (Ankersmit, 1987: 191-192).
Pertama, eksplanasi sejarah CLM melihat kausalitas sebuah peristiwa tertentu serta memperbandingkannya dengan kausalitas peristiwa yang lain, sehingga ditemukan konsekuensi-konsekuensi yang sama dengan pola-pola umum yang telah tercipta. Atau dengan analisa kausalitas kedua peristiwa sejarah, kemudian membuat kausalitas umum yang baru. Ataupun analisa lebih kronologis, misalnya: sebab sebuah peristiwa P ialah sebuah peristiwa lain, O, dan ini demikian rupa, sehingga deskripsi mengenai kedua peristiwa itu dapat dikaitkan oleh sebuah pola hukum umum pula.
Kedua, eksplanasi sejarah Hermeneutic. Penyebab suatu peristiwa ialah intensi atau motif seorang pelaku historis yang mengakibatkan peristiwa itu terjadi. Kecenderungan eksplanasi sejarah yang kedua ini cukup mengakomodasi keunikan sebuah peristiwa sejarah, bahwa waktu dan tempat atau dimensi temporal dan spasial sebuah peristiwa sejarah sama sekali unik dan sekali terjadi. Eksplanasi model ini menghindari semaksimal mungkin pengandaian pola-pola umum dalam perilaku menyejarah manusia. Hal ini didasarkan pada keunikan manusia sebagai makhluk yang dinamis, berkembang, berubah, serta memiliki pertimbangan-pertimbangan yang terkadang tidak terduga.
Harry J. Benda dan Lance Castles, Victor King, serta Pieter Korver telah meneliti kausalitas gerakan Samin. Hasil penelitian mereka dapat dilihat dalam jurnal KITLV edisi 125, 129, 132, dan 133. Eksplanasi sejarah Gerakan Samin dalam rangkaian seri jurnal
HTTP://AGUSBUDIPURWANTO.WORDPRESS.COM/2010/09/22/KAUSALITAS-GERAKANSAMIN/
Page3
tersebut kendati memperhatikan dengan sungguh-sungguh keunikan gerakan Samin di beberapa wilayah, namun semuanya mengarah pada penyimpulan hukum-hukum umum atas kausalitas Gerakan Samin. Berikut beberapa ringkasan dari pendapat mereka sekaligus perdebatan di antaranya.
Harry J. Benda dan Lance Castles menyatakan bahwa kausalitas gerakan Samin adalah berlatarbelakang faktor ekonomi. Demikian, sehingga penyebab pertama dan utama atas gerakan Samin awal yakni beban pajak serta intervensi pemerintah kolonial dalam bidang kehutanan melalui peraturan kehutanan (Benda & Castles, 1969: 219). Mereka menggunakan Laporan J.E. Jasper sebagai referensi utama. iii1 Berdasarkan laporan dari Jasper, pada tahun 1916 pengikut Samin sudah berjumlah 2.305 kepala keluarga, tersebar di beberapa daerah, meliputi: 1.701 kepala keluarga di Blora, 283 kepala keluarga di Bojonegoro, dan selebihnya tersebar di Pati, Rembang, Grobogan, Ngawi, dan Kudus.
Melihat tempat kelahiran Samin di wilayah Randublatung, Blora yang memiliki konstruksi tanah batu berkapur, serta penyebaran ajaran Samin di sekitarnya wilayah tersebut yang memiliki kondisi alam relatif sama, maka hal tersebut mencirikan tingkat kesejahteraan petani yang lebih rendah dibandingkan dengan daerah-daerah yang lain.
Beberapa fakta tentang semakin beratnya beban ekonomi masyarakat Samin disebutkan misalnya ketika pemerintah Hindia Belanda mendatangkan kerbau dari Bengal atau Bangladesh, masyarakat Samin diharuskan menyerahkan uang 5 sampai 10 gulden. Dan sering kali masyarakat Samin masih diminta untuk menyerahkan tenaga untuk bekerja bagi pemeliharan kerbau tersebut, tanpa dibayar. Hal ini mengurangi waktu bekerja masyarakat Samin dalam kehidupan bertani sehari-hari di sawahnya masing-masing. Selain itu, di beberapa desa dilakukan pengurangan luasan terhadap tanah-tanah komunal yang dikerjakan bergilir oleh para petani. Perngurangan tersebut tidak termasuk tanah bengkok milik pejabat desa.
Sementara dalam sektor kehutanan, pembatasan akses masyarakat terhadap hutan dimulai sejak Daendels berkuasa di Jawa. Sejak saat itu, hutan menjadi milik Negara Kolonial. Pengelelolaan hutan dilakukan oleh negara melalui sebuah lembaga yang bernama Boschwezen. Masyarakat sudah mulai dibatasi aksesnya terhadap hutan dengan harus mengurus ijin ketika akan menebang pohon. Kemudian pada tahap selanjutnya, pembatasan tersebut semakin jelas ketika muncul peraturan kehutanan pertama tahun 1865 serta disusul oleh Undang-Undang Agraria tahun 1870 yang memisahkan secara tegas, di mana lahan masyarakat berakhir dan kawasan hutan di mulai.
Peraturan-peraturan kehutanan tersebut telah membatasi hubungan antara masyarakat dengan hutannya. Samin dan pengikutnya tidak terkecuali terkena dampak tersebut. Mengingat Samin dan pengikutnya menyandarkan hidup pada pertanian dan kehidupan berhutan. Wilayah yang paling dipengaruhi oleh sistem baru ini, pertama-tama adalah wilayah Blora dan Grobogan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Benda dan Castles berikut ini:
“Tidak ada wilayah yang lebih dipengaruhi oleh inovasi kehutanan ini melainkan wilayah Blora dan Grobogan. Hingga pada tahun 1918, hampir semua hutan di kedua wilayah ini telah menjadi Houtvesterijen (Houtvesterij). Inovasi pengelolaan hutan tersebut menjadi pusat sumber pendapatan bagi pemerintah kolonial Belanda.”(Ibid: 222)
Benda dan Castles menyimpulkan bahwa kausalitas Gerakan Samin adalah konflik antara Kaum Samin dengan otoritas di atasnya (struktural kepemerintahan) yang merupakan perwujudan resistensi dari tekanan ekonomi yang dialami, terutama terkait dengan kenaikan pajak, tanah, air, dan akses kayu jati. Menurut Benda dan Castles, meski tidak menjadi kausalitas tunggal, namun faktor ekonomi menjadi kausalitas utama dalam Gerakan Samin (Ibid: 219).
1 J.E. Jasper adalah seorang asisten residen di Tuban. Pada tahun 1917, Jasper menyelidiki latar belakang ekonomi Gerakan Samin.
HTTP://AGUSBUDIPURWANTO.WORDPRESS.COM/2010/09/22/KAUSALITAS-GERAKANSAMIN/
Page4
Victor King menyatakan bahwa Benda dan Castles tidak terlalu banyak memberikan penjelasan mengenai status dan posisi individu-individu yang bergabung dalam masyarakat Samin. Faktor kemiskinan ditempatkan sebagai salah satu faktor penyebab mengapa Samin melakukan gerakan tersebut. Dan secara umum “keluhan” ekonomi menjadi kausalitas utama terutama faktor ekonomi dalam aspek kehidupan agraria masyarakat Samin. Victor King berpendapat bahwa faktor materi bukanlah menjadi kausalitas utama. Karena banyak petani miskin yang tidak bergabung dalam gerakan ini. King berpendapat bahwa kausalitas gerakan ini adalah faktor sosial melalui teori keresahan/kerusuhan pedesaan “rural unrest” (King, 1973: 461).
Faktor ekonomi yang mendorong meletusnya gerakan Samin harus ditempatkan dalam konteks struktur sosial masyarakat Jawa, khususnya soal diferensiasi status kehidupan masyarakat pedesaan pada saat itu. Terdapat semacam pergantian poros kekuasaan/pengaruh sosial politik. Para pemilik tanah yang sebelumnya mendapati posisi penting dalam kebijakan desa, pada gilirannya status sosial politik tersebut berkurang seiring peraturan pemerintah tahun 1906 yang menempatkan kepala desa sebagai satu-satunya pejabat yang mengambil keputusan. Tokoh yang tidak masuk dalam pejabat birokrasi desa merasa ada “perongrongan status” atas diri mereka.
Nampaknya, pendapat Victor King disepakati oleh Emmanuel Subangun. Subangun sepakat bahwa pajak yang terlalu menekan, dan perampasan tanah milik rakyat menjadi tanah pemerintah Hindia Belanda yang dijadikan hutan jati ikut mempengaruhi keadaan. Tapi gerakan itu sendiri bisa pecah akan lebih ditentukan oleh kelompok petani kaya pemilik tanah, seperti Samin Surosentiko yang merasa nilai kehormatannya terganggu. Subangun berpendapat bahwa persaingan dan perongrongan status (status deprivation) inilah yang merupakan casus belli, dan masalah pajak dan masalah perampasan tanah rakyat yang kemudian menjadi dasar ikatan rakyat petani yang lebih miskin.
“Gerakan itu tidak muncul dari kepahitan pengalaman bersama, tapi adalah dimulai dari kekecewaan elit dalam masyarakat petani, dan rakyat banyak kemudian menjadi pengikut gerakan” (Subangun,1997:26-7)
Sementara Pieter Korver menyatakan bahwa Benda & Castles serta Victor King sama-sama menggunakan pendekatan mono-kausal. Menurut Korver, gerakan Samin merupakan gerakan mileniarisme. Untuk mencari kausalitasnya, maka perlu untuk mengkomparasikan dengan gerakan-gerakan mileniarisme yang lain. Komparasi tersebut untuk menghindari kemandegan analisa kausalitas gerakan Samin yang acapkali berhenti pada kesimpulan kausalitas tunggal. Korver meyakini bahwa kausalitas gerakan Samin sangat beragam. Gerakan milinearisme selalu disebabkan oleh kombinasi faktor-faktor yang berbeda-beda serta keterkaitan diantaranya (Korver, 1976: 249-266).
Kausalitas selalu berhubungan dengan implikasi yang ditimbulkan. Sebelum membicarakan kausalitas lebih lanjut, mari kita lihat implikasi-implikasi atau manifestasi-manifestasi gerakan pembangkangan yang dilakukan dibidang kehutanan, perpajakan, serta bidang-bidang yang lain. Dalam bidang kehutanan masyarkat pengikut Samin menolak untuk tidak masuk ke hutan, kendati alasan ekonomi dan tekanan kebutuhan akan hutan, layaknya tidaklah arif jika mengabaikan landasan berfikir seperti apa yang dijadikan pijakan masyarakat pengikut Samin dalam konteks penolakan tersebut. Seperti yang telah diutarakan sebelumnya, bagi Samin dan pengikutnya, hutan adalah warisan nenek moyang dan anak cucu berhak atas pemakaiannya: lemah podo duwe, banyu podo duwe, kayu podo duwe, artinya tanah, air, kayu menjadi milik orang banyak. Masyarakat Samin menghormati tanah dan peran manusia dalam mengolahnya. Mereka berpandangan bahwa peran mereka dalam mengubah alam menjadi pangan, yakni hakekat kehidupan, menyebabkan mereka memiliki status yang setara dengan pihak-pihak yang mengklaim hak mengatur dan menguasai akses hutan.
HTTP://AGUSBUDIPURWANTO.WORDPRESS.COM/2010/09/22/KAUSALITAS-GERAKANSAMIN/
Page5
Dalam bidang perpajakan, penolakan atas berbagai tekanan pajak tidak juga dimotivasikan semata-mata karena rongrongan status Samin dan pengikutnya yang memiliki lahan milik wajib pajak, namun prinsip keikhlasan serta proporsionalitas dalam pemanfaatan uang pajaklah yang menjadi perhatian utama. Bagi Samin dan para pengikutnya, pemberian pajak kepada pemerintah Hindia Belanda adalah salah alamat. Negara yang diinginkan Samin dan pengikutnya tidak terdapat dalam negara kolonial Belanda. Negara yang melindungi rakyatnya serta negara yang berkeadilan, tidak ada pajak yang harus dibayar kepada negara serta dapat mengambil kayu jati di hutan ketika membutuhkan. Sebuah negara yang dapat menjadi tempat berlindung rakyatnya, sebuah negara beserta rakyatnya yang memperhatikan keutamaan ilmu pengetahuan dan hidup dalam perdamaian.
Jika gerakan Samin dikategorikan sebagai gerakan milenarisme (negara berkeadilan) dan mesianisme (ratu adil), Samin sendiri telah membantahnya (Benda & Castles, 1969: 212).
Interogator
:
Ajaran anda mengatakan bahwa akan datang jaman baru yang dipimpin oleh Ratu Adil atau Heru Tjokro?
Samin
:
Saya tidak tahu sama sekali soal itu dan saya tidak pernah mengatakan hal itu!
Interogator
:
Ajaran anda mengatakan bahwa anda akan menjadi Raja atau Ratu?
Samin
:
Tidak!
Figure 1. Alur Kausalitas Gerakan Samin
Epilog
Patut diakui bahwa kausalitas gerakan Samin di berbagai wilayah beragam (multikausal), namun nilai-nilai kehidupan Samin dalam hubugannya dengan alam, Tuhan, negara, dan sesama manusia tidakkah mempunyai peran yang kuat bahkan dominan? bagaimana menjelaskan pilihan gerakan tanpa kekerasan ditengah-tengah perlawanan pedesaan yang mayoritas menggunakan perlawanan fisik? Nilai-nilai kehidupan yang dipegang Samin Surosentiko dan pengikutnya mengajarkan bahwa berbuat baik, jujur, dan tidak menggunakan kekerasan nyaris diabaikan dalam menjelaskan perlawanan tanpa kekerasan tersebut.
Muara dari semua itu adalah pertanyaan awal, jika segala faktor menjadi kausalitas yakni faktor ekonomi, status sosial (perongrongan status), serta milenarisme, manakah kausalitas yang dapat tergantikan dengan yang lain, dan mana kausalitas yang determinan harus ada? Yang menjadi kausalitas yang tidak tergantikan dan merupakan kausalitas determinan adalah Samin Surosentiko beserta pengikutnya yang menyandarkan diri pada nilai-nilai kehidupan pada agama Adam.
HTTP://AGUSBUDIPURWANTO.WORDPRESS.COM/2010/09/22/KAUSALITAS-GERAKANSAMIN/
Page6
Daftar Pustaka
Ankersmit, F.R. 1987. Refleksi Tentang Sejarah: Pendapat-pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah. Jakarta: PT. Gramedia.
Benda, Harry J. dan Lance Castles. 1969. The Samin Movement. Dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 125.
Hutomo, Suripan Sadi. 1996. Tradisi dari Blora. Penerbit Citra Almamater. Semarang.
King, Victor T. 1973. Some Observations on the Samin Movement of North-Central Java: Suggestions for the Theoretical Analysis of the Dynamics of Rural Unrest. Dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 129.
Korver, A. Pieter E. 1976. The Samin Movement and Millenarisme. Dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 132., hlm. 249-266.
Nurudin dkk (Ed). 2003. Agama Tradisional: Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger. LKIS bekerjasama dengan FISIP UMM Malang. Yogyakarta.
Subangun, Emmanuel, “Tidak ada Mesias dalam Pandangan Hidup Jawa”, dalam Prisma, Januari 1997, no. 1, Jakarta.
i Alumni Jurusan Sejarah Universitas Sanata Dharma. Saat ini aktif di Citralekha, Komunitas Penggemar Sejarah USD.
ii Tanah lapang tanpa pepohonan
iii J.E. Jasper adalah seorang asisten residen di Tuban. Pada tahun 1917, Jasper menyelidiki latar belakang ekonomi Gerakan Samin.

Sepenggal Kisah tentang Masyarakat Samin

Kompas, Rabu, 25 Januari 2006, 16:51 WIB

Sepenggal Kisah tentang Masyarakat Samin

Jakarta, KCM




Pada suatu malam di bulan Januari, penyanyi Franky Sahilatua mengirim SMS ke HP saya. Isinya, ia
diundang oleh tokoh muda masyarakat Samin untuk menyanyi bersama Emha Ainun Nadjib di alun-alun Pati
dalam acara "Temu Tani" yang diselenggarakan oleh Serikat Petani Pati (SPP). Jika saya tertarik, bolehlah
saya ikut bersamanya.
Tentu saja saya tertarik dengan ajakan tersebut. Terlebih, karena dalam ajakannya itu Franky menyebut nama
Samin, sebuah nama yang tak asing bagi saya sejak masih kuliah. Samin, meski sudah kerap mendengar
"gosip" tentang masyarakat Samin, tapi hingga kini saya belum pernah bertemu dengan mereka.
Terus terang, saya penasaran. Apakah benar, orang Samin itu adalah sekelompok masyarakat yang menganut
faham "asal beda", suka menentang pemerintah sejak zaman kolonial Belanda hingga kini? Sehingga istilah
Samin akhirnya menjadi olok-olok untuk mereka yang berlaku "norak", tak kooperatif, uneducated, bebal, dan
lain-lain.
Atau dalam istilah Jaspers, seorang asisten Residen Tuban kala itu, melukiskan ajaran Samin sebagai
"kelainan jiwa" (mental afwijking) yang disebabkan oleh kelewat beratnya beban pajak yang harus mereka
tanggung.
"Tapi ongkosnya kita tanggung bersama ya," ujar Franky kemudian setelah saya hubungi lewat HP-nya.
"Maklum, yang mengundang petani... he he he..." lanjut Franky.
Maka jadilah, pada Selasa malam, 17 Januari lalu, saya, Franky, dan dua pekerja sosial bernama Beni dan
Agus serta seorang sopir bernama Acan, meluncur menuju Pati dengan berkendara mobil.
Di sepanjang jalan pantai utara Jawa yang jalannya tak pernah beres itu, kami berdiskusi perihal kelompok
masyarakat yang hendak kami datangi.
Itulah soalnya kami langsung menyusun rencana, sebelum menuju alun-alun Pati pada Kamis, 19 Januari, saya
dan Franky sepakat untuk mengenal Sedulur Sikep lebih dalam.
Untunglah, Beni dan Agus, sudah cukup lama mengenal masyarakat Samin. Terlebih Beni, ia mengaku sudah
10 tahun berkawan akrab dengan warga Samin. Karena itu, sepanjang perjalanan kami mendapatkan
gambaran yang cukup jelas tentang siapakah warga Samin itu.
"Tapi mereka lebih suka disebut Sedulur Sikep," kata Beni.
Beni melanjutkan, Sedulur Sikep itu merupakan faham atau pemahaman mereka mengenai hidup yang harus
selalu berpegang pada kejujuran dan kebenaran. Sedangkan Samin, adalah seorang tokoh yang amat
dihormati oleh warga Sedulur Sikep dan sekaligus perintis ajaran Sikep.
Maka mulailah, sambil menikmati suara gamelan dari tape mobil di sepanjang jalan tol Jakarta-Cikampek, Beni
menerangkan perihal Samin dan Sedulur Sikep.
Tentang Samin Surosentiko
Katanya, Samin itu adalah nama yang dipakai oleh Raden Kohar agar lebih merakyat. Samin. Kompletnya
Samin Surosentiko. Lahir di desa Ploso Kedhiren, Randublatung, Kabupaten Blora, pada 1859. Samin mulai
menyebarkan ajarannya pada 1890 di Klopoduwur, Blora. Dalam waktu singkat, penduduk sekitar banyak yang
tertarik mengikuti jejaknya.
Page 2 of 6
Tahun 1903, Residen Rembang melaporkan bahwa ada sejumlah 722 orang pengikut Samin tersebar di 34
desa di Blora bagian Selatan dan Bojonegoro.
Pada 1907, populasi orang Samin sudah mencapai angka 5.000 orang. Nah, saat itulah, pemerintah Belanda
mulai was-was, sehingga pengikut Samin pun mulai ditangkapi satu demi satu.
Pada 8 November 1907, orang Sikep mengangkat Samin Surosentiko sebagai Ratu Adil dengan gelar Prabu
Panembahan Suryangalam. Namun sayang, baru 40 hari sejak pengangkatan itu, Samin ditangkap oleh Raden
Pranolo, asisten Wedana Randublatung.
Selanjutnya Samin dan delapan pengikutnya dibuang ke wilayah Sumatra, tepatnya di Sawahlunto. Samin
Surosentiko meninggal di pengasingan pada tahun 1914.
Samin Surosentiko memang telah ditangkap, tapi ajaran Samin tetap hidup. Benarlah apa kata pepatah: Mati
satu tumbuh seribu. Sepeninggal Samin, muncullah Wongsorejo, salah satu pengikut Samin yang gigih
menyebarkan ajaran gurunya hingga Madiun. Nasib Wongsorejo tak ubahnya sang guru, ia pun ditangkap dan
dibuang ke luar Jawa.
Wongsorejo silam, muncul menantu Samin Surosentiko yang bernama Surohidin pada 1911. Surohidin
bersama pengikutnya, Engkrak, bahu membahu menyebarkan ajaran Samin ke daerah Grobogan, sementara
pengikut Samin lainnya yang bernama Karsiyah menyebarkan ajaran Samin hingga daerah Kajen, Pati.
Berbarengan dengan tahun mangkatnya Samin Surosentiko (1914), pecah pemberontakan warga Samin atau
yang terkenal dengan sebutan Geger Samin. Peristiwa ini sesungguhnya merupakan titik kulminasi dari
kesewenang-wenangan pemerintah kolonial Belanda yang menaikkan pajak bagi pribumi.
Perlawanan dari masyarakat Samin berupa penolakan membayar pajak pun timbul di mana-mana. Mulai dari
Purwodadi, Madiun, Pati, Bojonegoro.
Perdebatan antara orang Sikep dan polisi kolonial berikut ini mungkin bisa menjadi gambaran logika penolakan
membayar pajak masyarakat Samin terhadap pemerintah kolonial kala itu, seperti dimuat Majalah Desantara
(edisi 06/2002) yang mengutip tulisan Takashi Shiraishi berjudul Dangir’s Testimony.
"Kamu masih hutang 90 persen kepada negara"
"Saya tidak hutang kepada negara"
"Tapi kamu mesti membayar pajak"
"Wong Sikep (orang Samin) tak mengenal pajak"
"Apa kamu gila atau pura-pura Gila?"
"Saya tidak gila, dan tidak pura-pura gila"
"Kamu biasanya bayar pajak, mengapa sekarang tidak?"
"Dulu itu dulu, sekarang itu sekarang. Mengapa negara tidak habis-habisnya minta uang?"
"Negara mengeluarkan uang juga untuk penduduk pribumi. Kalau negara tak punya cukup uang, tak mungkin
merawat jalan dengan baik."
"Kalau menurut kami, jika keadaan jalan itu tidak baik, kami bisa membetulkannya sendiri."
"Jadi kamu tidak membayar pajak?"
"Wong sikep tak mengenal pajak."
Tentang Sedulur Sikep
Sedulur Sikep adalah turunan dan pengikut ajaran Samin Surosentiko yang memiliki keyakinan betapa
pentingnya menjaga tingkah laku yang baik, berbuat jujur dan tidak menyakiti orang lain.
Dalam perilakunya, Sedulur Sikep harus menghindari sikap drengki, srei, dahwen, kemeren, panasten (yang
benar disalahkan atau sebaliknya, membesar-besarkan persoalan, iri hati, dan tidak menginginkan orang lain
berbuat baik).
Page 3 of 6
Selain ajaran tersebut, Sedulur Sikep juga harus menghindari perilaku bathil lainnya seperti bedok, colong,
petil, jumput dan nemu (merampok, mencuri, nguti, mengambil milik orang lain, bahkan sampai menemukan
barang orang lain pun tak boleh dilakukan).
"Dan mereka mempraktikkan ajaran itu tiap waktu, tiap saat," ujar Beni saat kami usai mengisi perut di daerah
Indramayu.
Makanya, ujar Beni, minimal sekali dalam setahun, ia selalu berkunjung ke Sedulur Sikep yang berada di
wilayah Pati dan Kudus. Katanya, kunjungannya ke Sedulur Sikep untuk charge pikiran dan hati.
"Aku yakin ini bukan melulu karya manusia. Ini pasti ada campur tangan Sang Pemilik Hidup," Franky
menanggapi pertanyaan saya, kenapakah hingga kini ajaran Samin masih terus hidup.
Ya, padahal, dari waktu ke waktu mereka senantiasa menghadapi persoalan administratif negara. Sebutlah,
soal Kartu Tanda Penduduk (KTP). Banyak di antara warga Sikep hingga kini tak memiliki KTP lantaran agama
mereka yang menurut istilah mereka disebut agama Adam tak pernah diakui oleh pemerintah RI.
Belum lagi masalah pernikahan. Sedulur Sikep yang memiliki tata cara pernikahan sendiri, tentu saja kerap
menimbulkan masalah lantaran tak pernah melibatkan pejabat negara.
Apapun masalahnya, toh Sedulur Sikep senantiasa mampu mengatasi persoalannya sendiri. Buktinya, hingga
detik ini mereka masih eksis dan telah mendapatkan pengakuan dari negara.
Siang telah membentang ketika kami sampai di Semarang. Seorang kawan lain yang juga hendak menuju Pati
kami jemput di restoran Soto Bangkong di Banyumanik. Mas Hermanu, begitulah kami memanggilnya. Dialah
doktor lulusan Amerika yang hingga kini juga masih setia menemani Sedulur Sikep.
Usai sarapan, mobil kami hela menuju Pati. "Lewat Purwodadi saja, lebih enak pemandangannya," kata
Hermanu.
Mranggen, Tegowanu, Gubuk, Purwodadi, kami lewati. Sebentar lagi, Sukolilo ada di hadapan kami. Di sanalah
nanti kami akan bertemu dengan guru-guru kami, para Sedulur Sikep.
Jabat Erat Sedulur Sikep
Matahari berada di atas kepala saat kami memasuki Kecamatan Sukolilo. Setelah beberapa kali tikungan dan
jalan menurun, sampailah kami di mulut gang menuju Dukuh Bombong.
Atas saran Hermanu, tujuan pertama kami adalah rumah Mbah Sampir. Lelaki tua berusia di atas 70 tahun
yang ditokohkan oleh Sedulur Sikep di Dukuh Bombong.
Sayang disayang, Mbah Sampir ternyata tak sedang di rumah. Sebagai gantinya, istri, anak, cucu, menantu
dan saudara Mbah Sampir lainnya yang membentuk puak di sekitar rumah Mbah Sampir menyambut kami
dengan hangat.
"Nepangaken, pangaran njenengan sinten?"
"Saking pundi?"
"Ra’ sami seger kawarasan toh?"
Begitulah selalu kalimat yang keluar dari mulut keturunan Mbah Sampir, tak kecil tak besar, tak tua tak muda.
Sambil memegang erat tangan tamunya, mereka berucap dengan tegas dan lugas perihal nama dan asal
tamunya, serta tak lupa harapan agar sang tamu dalam keadaan sehat wal afiat.
Page 4 of 6
Selanjutnya, setelah saling berkenalan, sebagian anggota keluarga Mabah Sampir menyingkir, sebagian
lainnya ada bersama kami. Salah satunya, adalah perempuan yang memperkenalkan diri sebagai Gunarti,
adiknya Mas Gunritno.
Gunarti perlu menyebut nama Gunritno, sebab itulah nama yang menurutnya sudah dikenal, setidaknya oleh
teman-teman seperjalanan saya: Beni, Agus, dan Hermanu.
Padahal, ayah Gunarti yang bernama Wargono sebetulnya juga cukup terkenal sebagai salah satu tokoh
Sedulur Sikep. Sebagai orang yang baru kenal, saya tentu saja tak berani lancang bertanya mengapakah ia
justru memperkenalkan nama kakak dan bukan nama ayahnya.
Umur cuma satu, buat selamanya
Setelah bertukar kabar,mulailah kami bertanya-tanya.
"Gimana kemarin, apakah Sedulur Sikep menerima dana kompensasi BBM?" tanya Mas Hermanu. "Untuk soal
itu, kami kalis," jawab Gunarti. Mas Hermanu langsung menerjemahkan istilah kalis. Katanya, kalis itu adalah
seperti daun keladi yang tak basah oleh air yang ada bersamanya. Menurut Gunarti, lebih baik dana
kompensasi itu diberikan kepada warga lainnya yang lebih membutuhkan.
Gunarti mengatakan, kendati warga Sedulur Sikep cukup berat menanggung beban hidup lantaran semua
harga kebutuhan naik, tapi ia dan Sedulur Sikep lainnya masih bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Padahal,
ujar Gunarti, sawah yang ia harapkan bakal memberinya berkarung-karung gabah bulan depan, ternyata
terendam banjir.
Obrolan pun.. ah ya, saya hampir lupa, "obrolan" adalah kosa kata yang paling dihindari Sedulur Sikep untuk
sebuah perbincangan. Sedulur Sikep lebih suka menyebut perbincangan dengan istilah rembugan. Sebab
katanya, rembugan itu adalah perbincangan yang akan menghasilkan sesuatu. Sedangkan ngobrol, lebih
banyak menghasilkan kesia-siaan.
Dari pengertian ini, karenanya Sedukur Sikep senantiasa serius jika diajak berbincang-bincang. Seperti di siang
itu. Gunarti pun dengan seksama menyimak pertanyaan-pertanyaan saya dan teman lainnya.
"Maaf, umur Mbak berapa sekarang?"
"Umur saya satu, buat selamanya," jawab Gunarti.
Mendengar jawaban Gunarti, saya pun jadi salah tingkah. Saya mulai bertanya kepada Mas Hermanu,
bagaimana caranya menanyakan soal umur kepada Sedulur Sikep.
"Waktu anda lahir, kira-kira pas zaman apa ya Mbak?" tanya saya setelah mendapat bisikan dari Mas
Hermanu.
"Menurut kedua orang tua, saat menikah saya berusia 16 tahun. Sekarang usia anak saya yang pertama sudah
16 tahun, jadi kurang lebih 29 tahun," jawab Gunarti.
Anda yang belum mengenal Sedulur Sikep, boleh jadi akan berprasangka yang macam-macam mendengar
penuturan Gunarti. Padahal, ujar Gunarti, mengapa para Sedulur Sikep selalu menjawab begitu tiap kali ditanya
berapa umurnya, adalah karena semata mereka takut berbohong.
"Bagaimana saya bisa menjawab dengan tepat kalau saya tidak tahu apa-apa saat saya lahir?" tambah
Gunarti.
Hmm... sebuah logika yang tak terbantahkan bukan?
"Sekarang kegiatan Mbak Gunarti apa?" saya melanjutkan pertanyaan.
"Tiap hari saya pergi ke sawah. Hari Minggu saya ke pasinaon..."
Page 5 of 6
"O, jadi guru juga toh?"
"Ah tidak. Saya nggak mau disebut guru. Guru itu kan digugu lan ditiru. Sementara saya, belum tentu
perbuatan saya bisa digugu (dipercaya) dan ditiru," ucap Gunarti merendah.
Pendeknya, lanjut Gunarti, yang penting dirinya bisa bermanfaat buat orang lain. Itulah sebab, tiap hari Minggu,
sekitar 15 anak-anak Sedulur Sikep mendapat pengajaran dari Gunarti tentang baca dan tulis serta budi
pekerti.
Kegiatan belajar mengajar ini, menurut Gunarti, dimulai sejak anak-anak mulai berpikir dan bertindak.
"Bukankah anak bisa jalan, bisa bicara, itu orang tua yang mengajari. Karenanya, apabila kita ingin anak-anak
kita berperilaku baik, ya harus diajari sejak dini," tutur Gunarti.
"Yang utama dari pembelajaran itu adalah mebcike kelakuan (meluruskan perbuatan). Sebab kita kerap
keblasak-keblusuk (tersesat)," tandas Gunarti.
O ya, perlu Anda ketahui, wahai pembaca yang budiman, anak-anak Sedulur Sikep itu memang tidak
bersekolah secara formal. Nah, orang semacam Gunarti ini, karena dipandang pintar, maka dia berkewajiban
membagi ilmunya kepada anak-anak dari keluarga Sedulur Sikep.
Buat Sedulur Sikep, ada dua hal yang mereka hindari dalam hidup. Yakni, bersekolah (formal) dan berdagang
(mencari margin). Sekolah, kata mereka, membuat orang jadi pintar. Setelah pintar, manusia bisanya
cenderung membohongi sesamanya. Begitu juga dengan berdagang. Biasanya, dalam mencari untung para
pedagang itu suka mengabaikan nilai-nilai kejujuran.
Karena itu, profesi yang dipilih oleh Sedulur Sikep adalah bertani. Jika pun harus menjual hasil pertaniannya,
Sedulur Sikep biasanya akan berpatokan pada harga yang berlaku di masyarakat.
Makan siang dengan nasi jagung
Meski sudah diganjal soto bangkong di Semarang pagi tadi, toh perut langsung keroncongan manakala mata
melihat sajian yang digelar di atas meja di rumah Mbah Sampir.
Di meja kini ada nasi jagung, botok, lodeh terong, tempe goreng, goreng ikan kutuk, dan telor goreng. Setelah
tuan rumah mempersilakan kami menyantap hidangan, kami pun secara bergantian mengambil hidangan yang
tersaji.
Saya dan Franky mengambil nasi jagung plus botok yang di dalamnya terdapat anakan ikan kutuk.
Rasanya...hmmm... yummy betul. Lain benar rasanya dengan masakan orang Jakarta yang sudah
terkontaminasi dengan unsur kimia sejak masih ditanam hingga ketika dimasak.
Inilah kiranya rasa makanan yang dihasilkan dengan cara yang berbeda dengan masakan kebanyakan. Bahkan
sejak sebelum padi ditanam hingga setelah padi dipanen, mereka selalu mengupayakannya dengan doa atau
biasa disebut dengan istilah brokohan. Tujuannya, ujar ayah Gunarti (Wargono) untuk kebaikan manusianya
dan juga kebaikan yang ditanam.
Perihal sajian di rumah Mbah Sampir itu, perlu Anda ketahui juga, adalah salah satu cara Sedulur Sikep
menghormati tamu-tamunya. Oleh karena itu jangan heran, jika sekali waktu Anda berkunjung ke keluarga
Sedulur Sikep, selain disuguhiminum dan nyamikan, Anda juga akan disuguhi makan.
Makanya saat lepas dari Semarang Mas Beni wanti-wanti, siapkan perut Anda sebelum datang ke rumah para
Sedulur Sikep. Sebab, bila dalam satu hari kita datang ke lima rumah, boleh jadi kita akan diberi sajian makan
berat sebanyak lima kali pula.
Page 6 of 6
Tentu, mereka pun tak akan memaksa Anda untuk makan hingga kenyang. Tapi, alangkah baiknya jika Anda
merasakan juga apa yang mereka hidangkan sebagai simbol penghormatan terhadap tuan rumah.
"Memangnya Mbah Sampir punya kolam ikan ya Mbak," tanya saya kepada Mbak Gun.
"Ah, nggak," jawab Gunarti.
"Trus ikan ini dari mana?" sambung saya.
"Dari sawah."
"Maksudnya, piara ikan di sawah?"
"Bukankah dimana pun ada air, di situ selalu ada ikannya," ujar Mbak Gun sambil tersenyum.
Ah, kembali saya tertohok oleh logika yang tak terbantahkan dari Mbak Gun. Coba bayangkanlah..., ikan dan
air..., bukankah mereka bagian dari semesta yang mestinya memang berpasang-pasangan?
Sedang saya merasai bolak-balik ketohok oleh ucapan Gunarti, mendadak Mbah Pasmi (istri Mbah Sampir)
berucap, "Tambah lo, Mas..."
Sebelum saya mengiyakan atau menolak, tiba-tiba saya ingat pesan Mas Beni supaya jangan kelewat kenyang
makan di satu tempat. Sebab setelah ini, bisa jadi tiga atau empat rumah bakal kami kunjungi lagi.
He he he..., demi menghormati tuan-tuan rumah yang bakal saya kunjungi, saya pun mengekang tawaran
Mbah Pasmi dengan ucapan "maturnuwun". Padahal..., botok dan nasi jagungnya itu...hhmmm, enaaak tenan.
Sungguh.
Penulis: Jodhi Yudono

Kisah Seputar Hutan JAWA

Kisah Seputar Hutan JAWA


Hutan Jawa seringkali luput dari pembicaraan ketika orangorang
ramai membicarakan hutan Indonesia



Setidaknya ada tiga p e n y e b a b n y a .
P e r t a m a ,
mungkin karena hutan Jawa,
dibandingkan hutan di pulau besar lain,
tidaklah luas. Sebab kedua, barangkali,
karena sebagian besar hutan Jawa tidak
bisa dianggap hutan karena wujudnya
yang lebih mirip kebun kayu homogen.
Bisa disamakan dengan hutan tanaman,
dan ada sementara orang yang
berpendapat bahwa hutan tanaman—
apalagi yang homogen—bukanlah hutan.
Sebab ketiga, ada anggapan bahwa hutan
di Jawa tidak banyak melindungi spesies
langka dan unik.
Ketiga ‘prasangka’ tersebut ada benarnya.
Dua dugaan pertama memang bisa
dibenarkan oleh fakta, dan justru itu yang
menjadi alasan mengapa hutan Jawa
sangat krusial untuk dibicarakan, terutama
dalam kon.teks demografi pulau Jawa
sebagai pulau berpenduduk sangat padat.
Lebih dari separo penduduk Indonesia
tinggal di pulau sekecil Jawa1.
Hutan Jawa itu Tidak Luas
Betul bahwa hutan Jawa sangatlah sempit.
Luas hutan Jawa keseluruhan, menurut
perkiraan GFW, pada tahun 1997 seluas
1,9 juta hektare. Luasan ini berada di
bawah angka luasan hutan di Maluku (5,8
juta ha), Sulawesi (hampir 8 juta ha), dan
jauh di bawah Papua dengan luasan 33 juta
hektare lebih. Tabel 1 menjelaskan tipe
hutan yang terdapat di Pulau Jawa2.
Lebih jauh lagi, persentase hutan di Pulau
Jawa sangat rendah, yaitu hanya 14% dari
total luas daratannya. Sementara di pulau
besar lainnya masih terdapat 35-81%
hutan. Dari angka ini terlihat bahwa jika
hutan di pulau lain masuk dalam kategori
‘rusak parah’, maka hutan Jawa masuk
dalam kategori ‘telanjur dibiarkan rusak
parah terlalu lama’.
Justru karena hutan Jawa sangat sempit
dan langka itulah pelestariannya menjadi
sangat relevan untuk dibicarakan. Kembali
mengingat penduduk Jawa yang sangat
padat, maka ada dua hal yang perlu
dikaitkan dengan persoalan hutan ini.
Pertama, hutan Jawa mengalami tekanan
yang besar dan terus menerus didesak oleh
kebutuhan akan lahan pertanian. Yang
kedua, kerusakan hutan yang kemudian
menyebabkan banjir dan longsor selalu
menimbulkan penderitaan bagi banyak
orang karena—dimanapun bencana itu
terjadi—selalu terjadi di daerah padat
penduduk. Banjir rutin di Jakarta,
misalnya, adalah contoh yang paling
klasik.
1 Tepatnya, penduduk Jawa pada tahun
1999 adalah 116.324.536 jiwa. Luas
pulau Jawa adalah 131.412 km2.
Kepadatan penduduk Jawa adalah 887
jiwa/km2. Ada 6.381 desa di Jawa yang
bertampalan dengan hutan atau berada
di tengah hutan sepenuhnya. Jumlah
desa hutan ini adalah seperempat
jumlah desa di Jawa.
Ada beberapa peringatan yang harus
saya sampaikan dalam membaca tabeltabel
dalam tulisan ini. Angka ini adalah
hasil rata-rata beberapa peta yang
memiliki cara perhitungan yang
berbeda. Angka ini kemudian di
proyeksikan dengan luas hutan pada
tahun 2000.
Tabel 1. Luas Hutan Berdasarkan Tipe Hutan
Tipe Hutan Luas
(hektare)
Hutan Lahan Kering Primer
Hutan Lahan Kering Sekunder
Hutan Mangrove Primer
Hutan Mangrove Sekunder
Hutan Tanaman Industri
TOTAL
394.750
556.662
8.863
11.866
903.359
1.875.500
Sumber: Peta penutupan hutan, Pemerintah RI/Bank Dunia, 1997; Peta
penutupan lahan, NFI/World Bank 2000; Data penutupan hutan, UNEP/
WCMC, 2000 (berdasarkan data REPPPROT)
Foto: Bob/FWI
2 intip hutan | maret 2003
Jadi inilah inti persoalannya. Sudah
hutannya sedikit, digerogoti oleh
kebutuhan lahan, sekali hutan itu rusak
membawa banyak korban pula. Sesudah
kerusakan hutan sepanjang sejarah
kolonial, hutan Jawa kini sedang
mengalami perusakannya yang paling
parah dan cepat, baik di hutan produksi
maupun di kawasan lindung dan areal
konservasi. Penyebabnya, tak lain adalah
penjarahan besar-besaran sejak 1998.
Kekritisan Jawa semakin gawat saja ketika
dalam waktu hanya 3 tahun Pulau Jawa
telah kehilangan lebih dari seperempat
hutannya (lihat tabel 2 berikut3).
Ada sebuah energi yang sangat kuat dalam
menggerakkan mesin-mesin perusak
hutan itu di seluruh Jawa. Energi uang,
itu satu. Tetapi energi uang ini tidaklah
akan bisa bergerak leluasa jika tidak
dibarengi dengan energi yang jauh lebih
besar. Energi dari masyarakat yang
kecewa dan marah. Seorang antropolog
menyebut penjarahan hutan ini sebagai
perlawanan sosial atas ketidakadilan
sistem produksi hutan4. Ya, sebagian besar
hutan di Pulau Jawa adalah hutan
tanaman.
Sebagian Besar Hutan Jawa
adalah HTI
Lagi-lagi, prasangka ke dua benar adanya.
Dan sekali lagi, justru inilah persoalannya.
Sebagian besar kawasan hutan di Jawa
adalah hutan produksi, terutama jati, yang
dikelola oleh Perhutani, satu-satunya
HPH(TI) yang beroperasi di Jawa.
Apa yang salah dengan pengelolaan HTI
di Jawa. Pertama, ada pendapat yang
mengatakan bahwa hutan tanaman,
apalagi yang homogen, tidaklah dapat
disebut sebagai hutan. Tetapi ada masalah
yang lain yang lebih mendesak untuk
diselesaikan, yaitu sistem produksi
hutannya. Hutan produksi di Jawa tidak
pernah membawa kemanfaatan bagi
masyarakat luas. Lebih dari itu sistem
pengelolaan ini justru meciptakan
kemiskinan struktural warga sekitarnya
karena akses mereka terhadap sumber
daya alam ini sangat terbatas.
Sistem pengupahan petani yang
dikembangkan dari periode ‘pengelolaan
hutan ilmiah’ abad 19 sangat tidak adil dan
merugikan para petani. Hanya
keterpaksaan dan kebutuhan akan lahan
sajalah yang membuat mereka tetap ‘setia’
membantu pengelolaan hutan jati. Tabel
3 adalah hasil penelitian beberapa desa di
sekitar KPH Randublatung yang
menjelaskan ketidakadilan sistem tarif
upah Perhutani.
Tabel ini menunjukkan bahwa petani
mensubsidi Perhutani sekitar 590 ribu
rupiah dari setiap hektar proyek
penanamannya. Tidak kurang, petani pun
selalu disuluhkan untuk ikut bertanggung
jawab atas kemanan jati, sementara pada
setiap tebangan tidak secuil pun kayu
dibagi-hasilkan kepadanya. Pembiaran
Tabel 3. Subsidi Petani kepada Perhutani melalui
pekerjaan tanam
Pengeluaran Petani per hektare
Babat/Resik
Gebrus I
Gebrus II
Bahan Baku
Buat Acir
pasang Acir
Langsir bibit
Tanam Bibit
Alat Pertanian
JUMLAH
Sumber: Laporan Bulanan ARuPA: Studi Kasus Sembilan Desa di BH
Randublatung, 2001
46
133.71
38
2
4
14.81
31.15
414.000
1.203.390
342.000
9.000
18.000
36.000
133.290
280.350
33.333
2.463.363
Pekerjaan HOK/ha Rupiah
Pemasukan dari Perhutani
Rupiah Tarif Upah
24.000
100.000
11.110
11.110
11.110
1.722.800
1.880.130
Uang Kontrak
Uang Pengolahan
Buat & Pasang Acir
Langsir Bibit
Tanam Bibit
Hasil Tumpangsari
sebagai upah
Tabel 2. Kehilangan Hutan Jawa antara Tahun 1997-2000
Propinsi
BANTEN
JAWA BARAT + DKI
JAWA TENGAH + DIY
JAWA TIMUR
TOTAL
109.321
373.902
193.537
656.053
1.332.803
Sumber: Peta penutupan hutan, Pemerintah RI/Bank Dunia, 1997; Peta penutupan lahan, NFI/World
Bank 2000; Data penutupan hutan, UNEP/WCMC, 2000 (berdasarkan data REPPPROT)
Tutupan Hutan Tutupan Hutan Kehilangan
1997 (Ha) 2000 (Ha) Hutan (Ha)
98.957
256.153
123.789
564.903
1.043.702
30.983
224.450
93.051
136.469
484.953
22.08
37.51
32.47
17.22
26.68
Persentase
Kehilangan
intip hutan | maret 2003 3
Tabel 4. Kerugian Akibat Gangguan Keamanan hutan Perhutani (1995-1999)
Pencurian pohon
Pencurian Kayu PTK
Pencurian Kayu BKR
Pencurian lain
Bibrikan hutan
Babad liar tanaman
Kebakaran hutan
Penggembalaan liar
JUMLAH
Bencana alam
TOTAL
phn
x Rp. 1000
m3
x Rp. 1000
sm
x Rp. 1000
x Rp. 1000
ha
x Rp. 1000
ha
x Rp. 1000
ha
x Rp. 1000
ha
x Rp. 1000
x Rp. 1000
ha
phn
x Rp. 1000
x Rp. 1000
200.273
3.525.140
5
--
--
629
39.044
10.172
9.530
8.663
111.886
148
2.931
3.688.531
119
116.481
550.921
4.239.452
202.192
3.369.919
36
4.042
--
--
715
10.126
109.263
66.110
5.686
49.070
137
4.200
3.503.467
33
68.040
320.016
3.823.483
202.947
2.960.537
11
854
--
--
1.849
24.531
16.662
12.993
373.782
452.886
91
3.080
3.454.881
240
145.677
480.908
3.935.789
1.097.716
49.243.567
155.246
71.550
--
18.002
15.104
236.958
110.827
2.040.242
7.063
54.841
53
4.030
51.651.188
1.207
96.984
962.500
52.613.688
3.179.973
55.851.084
285
16.222
46
103
35.467
15.378
223.700
336.168
1.847.798
374.944
194.345
843
13.587
58.182.306
1.239
108.089
212.708
58.395.014
1
2
3
4
5
6
7
8
9
No Uraian Satuan 1995 1996 1997 1998 1999
Sumber: DKP/Biro Kamagra dan Humas Perhutani, 2000
petani atas setiap kejadian penjarahan
hutan sebetulnya dapat menjadi indikasi
adanya sebuah konflik terpendam antara
petani dengan Perhutani.
Konflik, Produk Hutan Jawa
yang Lestari
Masyarakat Jawa—kecuali pada masa
pra-kerajaan—praktis tak pernah
mengalami kebebasan dalam mengelola
sumber daya alamnya sendiri, termasuk
dalam mengelola hutan. Pada zaman
kerajaan, kekuasaan sudah mengatur tatacara
eksploitasi hutan, dan sedikitnya
membatasi keleluasan warga untuk
menikmati sumber daya alam di
kampungnya sendiri. Kemudian bertubitubi
datang sistem produksi hutan kolonial
mulai Belanda sampai Jepang. Lalu sistem
pengelolaan ala Indonesia merdeka sampai
dibentuknya BPU Perhutani tahun 1966,
diubah menjadi Perum Perhutani pada
1972, menjadi PT pada tahun 2001, dan
kembali lagi menjadi perum menurut
keputusan MA tahun 2002.
Pengelolaan hutan di Jawa selalu dipenuhi
dengan konflik. Ada pula yang
berpendapat bahwa satu-satunya produk
yang berhasil dilestarikan dalam
pengelolaan hutan Jawa adalah
konfliknya. Ada berbagai macam konflik,
yang paling sering terjadi adalah akibat
pencurian kayu, masalah agraria, dan
tindakan represif dari pengelola hutan.
Konflik paling mendasar adalah persoalan
tenurial. Tepatnya pada pertanyaan
pokok, “Atas hak apa dan mandat siapa
orang-orang ini menguasai hutan yang
sebetulnya bisa kami kelola demi
kesejahteraan kami? Mengapa kami tak
pernah diajak bicara soal pengelolaan
hutan ini?”
Pengelolaan hutan yang memisahkan
warga desa dari hutan selalu mendapatkan
perlawanannya dari petani yang tinggal di
sekitarnya. Perlawanan ini biasanya
berupa—apa yang disebut oleh James C.
Scott sebagai—perlawanan hari demi hari
(day to day resistance). Perlawanan ini
adalah strategi yang dipilih petani untuk
melawan struktur kekuasaan yang masif
dan bersenjata. Bentuk pilihan strateginya,
misalnya, penebangan dan pencurian
kayu, sabotase tanaman, perusakan
tanaman muda, pembibrikan (penggerogotan)
hutan untuk lahan pertanian,
pembakaran hutan, perusakan kantor dan
rumah dinas, atau penggembalaan sapi di
dalam hutan.
Perlawanan gerilya ini cukup merepotkan
perhutani. Dari sembilan kriteria penyebab
kerugian, delapan di antaranya disebabkan
oleh ulah manusia. ‘Gangguan’ ini tidak
pernah surut dan menahun, seolah-olah
menjadi takdir. Ketika ‘gangguan’ ini
melonjak naik 15 kali lipat pada tahun
1998, Perhutani menargetkan untuk
menurunkan tingkat pencurian sampai
mendekati angka tahun-tahun
sebelumnya. Sama sekali tidak pernah
berpikir untuk menanggulangi persoalan
konflik ini dari akarnya dan bercita-cita
untuk membuat gangguan ini turun ke titik
nol. Angka 200 ribu-an pohon yang hilang
dicuri dianggap bukan masalah—atau
semacam takdir yang tak bisa diingkari.
Sama sekali bukan indikasi terhadap
ketidakberesan apapun.
4 intip hutan | maret 2003
Bentuk-bentuk perlawanan seperti tabel
4 di atas sudah ada sejak zaman kolonial
Belanda sebagai bentuk protes kepada
‘penguasa’ hutan. Bahkan sekelompok
blandong (penebang kayu) pernah
menyerbu benteng Belanda di Juwana
(Jawa Tengah) akibat ketidakpuasan
terhadap upah5.
Perlawanan dari masyarakat bukannya
tanpa balas. Perhutani sering bertindak
tidak manusiawi dalam menangani kasus
pencurian kayu. Penembakan warga desa
tak bersenjata6, misalnya, tidak jarang
menimbulkan korban tewas. Kasus paling
hangat adalah penganiayaan atas Wiji
karena kedapatan membawa kayu tanpa
surat yang baru dibelinya dari desa lain.
Wiji yang hanya membawa satu balok
kayu jati dengan sepedanya itu tewas di
rumah sakit setelah mengalami koma
selama empat hari. Pada akhirnya
masyarakat dan Perhutani masuk ke dalam
siklus balas dendam yang tak
berkesudahan. Dan konflik semakin
mengeras.
Namun bentuk perlawanan tanpa
kekerasan juga dikembangkan dalam
bentuk aksi non-kooperatif, misalnya,
dengan menolak semua perintah penguasa
hutan—waktu itu Boschwezen7—
termasuk menolak untuk membayar pajak
kepala dan pajak tanah. Perlawanan pada
awal abad 20 ini dipimpin oleh Samin
Surosentiko yang menjadi pelopor ajaran
saminisme. Ajaran sosialisme tradisional
ini kemudian dikenal secara luas sebagai
ajaran ndableg8. Samin juga
memproklamasikan statutanya, “Tanah,
air, dan kayu adalah milik semua orang.
Tanah, air, dan kayu untuk semua orang.”
Segala bentuk perlawanan ini tidak serta
merta berhenti karena punahnya
kolonialisme dari bumi nusantara,
melainkan semakin mengeras dan
terstruktur dalam lembaga sosial pada
masa pemerintah Orde Baru. Perlawanan
sosial ini kemudian mendapatkan
dorongan besar dari pedagang besar kayu
sehingga lambat laun pencurian kayu
kehilangan gaung keadilannya dan
tereduksi menjadi persoalan ekonomi
biasa. Perlawanan sosial ini kemudian
berubah menjadi perbanditan kapital yang
tergorganisasi dengan baik. Pada mulanya
adalah protes kini menjadi bagian dari
mesin besar kapitalisme yang serakah9.
Mesin Serakah Bernama Illegal
Logging
Kejadiannya bisa sama. Orang desa, tanpa
izin resmi, masuk ke hutan lalu menebang
pohon dan membawanya pulang. Tapi
ketika niatnya berbeda, maka namanya
pun seharusnya berbeda. Kalau
motivasinya memenuhi kebutuhan kayu
untuk rumahnya yang reot, dan yang
ditebang adalah pohon yang ditanam
kakek buyutnya, perbuatan ini disebut
nyamin atau berlaku mengikuti statuta
Samin. Jika yang ditebang adalah pohonpohon
muda dan bekas tebangannya
ditinggalkan begitu saja, ini disebut
kemarahan sosial. Kalau memang sekadar
mencari sejumlah uang, dan biasanya
dihabiskan untuk kebiasaan konsumtif
seperti minuman keras dan berjudi, nah,
ini yang namanya njarah10.
Begitulah kira-kira ‘filsafat’ ngemek
kayu11 yang begitu polos dan lugu. Definisi
yang ambigu—khas Jawa—barangkali
cukup menyulitkan melihat dengan jelas
peristiwa illegal logging itu. Siapa
penjahat, siapa pahlawan. Siapa penjahat
tapi kelihatan seperti pahlawan. Kesulitan
definisi ini yang terutama adalah: siapa
yang bisa mengadili niat?
Terlepas dari itu, kita ketahui bahwa jauh
sebelum meledaknya penjarahan hutan tak
lama sesudah kejatuhan Soeharto pada
Mei 1998, Perhutani secara terus-menerus
dihantui oleh pencurian kayu dan sejumlah
gangguan lainnya. Pada tahun 1999
Perhutani kehilangan 3,1 juta pohon.
Gangguan ini tentunya memukul basis
perekonomian Perhutani. Bagaimana
tidak, pada tahun itu Perhutani kehilangan
1,2 juta meter kubik kayu, lebih dari dua
kali lipat dari panen resmi yang berhasil
dikumpulkan Perhutani (lihat tabel 5
berikut12).
Merugikah Perhutani akibat penjarahan
hutan jati ini? Ternyata tidak. Perusahan
ini selalu mampu membukukan
keuntungan hampir 200 milyard rupiah
pada tahun 1999.
3 Baca catatan kaki nomor 1.
4 Santoso, Herry. 2001. “Sengketa
Pengelolaan Sumber Daya Hutan Jati
Perum Perhutani”. Tesis S-2. Fakultas
Kehutanan UGM. Yogyakarta.
5 Menurut buku Sejarah Kehutanan Indonesia upah
tersebut ternyata dipotong oleh pembesar Jawa,
bukan oleh pihak VOC.
6 Juga oleh kesatuan polisi Brigade Mobil yang
sering ‘disewa’ Perhutani untuk mengamankan
hutan.
7 Boschwezen adalah Jawatan Kehutanan bentukan
pemerintahan kolonial Hindia Belanda.
8 Ndableg sukar ditemukan padanannya dalam
bahasa Indonesia. Kurang lebih artinya: keras
kepala. Dalam bahasa Inggris padanannya adalah
persistent.
9 Secara umum dapat disebut begitu karena para
pencuri kayu tidak lagi menghormati petani di
sekitarnya. Tidak jarang kayu gelondongan itu
diangkut dengan merusak tanaman pertanian. Di
beberapa tempat bahkan para pencuri kayu itu
juga mencuri buah-buahan dan hasil pertanian
sepanjang perjalanan.
10 Njarah = menjarah.
Tabel 5. Mempertahankan Panen dengan Overcutting
Neraca Sumber Daya Hutan (NSDH) Tegakan Jati tahun 1999
No Uraian
NSDH (m3)
1998 1999
Standing stock awal
Riap (y)
Riap tanaman
Riap tegakan
Jumlah
Tebangan/kerusakan (x)
Tebangan
Pencurian
Kerusakan
Jumlah
Overcutting (x-y)
Standing stock akhir
12
3
45
37.260.806
36.244
1.019.288
1.055.532
402.999
1.119.318
17.345
1.539.662
484.130
35.468.493
35.468.493
45.498
1.002.596
1.048.094
406.040
1.172.758
39.441
1.618.239
570.145
34.263.885
Sumber: Perum Perhutani, 2000
intip hutan | maret 2003 5
Bagaimana mungkin ada sebuah
perusahaan yang kerugiannya meningkat
tajam tetapi pada saat yang sama
keuntungannya juga terus bertambah?
Perusahaan apa yang bisa mengambil
keuntungan dari sebuah kerugian?
Jawabannya dapat dilihat pada tabel
“Mempertahankan Panen dengan
Overcutting”. Keuntungan yang diraih
tidak lain dilakukan dengan memaksakan
target tebangan. Target tebangan
Perhutani yang dihitung berdasarkan tabel
buatan tahun 1912 itu sudah ditetapkan
dan harus dipenuhi, sekalipun itu berarti
harus menebang lebih dari kemampuan
hutan untuk meregenerasi diri.
Keuntungan yang dibukukan oleh
Perhutani hanyalah merupakan
pendapatan dari penjualan produk kayu
jati dikurangi pengeluaran dan kerugian.
Kerugian akibat pencurian tidaklah besar,
hanya 55 milyard rupiah akibat 3,1 juta
batang pohon yang dicuri. Ada tipu
muslihat lagi di sini. Kalau kita perhatikan
lagi, tarif kerugian Perhutani14 hanya
menghargai satu batang pohon rata-rata
sebesar 17.600 rupiah. Dengan
menggunakan tabel tarif, yang bisa
dipastikan kuno ini, angka nominal
kerugian Perhutani bisa diredam.
Tipu muslihat yang paling gawat adalah
bahwa neraca tegakan Perhutani—yaitu
neraca yang menggambarkan penambahan
dan pengurangan volume pohon di
hutan—tidak pernah diikutsertakan dalam
perhitungan rugi-laba perusahaan.
Padahal justru perhitungan ini menjadi
pokok pengelolaan hutan. Tegakan jati di
hutan harus dihitung sebagai asset yang
tidak boleh berkurang, baik dari segi
jumlah, maupun umur rata-ratanya.
Jika pengusahaan hutan dilakukan dengan
fokus keuntungan nominal belaka dan itu
dicapai dengan mengorbankan hutan yang
ada, maka tidak mengherankan jika
struktur hutan jati di Jawa semakin lama
semakin berstruktur muda, ditandai
dengan luasnya hutan berumur belia (KU
I dan II15), sebagaimana bisa dilihat dalam
tabel berikut:
Kesimpulan cepatnya: Perhutani bisa
tetap meraup keuntungan selama
keuntungan itu masih bisa dibiayai oleh
sumber daya hutan dan sumber daya
sosial di sekitarnya.
Rasanya cukup sudah pembicaraan
tentang Perhutani. Hutan Jawa bukan
semata-mata HTI Perhutani. Ada
banyak hutan lainnya di kawasan
lindung dan konservasi yang menyimpan
berbagai spesies dan ekositem khas
Jawa. Sayangnya, hutan non-HTI ini
juga tidak selamat dari penjarahan dan
kerusakan.
Hanya Ada di Jawa16, Kini Tak
Ada Lagi di Jawa
Prasangka ketiga mengenai hutan Jawa
lagi-lagi betul. Tidak banyak spesies khas
yang hidup di hutan Jawa. Kebanyakan
hutan alam tempat satwa hidup dan
berkembang biak kini sudah musnah,
entah akibat pembukaan hutan sejak
zaman purbakala, atau terkena traktor
pembangunan. Sekalipun tidak banyak
jumlahnya, ada beberapa spesies khas
yang hanya dapat ditemukan di Pulau
Jawa, dan tidak di tempat lain di penjuru
dunia manapun. Spesies tersebut,
misalnya saja, Harimau Jawa, Badak
Jawa, Elang Jawa dan pelalar.
Sumber: Buku Statistik Perhutani, 1998
I II III IV V VI VII VIII
Sumber: Perhutani, 1998
1995 1996 1997 1998 1999
Laba Usaha Perhutani (1995-1999)
Milyard rupiah
200
180
160
140
120
100
80
60
40
20
Distribusi Kelas Umur Tegakan Jati
140
120
100
80
60
40
20
0
ribu hektare