Sunday 14 November 2010

Juru Kunci Grojogan Sewu

Juru Kunci Grojogan Sewu

Pengabdian yang tulus ialah total menjalankan semua yang menjadi tanggung jawabnya tanpa pamrih, meskipun maut menjemputnya.

ERUPSI Gunung Merapi masih berlangsung.Namun, kisah dan pilihan Mbah Maridjan, yang menjadi abdi dalem penguasa Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono IX, sebagai juru kunci Gunung Merapi dikenang sebagai cermin pengabdian, kesetiaan, loyalitas, dan bentuk tanggung jawab. Sebagai abdi, Mbah Maridjan memegang teguh tugasnya itu hingga akhir hayat. Ada yang belum terungkap, yakni Mbah Maridjan pernah mengatakan ada lima golongan yang wajib dipundi atau dijunjung tinggi dalam manembah sebagai representasi manunggaling kawula-Gusti. Inti dari prinsip yang dikemukakan almarhum itu, pertama, ialah manembah kepada Allah SWT sebagai zat yang menciptakan dunia ini; kedua, berbakti kepada orang tua yang melahirkan; ketiga, mengabdi kepada saudara tua sebagai wakil dari orang tua; keempat, mengabdi kepada raja atau pemimpin; dan kelima mengabdi kepada pemerintah atau negara yang telah memberikan hak dan kewajiban dalam bermasyarakat. Mirip dengan kisah kearifan cerita pewayangan yang mencerminkan kearifan manusia Jawa sejati. Kesetiaan Mbah Maridjan itu serupa dengan kesetiaan satria muda Raden Setyaka dalam menjaga kelangsungan hidup di padepokan Grojogan Sewu. Raden Setyaka rela mengorbankan jiwa dan raganya akibat kemarahan pakdenya sendiri, Prabu Baladewa, raja Mandura. Jitabsara Kocap kacarita, terjadilah Perang Baratayuda, yakni perang sesama darah Barata, antara Pandawa dan Kurawa, untuk memperebutkan kekuasaan Kerajaan Hastina.Berdasarkan cerita, seharusnya yang berhak atas kekuasaan Kerajaan Hastina adalah Pandawa. Tetapi dengan tipu daya Sengkuni, Hastina berada dalam kekuasaan Kurawa. Jauh sebelum terjadi Perang Baratayuda, para sesepuh Pandawa dan Kurawa, seperti Resi Bisma, telah memberikan solusi untuk menghindari terjadinya perang saudara itu. Salah satu usulannya ialah agar Kerajaan Hastina dibagi menjadi dua. Tapi niat baik pepunden tersebut tidak didengar dan akhirnya terjadilah Perang Baratayuda yang menelan banyak korban, baik dari pihak Kurawa maupun Pandawa. Menurut kitab Jitabsara, ada berbagai aturan dalam Perang Baratayuda. Misalnya, siapa melawan siapa, dan itu tidak boleh dilanggar. Pemegang kitab Jitabsara itu adalah Raja Dwarawati Prabu Kresna yang juga sebagai pujangga Perang Baratayuda. Masih menurut kitab Jitabsara, ada dua kesatria atau raja yang tidak boleh berperang karena kesaktian mereka tidak ada tandingannya. Jika kedua tokoh itu ikut berperang, akan mengacaukan Perang Baratayuda yang juga dikenal sebagai perang suci. Kedua tokoh itu adalah Prabu Baladewa dan Raden Antareja dari Saptapretala. Prabu Baladewa dengan senjata nenggala tidak ada tandingannya. Sementara Raden Antareja memiliki senjata berupa upas atau bisa yang mematikan.Bahkan, dengan senjatanya itu Antareja bisa membunuh siapa pun hanya dengan melepaskan bisanya ke bayangannya. Jadi, bisa dibayangkan berapa kesatria atau wadyabala dalam sekejap bisa dimusnahkan Antareja tanpa harus berhadap-hadapan. Untuk itu, Prabu Kresna mencari jalan guna `menyingkirkan' keduanya agar tidak terlibat dalam Perang Baratayuda. Prabu Baladewa diminta bertapa di Grojogan Sewu, sedangkan Raden Antareja terpaksa terbunuh karena ke saktiannya sendiri. Konon, Prabu Kresna meminta Antareja mencoba kesaktian bisanya dengan menjilat bayangannya sendiri. Karena itulah Antareja akhirnya mati akibat bisanya sendiri. Bawaleksana Ketika bertapa di Grojogan Sewu, Prabu Baladewa dijaga juru kunci bernama Raden Setyaka. Prabu Kresna memerintahkan Raden Setyaka, anaknya sendiri, untuk menjaga kelangsungan pertapaan Grojogan Sewu dan membantu Prabu Baladewa selama bertapa. Sebelum bertugas, Kresna mewanti-wanti kepada Setyaka untuk berupaya dengan berbagai cara agar pakdenya, Baladewa, tidak tahu kapan Perang Baratayuda mulai. Intinya, jangan sampai Baladewa tahu sehingga tidak terlibat dalam Perang Baratayuda.Karena itulah Setyaka terpaksa berkorban untuk tidak jujur kepada Baladewa kapan pun pakdenya itu bertanya kapan Perang Baratayuda dimulai. Ini merupakan tugas berat karena risikonya sangat besar. Sadar akan tugas negara, apalagi yang menitahkan adalah ayahanda sendiri yang menjadi pujangga perang, maka tidak ada pilihan Setyaka harus bawaleksana menjaga amanah itu. Suatu ketika aliran Sungai Bagiratri yang merupakan aliran sungai dari Grojogan Sewu airnya berwarna merah karena bercampur darah para kesatria yang sedang berperang. Baladewa bertanya kepada Setyaka, “Kenapa air sungainya bercampur darah? Apakah ini darah dari kesatria Pandawa dan Kurawa yang sedang berperang?” Setyaka menjawab, “Itu bukan darah manusia, tetapi darah binatang buruan.” Baladewa bisa menerima jawaban tersebut dan kembali bertapa. Berikutnya, sewaktu ada beberapa mayat manusia yang hanyut di Sungai Bagiratri, Baladewa meminta Setyaka untuk memeriksa apakah mayat-mayat itu para kesatria yang kalah perang dalam Baratayuda? Setyaka bilang, itu semua mayat akibat korban bencana alam. Baladewa masih percaya dengan ucapan Setyaka tersebut. Akan tetapi, begitu melihat bangkai kereta Prabu Duryudana yang hancur-lebur, Baladewa yakin dan memastikan bahwa Perang Baratayuda sudah berlangsung dan bahkan hampir selesai. Merasa ditipu daya oleh Raden Setyaka, Baladewa pun marah besar. Ia menghunus senjata nenggala. Sejatinya, maksud Baladewa itu hanya untuk menakut-nakuti Setyaka yang adalah keponakannya sendiri. Tetapi apa yang terjadi? Kodrat mengatakan lain. Saat Setyaka sujud sembah kepada Baladewa untuk meminta ampun, nenggala menancap di dadanya. Akhirnya, gugurlah kesatria muda Setyaka dalam mengemban tugas suci tersebut. Kearifan lokal yang bisa diambil dari cerita di atas adalah bagaimana Raden Setyaka dan Mbah Maridjan membuka mata kita tentang arti dan bagaimana abdi harus menjalankan kesetiaan dan tanggung jawab hingga akhir hayatnya tanpa pamrih. (X-5)







Source:

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2010/11/13/ArticleHtmls/13_11_2010_011_017.shtml?Mode=0

No comments: